Momentum Membangun Sinergi Pustakawan Dengan Lembaga

Momentum Membangun Sinergi Pustakawan Dengan Lembaga

AWAL tahun 2023, tepatnya 6 Januari 2023 telah ditetapkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi (RB)  RI Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional ASN. Regulasi baru yang diteken Menteri PANRB, Abdullah Azwar Anas itu mencabut Permen PANRB Nomor 13 Tahun 2019 tentang Pengusulan, Penetapan dan Pembinaan Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (PNS). Disebut-sebut, regulasi baru itu berhasil memangkas dari 3.114 jabatan lama dan mengelompokkan hanya menjadi tiga kelompok jabatan ASN meliputi bidang keahlian, keterampilan, dan teknisi.  Penyederhanaan jabatan itu bertujuan untuk merampingkan birokrasi agar tidak terlalu ‘gendut’.

Ibarat bentuk tubuh manusia, jika ramping maka gerak dan langkahnya akan terlihat lincah atau gesit. Tentu dalam konteks layanan birokrasi, layanan dengan gerak lincah diharapkan semakin memberikan dampak yang optimal bagi kesejaheteraan masyarakat. Satu di antara jabatan fungsional yang diharapkan memberi pengaruh atau dampak nyata di tengah masyarakat adalah jabatan pustakawan. Merujuk Permen PANRB Nomor 1 Tahun 2023, yang dimaksud dengan jabatan fungsional ialah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu.

Penulis yang kebetulan berprofesi sebagai pustakawan berpendapat, terbitnya permen PANRB yang baru itu perlu disikapi dengan pola kerja yang baru. Mengingat dengan berlakunya peraturan ini, fokus kegiatan ada pada capaian kinerja organisasi bukan lagi capaian angka kredit. Setiap pustakawan (status ASN) yang dalam penilaian kerjanya berpredikat baik atau sangat baik akan diberikan angka kredit dengan bobot penilaian yang telah diatur dalam lampiran di permen tersebut.

Adaptif

Mengutif apa yang pernah disampaikan Dr. Labibah, M.Lis (Kepala Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), saat berbicara dalam sebuah seminar kepustakawanan yang diselenggarakan Pengurus Daerah (PD) Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) DIY belum lama ini, berlakunya peraturan baru tersebut perlu disikapi dengan penyesuaian (adaptasi) cara kerja. Ia menegaskan kinerja pustakawan harus sejalan dengan organisasi, harus sesuai dengan Rencana Strategis (Renstra) lembaga atau organisasi tempat pustakawan itu bekerja. Jika dulu (pada peraturan lama) banyak ditemukan pejabat fungsional  cepat naik pangkat karena rajin memeroleh angka kredit namun kontribusinya pada organisasi masih dipertanyakan maka dengan pola kerja baru ini, fenomena itu tidak akan terjadi lagi. Penilaian pimpinan akan mengacu pada restra lembaga. Maka pustakawan yang mampu menerjemahkan misi dan visi lembaganya itulah yang jadi indeks kinerja individu (pustakawan) bersangkutan.

Sependapat dengan beliau,  penulis juga berpandangan terlepas dari pro dan kontra soal capaian kinerja berdasar pada capaian organisasi bukan lagi pada capaian angka kredit, sikap adaptif itu akan mampu menciptakan efisiensi, baik waktu ataupun penggunaan Alat Tulis Kantor (ATK) seperti kertas dan tinta. Saat pembuatan angka kredit banyak berkas yang harus dicetak  dan tentu hal tersebut berdampak pada pemborosan anggaran karena harus ada pengadaan ATK. Pun tidak sedikit pegawai fungsional yang ‘tersita’ waktu dan tenaga untuk menyusun pengajuan angka kredit. Saking sibuknya, kadang pelayanan masyarakat yang menjadi program utama organisasi malah terabaikan.

Diharapkan dengan transformasi tata kelola jabatan fungsional itu maka birokrasi menjadi agile (lincah). Jabatan fungsional yang simpel memberikan keleluasaan bagi  pimpinan, sehingga tidak lagi terbelenggu oleh butir-butir kegiatan pada angka kredit yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Sinergi

Pola atau gaya kerja menyikapi aturan baru itu jelas membutuhkan pemahaman bersama antara pimpinan lembaga dengan  staf yang diberi tugas. Tujuannya agar tercipta komunikasi timbal balik. Uraian pekerjaan atau tugas pimpinan (job breakdown) yang diteruskan ke para staf di bawahnya mampu menciptakan sinergi demi menuju goal (sasaran) organisasi.

Sinergi adalah suatu bentuk dari sebuah proses atau interaksi yang menghasilkan suatu keseimbangan yang harmonis, sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang optimum. Ada beberapa syarat utama penciptaan sinergi yakni kepercayaan, komunikasi yang efektif, feedback yang cepat, dan kreativitas.

Menurut penulis kran dialog menyikapi aturan baru itu  bijak untuk selalu dibuka, komunikasi antara pimpinan dengan staf untuk mengklarifikasi tugas atau pekerjaan, agaknya jadi kata kunci menepis kekuatiran dan pemahaman yang keliru terhadap aturan yang baru tersebut. Tak kalah pentingnya Ketika tercipta kesamaan pandangan, aturan baru itu mampu menciptakan manfaat yang nyata di tengah masyarakat. Semoga! **

Fl. Agung Hartono, S.Sos.

Pustakawan Ahli Muda di ISI Yogyakarta