No Mudik No Cry

<i>No</i> Mudik <i>No Cry</i>

MELIHAT dan membaca mudik tiap tahun selalu berwarna-warni. Mudik tanpa pandemi rasanya jauh akan beda dengan saat mudik di tengah hantaman Covid-19. Begitu pula pada 2 kali lebaran musim pandemi pun rasa dan suasananya juga tak sama.

Bisa jadi pemudik tahun lalu jumlahnya lebih sedikit ketimbang pemudik tahun ini. Tingkat kepatuhan disiplin penerapan prokes Covid-19 sepertinya juga tak sama. Bagi warga yang tak mudik, sudah benar secara konstitusional, sedangkan bagi sedulur yang tetap mudik dengan memenuhi syarat dan ketentuan juga benar secara regulasi. Keduanya tak ada yang dipermasalahkan.

Yang bermasalah itu para pemudik yang tak membawa SIKM, surat tugas maupun hasil swab negatif Covid-19 dari yang berwenang. Bahkan mereka yang nekat menerobos penyekatan yang dilakukan petugas.

Setiap tahun, mudik selalu menerbitkan kisah yang berbeda. Untuk tahun ini, saya melihat berbagai kreativitas pemudik diluncurkan hanya untuk satu tujuan, yakni bisa berkumpul keluarga di kampung halaman dengan selamat.

Jalan terjal mudik menguar, praktik dan usaha kreatif bermunculan dilakukan, seperti munculnya bisnis pembuatran surat bebas Covid-19, jual beli surat sakit atau kematian keluarga pemudik, patungan menggunakan mobil rental.

Larangan mudik tapi tidak untuk wisata. Maka muncul pula kreativitas bisnis dengan menjual tiket wisata murah, diskon gede-gedean penginapan atau memberikan bonus atau gratis wisata dengan SK berlaku. Pada aras ekonomi lain tak sedikit industri kreatif anak muda meski larangan mudik menjulur, seperti penjualan sticker, kaos bertema tanpa mudik tetap asik.

Juga kelompok-kelompok indi pembuatan film-film pendek, meme, kartun,  novel –cerpen bertopik anti mainstream mudik, dll. Kreativitas pemerintah juga nampak, seperti Jaga Tangga, Jaga Warga.

Seribu satu daya diperjuangkan demi mudik, seperti keluarga Dani (39) yang tertindih PHK. Ia bersama isteri dan kedua balitanya nekat mudik dari Gombong ke Bandung dengan berjalan kaki.

Langkah ini sekurangnya untuk menyiasati biaya dan hadangan petugas. Tak kehilangan cara jitu ada seorang pemudik wanita yang hendak pulang ke Lampung menangis saat diputar balik oleh petugas, namun akhirnya ia bebas bisa melanjutkan perjalanan ke kampungnya.

Model lain pun diterapkan, misalnya keluarga pemudik dari Jakarta yang ingin berlebaran di Ponorogo dengan trik sembunyi dalam kardus-kardus dalam truck. Tapi mereka pun akhirnya dilepaskan tanpa truck dan motornya.

Kisah lain, pemudik yang bersembunyi di gulungan kain dalam mobil box. Mereka berasal dari Bandung dan hendak mudik ke Majenang, Jawa Tengah. Mimpi Idul Fitri di kampung pun tetap gagal.

Taktik lain pun coba dilakukan oleh sekelompok orang yang mudik naik ambulance, namun di jalan dihadang petugas karena tanpa dilengkapi surat-surat resmi, misalnya hasil swab antigen.

Begitu juga pemudik asal Brebes dari Jakarta harus berjuang melintasi jalur tikus di Cirebon yang sebelumnya diadang petugas dua kali, yakni di Bekasi dan Karawang. Demikian juga pemudian bermotor lainnya bahkan menyusuri jalan tikus bahkan di jalur-jalur pegunungan.

Banyak jalan menuju Roma, begitu kira-kira kreativitas yang mungkin bersifat akal-akalan masyarakat agar lolos dari penyekatan. Begitu juga pandemi effect tahun ini mendaraskan tabungan rindu yang melambung, karena warga ini membantu pemerintah untuk memutus rantai penyebaran virus dengan tetap di rumah tanpa mudik..

Maka kemudian mereka lebih memilih mudik virtual lewat medsos, telepon dan video, dll. Mereka sadar betul betapa kita semua harus mempraktikkan gerakan 5M, sehingga tanpa mudik secara fisik pun tetap asik. Meskipun sebagian warga bermudik online, mereka pun sadar diri atas keselamatan, keamanan dan kesehatannya bersama keluarga kala harus dipertaruhkan di jalanan.

Daya Ungkit

Jika sebelumnya pernah berkembang asumsi bahwa mudik itu saatnya membangun desa dengan cara memberi bantuan dana pembangunan kepada pemerintah desa, RT/RW kala mudik sesuai program desa.  Kini meski masyarakat yang cukup puas mudik virtual pun tak kehilangan momentum untuk tetap berkontribusi membangun desa, lewat dana transfer desa para perantau setempat.

Bahkan di kota selama tak mudik pun, kawan-kawan ini masih dapat memberikan bantuan pemikiran dan jaringan via online.  Itulah kemudian pemudik nyata dan pemudik virtual pun punya tanggung jawab dan kewajiban yang sama, yaitu membawa kemajuan dan kesejahteraan desa.

Selanjutnya, perkumpulan atau paguyuban keluarga perantau di kota-kota besar, nampaknya layak dan masih relevan diberdayakan dalam rangka politik balas budi ke desa, membangun desa, merawat kerukunan, menyejahterakan anggota dan menjaga moderasi desa tanpa menafikan nilai keutamaan desa.

Ini semua bakal turut memangkas defisit sosial kita sekaligus menahan laju urbanisasi. Di desa itu tak kekurangan, karena dana desa melimpah, riangnya pemberdayaan desa migran produktif (desmigratif), juga pasokan dana pembangunan lainnya dengan konsentrasi desa. 

Jadi, jangan sampai berkembang asumsi bahwa pemudik hanya bagian dari masalah tapi harus menjadi bagian atas solusi. Yang pasti tak mudik, mudik mengikuti ketentuan, termasuk mudik online itu baper : bawa perubahan, sekurangnya bagi desa kita (is us).

Untuk itu, perantau yang secara reguler mudik saban tahun manajemennya perlu ditata sedemikian rupa, agar memberi daya ungkit produktif, turut menyelesaikan PR bangsa bukan predator pembangunan. Termasuk konsistensi pemerintah (pusat hingga desa) dalam merawat kebijakan dan role model para elit dalam praktik ke-“tidak mudik”-annya.

Harapan kita, mudik pasca pandemi bukan saja menjalin solidaritas sosial internal masyarakat (bonding), tetapi juga menjembatani aspirasi masyarakat dengan negara (bridging), dan bahkan membangun jejaring (networking) dan kerja sama yang meluas. Dengan demikian, ongkos besar yang harus kita bayar dalam the journey mudik itu menjadi sepadan dengan efek mudik.

Dulu lagu no women no cry dari Bob Marley pernah nge-hits, kini aksi paling popular dan lebih bernyawa, yakni no mudik no cry. **

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng