Menu Zaman Mataram Kuno Kini Dimunculkan Kembali

Menu Zaman Mataram Kuno Kini Dimunculkan Kembali

KORANBERNAS.ID, SLEMAN Mendengar nama Rumbah Hadangan Prana dan Knas Kyasan, tentu banyak yang tidak mengenal dan mengetahui. Tapi pada abad VIII-X, nama-nama makanan ini begitu tenar. Tak mengherankan, karena Knas Kyasan, sekarang lebih dikenal dengan nama Kicik Daging Rusa. Sedangkan Rumbah Hadangan Prana, ternyata nama lain dari Glinding Daging Kerbau.

Itulah nama menu yang Minggu (4/4/20) sore kemarin tersaji secara khusus di Rama dan Sinta Resto Kompleks Candi Prambanan Yogyakarta. Kehadiran menu-menu langka ini mengiringi acara Gastronosia-IGC, yang diluncurkan oleh Indonesia Gastronomy Community (IGC) dengan tema “Dari Borobudur untuk Nusantara”.

Gastronosia adalah sebuah program dari IGC untuk merekonstruksi kejayaan gastronomi nusantara di masa lampau yang relevan digunakan pada masa kini. Peluncuran tersebut memperkenalkan hidangan yang terdapat pada prasasti penetapan Sima dan relief abad VIII–X, terutama dari Candi Borobudur, Candi Prambanan dan Candi Cabean Kunti.

“IGC melakukan eksplorasi guna memberikan edukasi mengenai perkembangan gastronomi dari sudut sejarah, melalui relief dan prasasti sebagai salah satu misi kami dalam memperkenalkan Indonesia sebagai pusat budaya makanan. Dengan mengangkat konsep bahwa makanan adalah budaya bangsa, maka gastronomi Indonesia dapat berperan dalam misi-misi diplomasi dan meningkatkan ekonomi melalui gastro-turisme maupun gastro-prenuership,” kata Ria Musriawan, Ketua Umum IGC, saat peluncuran Gastronosia-IGC.

Ketua Panitia Gastronosia, Ratna Nuryanto, menyebutkan persiapan peluncuran acara memakan waktu cukup panjang. Hal itu untuk memastikan bahwa interpretasi makanan dari relief dan prasasti sudah tepat dengan penamaan makanan dan budaya pada masa Mataram Kuno.

“Selain studi yang dilakukan oleh tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah, kami juga mengadakan diskusi terbatas dengan para ahli,” jelas Ratna. 

“Para ahli Universitas Gadjah Mada, yaitu Profesor Timbul Haryono selaku Guru Besar Ilmu Arkeologi dan Profesor Murdijati Gardjito selaku Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan serta ahli dari Universitas Indonesia yakni Profesor Saptawati Bardosono selaku Guru Besar Nutrisi dan Bondan Kanumoyoso dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, mengupas makna dari prasasti, penamaan yang tepat, dan gizi dan nutrisi dari makanan Abad VIII - X tersebut,” lanjutnya.

Diharapkan pula program Gastronosia IGC ini nantinya dapat dijadikan pintu pembuka, program penguat dan pendorong bagi pemerintah dalam menjalankan program spice up the world yang sedang digalakkan oleh pemerintah, guna menguatkan posisi kuliner dan bisnis makanan Indonesia di tingkat dunia serta meningkatkan kemitraan yang lebih baik dalam mendukung gastro-diplomasi, gastro turisme bahkan ketahanan pangan Indonesia.

Riris Purbasari dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah menggambarkan, perpaduan relief dan prasasti menunjukkan keragaman bahan dasar makanan dan wujud makanan yang telah diadopsi dari masa ke masa dan dikenal sejak dulu kala.

Ia mencontohkan, Prasasti Alasantan dan Relief Candi Borobudur menunjukkan referensi yang dipakai dalam menentukan makanan yang direkonstruksi.

Menu yang tersaji ini merupakan buah karya dari Chef Sumartoyo. Pak Toyo, demikian ia biasa dipanggil, merekonstruksi makanan sedemikian rupa dengan mendasarkan pada rujukan yang ada di relief dan prasasti.

Sebagai contoh wujud makanan, diketahui bahwa Kicik Daging Rusa berasal dari interpretasi pada Prasasti Mantasyih I (829 Saka/907 M), Prasasti Parada II  (865 Saka/943 M), dan relief Borobudur.

Ria menambahkan, program Gastronosia akan berlanjut dengan sejarah gastronomi pada kebudayaan nusantara lainnya yang akan memberikan edukasi serta informasi bagi para penikmat gastronomi serta pemerhati budaya dan sejarah nusantara. (*)