Nasib Pegawai KPK

Nasib Pegawai KPK

PENGABDIAN tulus dan total beberapa pegawai KPK, berakhir pemberhentian dengan hormat. Betapapun usaha pembelaan diri telah dilakukan melalui berbagai cara, dan melibatkan banyak pihak, namun hasil akhir adalah pemberhentian. Itulah nasib buruk.

Sedemikian tajam dan menyakitkan keputusan pemberhentian itu menghujam dalam jiwa, sehingga mereka menyebutnya sebagai pemecatan. Tentu, persoalannya bukan sekadar pilihan kata-kata atau bahasa yang digunakan, melainkan status hukumnya. Mereka harus segera angkat kaki dari lembaga antirasuah itu. Mau kemana? Terserahlah. Bagi KPK urusan dianggap selesai.

Kabar-kabar tentang pergolakan, pelemahan, ataupun pelanggaran etika komisoner di lembaga antirasuah (KPK)  telah viral di berbagai media sejak beberapa waktu lalu. Kini, KPK resmi memberhentikan 51 pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Pemberhentian berlaku efektif per 1 Oktober 2021. TWK oleh KPK telah dijadikan salah satu instrumen alih status pegawai KPK menjadi ASN berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Dari sebanyak 1.351 pegawai KPK yang ikut TWK, terdapat 75 pegawai tidak lulus. Mereka, dikategorikan sebagai pegawai tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi ASN. Kontroversial pun muncul, karena mereka yang tidak lulus itu, oleh masyarakat justru dinilai memiliki integritas tinggi. 

Dalam perkembanganya, dari 75 pegawai TMS itu, sebanyak 24 dinyatakan masih dapat dibina kembali, sedangkan 51 sisanya dipastikan tidak lolos, dan tidak bisa dibina ulang. Pegawai kategori TMS dan tidak mengikuti pembinaan melalui diklat bela negara, diberhentikan dengan hormat.

Lepas dari pro dan kontra atas kasus tersebut, kiranya analisis dari perspektif spiritual-religius diperlukan. Hal demikian, bukan saja karena persoalan korupsi, KPK, maupun nasib pegawai, berada dalam wilayah kehidupan bangsa yang beragama, dan berfalsafah Pancasila, tetapi juga demi pertanggungjawaban secara horizontal (kepada rakyat) maupun vertikal (kepada Tuhan Yang Maha Adil).

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa jabatan, kedudukan, posisi sebagai komisioner maupun pegawai KPK, selama ini terlihat gemerlap, glamor, mentereng. Pada status demikian, ada kekuasaan, kekuatan, dan kehormatan yang melekat secara resmi dan formal. Selain itu, gaji dan penghasilan yang diperoleh pun tergolong tinggi. Maka, bukan hal aneh, kalau banyak orang memperebutkannya.

Satu hal perlu diingat, bahwa jabatan dan harta-benda yang tergolong mewah itu, bila diperolehnya melalui cara-cara yang halal, lapang, dan  akuntabel, pastilah keberkahan akan menyelimutinya. Sebaliknya, bila jabatan dan harta-benda itu diperolehnya melalui jalan haram, kong-kalingkong, sarat rekayasa dan kerakusan, pastilah akan mendatangkan kemudharatan. Pahala ataukah azab, adalah buah dari pilihan atas niat dan segala perilakunya. Semuanya pasti diterimakan padanya masing-masing oleh Allah SWT pada saat yang tepat. Mungkin di dunia, dan mungkin di akhirat kelak.

Bagi saudara-saudaraku beragama Islam, silahkan ambil hikmah sabda Rasulullah SAW kepada Hakim bin Hizam, “Harta memang indah dan manis, barang siapa mengambilnya dengan lapang dada maka dia mendapatkan berkah. Sebaliknya, barang siapa menerimanya dengan kerakusan maka harta itu tidak akan memberikan berkah kepadanya, layaknya orang makan yang tak pernah kenyang.”

Dalam konteks maraknya korupsi di negeri ini, memang, jabatan dan harta-benda, semakin memiliki daya tarik atau kekuatan magis. Dari dan padanya, mampu menggelorakan nafsu duniawi siapapun, untuk memperebutkannya. Bencana sosial, kemanusiaan, dan kebangsaan yang melanda negeri ini, seakan terus-menerus berlangsung marak dan merebak. Umumnya dihadapi dengan keprihatinan, sekaligus sikap pesimistis. Ketika KPK semakin lemah, dan koruptor semakin berani “mendikte” oknum-oknum penguasa, maka kualitas dan kuantitas korupsi semakin bertambah.

