Mikul Dhuwur Aksara dan Bahasa Jawa

<i>Mikul Dhuwur</i> Aksara dan Bahasa Jawa

DI KAWASAN Jl. Pahlawan, tepatnya di salah satu space halaman Kantor Gubernur Jateng ada yang menarik. Di sana berdiri kokoh prasasti, “Ayo Ojo Podho Lali,” dengan 20 urutan aksara jawa yang artistik. Harapannya, mengajak untuk menemukan “ibu kandung”-nya kembali, huruf-huruf Jawa kita yang senyap bahkan nampak lelah di antara gempuran rangkaian huruf, kata maupun kalimat yang lebih suka dianggap keren menggunakan istilah dalam bahasa asing, semisal bahasa Inggris.

Itulah kemudian, memunculkan pertanyaan mula, apakah kita secara sungguh-sungguh telah belajar dan mengajarkan kepada anak-anak kita sepenuhnya dalam mengenalkan, cara menulis, sistem membaca dan segenap tanda baca huruf Jawa itu. Sudah waktunya, kita merekonstruksi dan mereposisi huruf-huruf Jawa yang adiluhung tersebut ke dalam frame literasi kekinian. Barangkali, hal ini dianggap ndeso, jadul, kurang gaul dan atau kampungan. Namun, sekali lagi inilah kesempatan baik kita untuk menerjemahkan dan memberikan bentuk cinta yang kudus pada sesuatu yang jarang dilaui orang, langka disentuh orang, yaitu tulisan atau huruf Jawa.

Diakui ata tidak diakui, aksara Jawa dengan segenap nilainya kini seolah menjadi kerinduan yang menjaga. Kembali ke prasasti seruan eling ke tulisan Jawa di atas, bukan sekadar merelokalisir pada rumah besar tulisan Jawa itu sendiri, tetapi lebih pada upaya bagaimana kita memberikan penghormatan dan penghargaan sejati kepada budaya Jawa, yang merambah aras kebahasaan kita, ya bahasa Jawa.

Barangkali hiruk pikuk “pelupaan” bahasa Jawa dapat terlihat di sudut-sudut kota yang terus berebut dan gandrung memakai istilah-istilah asing yang sesungguhnya ada padanannya dalam bahasa Jawa. Kota Solo dan Jogja menjadi bukti soal konsistensi penulisan jalan berhuruf Jawa, bahkan pada titik strategis tertentu tak sedikit menjulur berbagai falsafah Jawa.

Masyarakat yang menjadi sasaran terbesar dalam penggunaan bahasa dan aksara tersebut adalah masyarakat berbahasa Jawa sebagai tuan rumah.  Justru pemakaian istilah berbahasa Jawa itu sekarang banyak disukai Kempoters, dangdut Jawa mania bahkan acap menelusup di antara pidato, seminar dan diskusi elit kampus, petinggi negara maupun elit korporasi.

Pada domain lain, terjadi tren penggunaan istilah asing dalam penamaan gedung, pertokoan, perumahan, iklan, program siaran televisi, juga program pemerintah dan lain-lain. Sampai titik tertentu, kegandrungan tersebut mengindikasikan pelemahan masyarakat kita menggunakan bahasa Jawa. Di ujung lainnya, ia merefleksikan ketidakpercayaan pada kemampuan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi modern.

Kenyataan ini tentu menyedihkan, sebab bukan main besar jasa bahasa Jawa pada kehidupan dan kebudayaan kita. Diakui atau tidak, kebanyakan kita lebih menguasai bahasa Indonesia atau mungkin asing ketimbang bahasa ibu kita masing-masing. Masyarakat Jateng, Jogja dan Jatim lebih menguasai bahasa Indonesia ketimbang bahasa Jawa.

Cobalah kita tengok sebentar di ruang-ruang kelas di sekolah-sekolah anak-anak kita, bisa dipastikan mereka lebih mudah berbicara dan menulis kisahnya sendiri dalam bahasa Indonesia dibanding dalam bahasa ibunya. Tulisan ini bukan bermaksud menomorsatukan bahasa Jawa ketimbang bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia.

Namun demikian, lebih pada upaya melestarikan, menjaga dan membudayakan bahasa jawa dalam nafas anak-anak kita. Muatan lokal bahasa Jawa pun nampaknya belum mampu mencuri hati anak sekolah, tapi sekurangnya muatan lokal tersebut berfungsi menempatkan bahasa Jawa pada posisi terhormat di antara mata pelajaran lain.

Yang terhormat guru atau dosen bahasa Jawa pun mungkin turut menyumbang ketidak-intiman anak-anak kita dengan lembaran-lembaran “sastra,” Jawa. Misalnya para guru menyuruh anak didiknya mengarang cerita atau puisi “geguritan,” Jawa, namun mereka sendiri tidak pernah mampu membuktikan karya-karya mereka muncul di media atau mading sekali pun. Bahkan buku, pun jurnal apalagi esai-esai pada jagat virtual. Pada korelasi sedemikian, kita juga merindu campur tangan Keraton sebagai punjering basa dan aksara (Jawa) dalam merawat masa depan aksara dan bahasa Jawa ini.

Jauh Panggang dari Api

Riang dan muram datang dan pergi. Hal lain yang masih memprihatinkan kita adalah, pegerakan bahasa Jawa digunakan dalam bahasa sastra bersifat evolutif, jika disandingkan dengan pengunaan bahasa Indonesia dalam sastra yang kelewat revolutif. Geguritan, tembang dan dolanan tradisional pun lambat laun dilupakan, ironi lagi anak-anak kita sekarang juga masih kedodoran bahkan tidak bisa membaca dan menulis dengan huruf Jawa secara baik.

Jika tak ada keroyokan merawat dan memberi daya hidup kebudayaan jawa, sangat mungkin tulisan, huruf dan bahasa jawa kita bakal senyap dari pusaran pulau jawa. Sebuah kondisi yang tidak kita inginkan tentunya. Sanggar-sanggar atau komunitas yang konsisten menjaga bahasa dan budaya Jawa, seperti Permadhani, Sagotra bahkan Cakra TV, TV-KU, TV Borobudur maupun TV lokal daerah Jogya dengan berita maupun acara-acara berbahasa Jawa-nya, misalnya “kuthane dhewe,” dan sebagainya, nampaknya patut memperoleh penghargaan dari Pemda.

Untuk event-event yang sifatnya kompetisi atau lomba berbahasa dan berkasara Jawa pun nyaris absen di tengah masyarakat kita yang besar ini. Baik pemerintah, sekolah, perguruan tinggi, LSM bahkan Dewan Kesenian Provinsi maupun Kabupaten/Kota atau lagi kelompok-kelompok masyarakat hampir tidak pernah menyelenggarakan agenda berbasis bahasa Jawa apalagi lomba penulisan maupun membaca huruf Jawa.

Barangkali dari sisi profit atau bisnis, manakala menjalankan kegiatan yang berorientasi pada bahasa Jawa dan atau area menulis huruf Jawa kurang menarik atau tidak laku. Kita tengok barang sebentar pertunjukaan wayang kulit dan wayang orang, ketoprak, sandiwara Jawa, geguritan pun penontonnya sepi. Sekadar majalah berbahasa Jawa pun absen. Konsistensi penerapan bahasa Jawa di media, seperti koran Penjebar Semangat atau Gatotkoco patut kita apresiasi.

Event kongres aksara Jawa maupun bahasanya acap digelar, tetapi nampaknya impact langsung terhadap rekonstruksi kebahasaan  dan keaksara-jawaan kita masih jauh panggang dari api. Kita membudayakan beraksara dan berbahasa Jawa sebagai bagian upaya besar menerjemahkan reorientasi bahasa ibu kita. **

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pemprov Jateng