Pandemi, Ikut Memicu Persoalan Sampah

Pandemi, Ikut Memicu Persoalan Sampah

KORANBERNAS.ID, BANTUL--Sampah selalu menjadi masalah yang terjadi di setiap kota. Pengolahan sampah secara mandiri, pada kenyataannya tidak banyak berkontribusi terhadap permasalahan ini. Kesadaran setiap rumah tangga dan individu yang merupakan hulu dari permasalahan sampah di DIY masih sangat rendah.

Tren belanja daring di masa pandemi ini ternyata berkontribusi cukup besar atas meningkatnya debit sampah di kantong-kantong penampungan.

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelola Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan mencatat, sampah rumah tangga dari DIY yang masuk ke TPST Piyungan mencapai 630-650 ton per hari pada November 2020 lalu. Angka tersebut jauh meningkat dibandingkan pada awal-awal pandemi sekitar 450 ton per hari.

TPST Piyungan sebagai satu-satunya muara sampah di kota Yogyakarta sejak Jumat (18/12/2020) tutup. Akibatnya, Depo penampungan di tiap Kemantren di Kota Yogyakarta membludak. Petugas pengumpul sampah di kampung-kampung juga berhenti beroperasi.

Ribut Rudarwanto, salah seorang penarik gerobak sampah di wilayah Kampung Mangkuyudan beberapa hari ini berhenti berkeliling mengambil sampah-sampah rumah tangga di wilayah kampung. Gerobaknya pun sempat ditinggal di tempat penampungan sampah sementara Sorosutan.

Hari ini, Rabu (23/12/2020) Dia mulai disibukkan seperti biasa. Truk sampah yang sebelumnya tidak diperbolehkan mengangkut sampah ke TPST Piyungan kembali beroperasi.

Solusi sementara permasalahan sampah yang terus berulang di DIY sudah di peroleh. Sekda DIY, Kadarmanta Baskara Aji menyampaikan, TPST Piyungan sudah mulai operasional tadi pagi.

“Karena sudah boleh membuang sampah maka armada-armada wira-wiri (pulang pergi-red) yang biasanya dua kali bisa jadi empat kali supaya yang di depo-depo segera bersih,” ungkapnya kepada wartawan di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Rabu Siang.

Menurut Aji, Pemda akan menyusun payung hukum untuk mengendalikan sampah agar persoalan membludaknya sampah tidak terus terjadi. Apalagi tidak semua kabupaten/kota memiliki tempat pembuangan akhir sampah-sampah yang dihasilkan masyarakat.

Selain pembenahan drainase sebagai solusi jangka pendek, Pemda memiliki beberapa opsi solusi, terutama dalam pengolahan sampah.

Aji mencontohkan pengelolaan sampah di Jepang. Negara tersebut menerapkan tarif bagi masyarakat dalam membuang sampah. Warga di Jepang yang hendak membuang sampah wajib membeli tas khusus. Bila tidak memakai tas yang ditentukan, maka sampah-sampah mereka tidak akan diambil petugas. Strategi tersebut bisa membuat orang berpikir dua kali untuk menimbun sampah karena harga tas khususnya yang mahal.

“Kalau menaruh sampah tidak pakai tas itu, tidak akan diambil oleh tukang sampah. Tapi tasnya mahal, kalau misal tas biasa 25 ribu, maka mereka menjual 50 ribu. Nah harga tas itu sebetulnya untuk biaya untuk mengolah sampah,” jelasnya.

Aji menyebutkan, strategi yang diterapkan Jepang tidak bisa serta merta diberlakukan di DIY. Sebab kemampuan ekonomi masyarakat yang berbeda-beda.

Karenanya Pemda lebih mengedepankan pengolahan sampah yang ada di TPST Piyungan. Menggandeng investor dan Badan Usaha Pemerintah, sampah-sampah tersebut akan diolah menjadi energi terbarukan atau komiditi lain yang bermanfaat.

“Nanti akan diatur dengan Perda, dan Pergub. Tapi tetap melihat kemampuan masyarakat. Karena pemerintah itu kan tidak boleh membuat masyarakat kesulitan. Itu sudah terpikirkan,” ujarnya.

Aji berharap masyarakat memiliki kesadaran untuk memilah sampah rumah tangga. Dengan demikian sampah yang dihasilkan rumah tangga bisa disortir untuk sampah-sampah organik maupun non organik. Hal ini harus dilakukan karena kapasitas TPST Piyungan sangat terbatas.

Plt DLHK DIY, Hananto Hadi Purnomo mengungkapkan, Pemda meningkatkan sarana dan prasarana di TPST Piyungan. Mulau dari pembangunan talud, ronjong dan drainase di kawasan di TPST Piyungan.

“Kami mulai melakukan penanganan drainase pelan-pelan. Selebihnya pengamanan TPST biasa,” imbuhnya. (*)