Menyoal Istilah Jaminan Sosial pada BPJS

Menyoal Istilah Jaminan Sosial pada BPJS

NOVEMBER kemarin, #BoikotBPJS ¾ Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menjadi trending topik di media sosial twitter. Warganet meramaikan tagar ini dengan keluhan soal naiknya iuran BPJS yang dirasa memberatkan. “Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari susah, apalagi harus membayar iuran BPJS yang naik,” cuit salah satu akun @tarawinat4. Dilanjut oleh pengguna akun @OpanMin0n, “Pemerintah menaikkan iuran di saat ekonomi sedang sulit dan berbagai tarif lainnya juga naik. Rakyat susah payah nyari duit demi kelangsungan hidup tapi dipaksa bayar iuran BPJS. Rakyat dicekik meskipun sedang sekarat.”  

Sampai dengan Desember hari ini, Presiden Joko Widodo kembali digugat ke Mahkamah Agung (MA) oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), setelah sebelumnya sempat digugat oleh warga Surabaya, Kusnan Hadi lantaran menaikkan tarif iuran BPJS. Gugatan itu dilayangkan ke MA dengan meminta para hakim agung untuk membatalkan kenaikan BPJS.

Peran pemerintah sebagai pemberi jaminan sosial atas rakyat Indonesia patut dipertanyakan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dengan sistem asuransi sosial telah mengubah jaminan layanan kesehatan yang harusnya merupakan hak rakyat dan kewajiban negara dalam menyelenggarakannya menjadi kewajiban bagi rakyat.

Istilah BPJS Kesehatan sebagai lembaga penjamin kesehatan juga perlu dipertanyakan. Pasalnya, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan  Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS disebutkan, bahwa BPJS bersistem asuransi sosial. Pada prinsipnya, asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib dan berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial-ekonomi yang menimpa peserta dan atau anggota keluarganya.

Dengan jaminan sosial bersistem asuransi ini, wajib untuk rakyat membayar iuran atau premi. Akibatnya, pelayanan kesehatan yang diterima rakyat bergantung pada jumlah iuran atau premi yang dibayar oleh rakyat. Jika rakyat tidak bayar, mereka tidak berhak atas pelayanan kesehatan. Dan karena diwajibkan, jika telat atau tidak bayar, rakyat (peserta asuransi) akan dikenai sanksi administratif berupa denda. Jika tidak cukup, maka iuran harus dinaikkan. Karena modelnya asuransi berarti kenaikan iuran yang terjadi setiap saat seperti ini sudah lazim, jadi bagaimana caranya supaya peserta memberikan iuran sehingga mencukupi. Hal ini berarti iuran atau premi BPJS tak ubahnya pajak atas kesehatan dan nyawa.

Koordinator BPJS Watch Indra Munaswar mengatakan, penaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini dapat semakin menekan masyarakat, terkhusus masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, yang tidak mampu dalam membayar premi. Indra juga mengaku, BPJS Watch telah banyak menerima aduan dari masyarakat di berbagai daerah yang khawatir akan adanya kenaikan iuran ini.

Di lain pihak, keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan dinilai bukan solusi tepat bagi akar pemecahan masalah yang selama ini terjadi dalam penyelenggaran program jaminan kesehatan. Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi menduga (2/11/2019), kenaikan iuran BPJS ini tak ubahnya sistem ‘gali lubang, tutup lubang’. Artinya, risiko terjadinya defisit anggaran masih sangat mungkin untuk terjadi lagi, bahkan akan kembali muncul dalam beberapa waktu ke depan. Hal ini diperkuat dengan rekam jejak keuangan BPJS yang terus memerah, seperti dilansir dari detikfinance.com, BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun tidak pernah terlepas dari permasalahan defisit anggaran, bahkan defisit tersebut tercatat sejak tahun 2014 saat mana BPJS Kesehatan mulai beroperasi. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, setiap tahun BPJS selalu dibebani defisit yang besar meskipun pemerintah sudah menyuntikkan modal.

Istilah jaminan sosial yang selama ini menempel pada BPJS ¾ Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sangatlah berbeda dengan asuransi sosial yang menjadi sistem BPJS, baik secara prinsip maupun pengelolaannya. Asuransi mengisyaratkan pertanggungan, perjanjian antara dua pihak di mana pihak pertama berkewajiban membayar iuran dan pihak kedua berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran, apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama. Sedangkan, istilah jaminan sosial mengisyaratkan tanggung jawab negara dalam menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi rakyat.

Asuransi sosial adalah di mana semua beban akan diberikan kepada peserta. Ketika terjadi defisit, rakyat selaku peserta dipaksa agar turut serta menalangi, tetapi hal ini tidak berlaku untuk jaminan sosial yang pada prinsipnya negara mengelola dana dari APBN. Mengingat juga, BPJS merupakan salah satu Badan Hukum Milik Negara (BHMN), maka ketika terjadi defisit, pemerintah sudah semestinya siap mengucurkan anggarannya untuk jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan lewat BPJS Kesehatan ini.

Sejalan dengan Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J Rachbini, program jaminan sosial telah diamanatkan dalam UUD 1945, sesuai dengan Pasal 28H. Hal ini bermakna, Jaminan Kesehatan merupakan amanat langsung dari UUD kita, oleh karena itu amanat dalam menjalankannya lebih utama dibanding dengan ribuan program yang ada di APBN. Pelayanan kesehatan dan pengobatan merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat, hak setiap individu rakyat tanpa memandang tingkat ekonominya, dan sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk menjamin hak rakyat. Lalu sesuai dengan arti ‘jaminan’ itu sendiri, menjamin berarti menanggung, jadi kebutuhan akan pelayanan kesehatan seperti ini adalah tanggungan pemerintah. Pemerintahlah yang seharusnya bertanggung jawab dalam hal pemenuhan pelayanan kesehatan dan pengobatan warga negaranya, bukan malah membebankan kepada rakyat seperti ini. ***

Penulis:

Usyifa Ersa Ramadhani

Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Aktivis Komunitas Relawan Independen (KRI), Yogyakarta.