Apakah pemberhentian beberapa pegawai KPK terkait dengan intervensi para kouptor, calon koruptor, maupun oknum-oknum penguasa? Setiap orang bisa dan berhak membuat analisis tentang hal ini. Lepas dari kualitas analisis itu apakah tajam ataukah tumpul, condong kepada siapa keberpihakannya, kiranya kepada beberapa pegawai yang sudah diberhentikan, perlu mengingat kembali konsep qanaah.

Penting diingat sabda Rasulullah SAW, “Jadilah kamu orang yang wara’ (bersikap hati-hati), pasti kamu menjadi orang yang rajin beribadah, dan jadilah kamu orang yang qanaah (merasa cukup dan puas) pastilah kamu menjadi orang yang banyak bersyukur (HR.Bukhari).”

Qanaah adalah merasa puas atas nasib, takdir, dan apapun yang sudah terjadi dan diterimanya. Orang Jawa bilang nrima ing pandum. Penerimaan itu atas kesadaran, disertai rasa syukur. Suatu keyakinan (iman) menyertainya bahwa Allah SWT memiliki skenario besar, dan pasti menepati apa yang dijanjikan. Sekecil apapun yang telah diperbuatnya secara ikhlas pasti diberikan ganjaran kebaikan berlipat. Sebaliknya, kejahatan (kefasikan) sekecil apapun pernah diperbuat, pasti dibalas dengan azab setara dengan kadar kejahatannya.

Bila “pemecatan” merupakan antiklimaks dari pengabdian, usaha, dan doa yang selama ini diperbuatnya, maka qanaah dapat difungsikan sebagai sarana pemahaman tentang nasib ataupun takdir Allah SWT dan sebagai jalur alternatif menempuh jalan kehidupan di luar KPK.  Sungguh, tersedia banyak posisi, rezeki, serta kehormatan terhampar pada kehidupan di planet bumi ini. Qanaah, diikuti sikap pengendalian diri, dan perluasan wawasan, amatlah diperlukan, di tengah gemerlapnya dunia yang semakin menggiurkan. Inilah sikap yang harus dimiliki beberapa mantan pegawai KPK, dan muslim/muslimah pada umumnya.

Belajar dari redup dan pucatnya wajah KPK, ataupun garangnya sikap pimpinan KPK, kiranya dapat dimaklumi bahwa dalam perjalanan bangsa, suatu jabatan, harta, dan kehormatan, bisa tiba-tiba sirna. Mungkin, karena faktor politik, bisnis, atau siklus lima tahunan dalam pemerintahan. Jabatan di dalamnya, pada saatnya digantikan. Uang dan fasilitas, suatu saat usang. Kehormatan suatu ketika dipuja-puji, tapi di waktu lain terus-menerus dihujat.

Memang, hidup di negeri ini sering banyak dijumpai hal-hal paradoks. Tidaklah selalu segala urusan berjalan mulus dan lancar. Terkadang lapang dan terkadang berliku-liku. Terkadang bernasib baik, dan terkadang bernasib buruk. Terkadang beruntung, dan terkadang merugi (celaka). Agar nasib baik dan keberuntungan selalu menyelimuti, kiranya penting diingat sabda Rasulullah SAW, “Sungguh beruntung orang yang Islam dan rezekinya pas-pasan, dan dia merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.”

Sadar akan kenisbian berbagai realitas tersebut di atas, kiranya perlu kita bermuhasabah. Menjadikan nasib buruk sebagai momentum titik balik ke kiblat realitas yang bersifat absolut, hakiki, dan esensial.  Pada orang beriman, berilmu, dan cerdas, setidaknya lebih suka mencari sesuatu yang tahan lama, sesuatu yang tidak cepat punah dan habis, hanya karena pergantian masa.

Sekadar berbagi rasa dan saling mengingatkan. Sudahlah. Tak perlu menghitung-hitung amal baik. Merasa berjasa. Merasa sebagai pahlawan. Pastilah, anak-anak bangsa akan menilai dan mencatat dengan tinta emas bahwa dalam sejarah pemberantasan korupsi, pernah ada orang-orang berintegritas bernasib buruk, diberhentikan sebagai pegawai KPK. Segeralah bergegas untuk urusan lain yang lebih tinggi nilai ibadahnya. Kiranya, lebih elegan bila perjuangan ke depan diaktualisasikan menjadi aktivitas baru bernuansa amar ma’ruf nahi munkar. Wallahu’alam. **

 

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM.