Metoda Pendidikan Sariswara dapat Mewujudkan Ketahanan Budaya

Metoda Pendidikan Sariswara dapat Mewujudkan Ketahanan Budaya

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Merayakan satu abad kelahiran Perguruan Tamansiswa sebagai salah satu pilar keistimewaan Yogyakarta, digelar workshop dengan  tema “Metoda Sariswara untuk pamong atau guru SD, Pendidikan Karakter Khas Keistimewaan Jogja melalui kesenian dengan serapan obyek kebudayaan lokal mapel umum” di Hotel Tirta Kencana Jalan  Ringroad Timur Selasa (20/9/2022) dan berakhir Jumat (23/9/2022). Penutupan dilakukan oleh cucu Ki Hadjar Dewantara drg Nyi Widya S.Pa.

Kegiatan yang dihadiri 80 peserta tersebut merupakan hasil kerja sama Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY dengan  Pimpinan Pusat (PP) Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa (PP PKBTS).

Seluruh peserta merupakan pamong/guru di Perguruan Tamansiswa yang ada di lingkungan kerja Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di antaranya meliputi  cabang Ibu Pawiyatan Kota Yogyakarta, Cabang Jetis, Cabang Trasih, Cabang Imogiri, Cabang Kumendaman, Cabang Nanggulan dan juga dari guru-guru umum di luar sekolah Tamansiswa, dosen/mahasiswa PGSD-UST dan alumni PKBTS.

“Adalah menjadi kewajiban kita semua untuk menjaga kelestarian metoda pendidikan Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri Tamansiswa, sekaligus ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Beliau memiliki metoda pendidikan yang sangat khas. Salah satu metoda yang digagas adalah metoda Sariswara yang telah ditetapkan oleh Kemendikbudristek RI sebagai Warisan Budaya Tak Benda,” kata Ketua PD PKTBS DIY sekaligus instruktur, Rahmat Jatmiko kepada koranbernas.id dalam acara penutupan.

Dalam prakteknya metoda ini memanfaatkan pendidikan kesenian yang terintegrasi dengan mata pelajaran umum dan dikombinasikan dengan serapan obyek kebudayaan. Kesenian dalam artian luas melingkupi seni bahasa sastra, seni gerak, seni suara dan seni rupa dimodifikasi sedemikian rupa dalam olah paparan penyampaian dan penyerapan mata pelajaran dengan memaksimalkan sumber obyek kebudayaan Yogyakarta.

“Tujuan utama metoda ini adalah upaya agar pendidikan tidak terjebak di olah intelektual namun juga di olah rasa. Bonusnya dengan menyerap obyek kebudayaan akan memberikan ciri khas karakter budaya siswa. Hal ini menjadi sangat penting bagi anak usia dini (umur 3,5 tahun-9 tahun, red) mengingat usia ini adalah usia saat jiwa pertama kali terbuka, muncul trisakti jiwa (cipta rasa karsa) dan menyerap apapun ke dalam jiwanya. Sedangkan pada masa intelektuilnya (9-14 tahun) proses itu tidak terjadi dengan masif, sehingga yang diperlukan adalah proses menjaga agar keindahan rasa senantiasa terjaga dan bertambah tebal,” urai Kepala SMK Ar Rahmah Srandakan tersebut. Masa itulah yang disebut pembentukan watak konsentris-konvergen-kontinyu (Tri-Kon) sesuai arahan Ki Hadjar Dewantara untuk mewujudkan ketahanan budaya.

Pengajaran dengan memanfaatkan seni & obyek kebudayaan saat ini sebenarnya sudah dipakai terutama tingkat pendidikan usia SD. Namun belum ada upaya secara masif sistematis dan terstruktur dicantumkan di silabus atau rencana pembelajaran berjangka. Bahkan ada kecenderungan seni budaya terpisah atau dipisahkan dengan pelajaran lainnya. Fungsi sebagai penjaga ‘keindahan-rasa’ tidak dimanfaatkan.

“Hal ini seolah menunjukkan ketidakseriusan sekaligus menjauhkan teori Ki Hadjar Dewantara terkait pendidikan kesenian yang terintegrasi dalam pola pengajaran sehari-hari di kelas. Padahal metoda ini diyakini oleh Ki Hadjar Dewantara mampu secara efektif mendidik cipta-rasa-karsa sang anak sekaligus. Berdasarkan fakta ini maka workshop ini yang pertama menyasar kepada para pamong Tamansiswa dan juga guru sekolah umum sebagai agen penyebar ajaran Ki Hadjar. Yang kedua, memantik jiwa estetis keindahan para pamong/guru serta kepercayaan diri agar tidak ragu memanfaatkan metoda Sariswara ini di ruang-ruang kelas seperti diajarkan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita,” kata Rahmat.

Ada 10 obyek yang akan diterangkan sekilas. Namun narasumber lebih fokus ke 3 jenis yaitu wayang, dongeng atau legenda dan permainan tradisional (tembang dolanan). Peserta diharapkan mampu memahami bagian-bagian dari ke-3 obyek kebudayaan tersebut yang bisa diserap dalam mengisi konten kolaborator dengan materi umum lainnya di kelas.

Sementara Nyi Widya dalam sambutanya mengatakan, agar saat memberikan pembelajaran dengan contoh seperti tembang ataupun nyanyian sehingga terasa lebih menyenangkan. ”Dalam pembelajaran harus dimasukkan tentang  budi pekerti dan harus ditekankan. Mengedepankan sikap sopan santun kepada siapa pun, juga menumbuhkan pribadi yang toleran, saling menghormati dan tidak boleh merasa lebih dari orang lain. Jadi tidak hanya penekanan intelektual,” katanya.

Ki Hadjar, lanjutnya, tidak pernah marah dalam memberikan pelajaran kpada murid-muridnya. “Jadi saat mengajar eyang tidak pernah marah kepada para muridnya” katanya. (*)