Pandemi, Rahim Baru Kreativitas Sedhut Senut

Pandemi, Rahim Baru Kreativitas Sedhut Senut

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Pandemi yang belum juga berhenti mengubah hampir semua tata cara kehidupan. Tatanan kehidupan baru (new normal) menimbulkan banyak konsekuensi. Protokol kesehatan yang mengharuskan orang menjaga jarak satu dan lainnya serta tidak berkerumun adalah bagian tidak mungkin tidak terjadi dalam sebuah perhelatan seni pertunjukan.

Keriuhan berbagai aktivitas seni pertunjukan tradisi maupun modern yang sebelumnya nyaris tak pernah sepi di kota berpredikat Kota Budaya ini, tiba-tiba senyap terhitung sejak Maret 2020, ketika kasus positif Covid-19 pertama diketahui di Yogyakarta.

Agar dapat terus berkarya dan mengasah kreativitas seniman pertunjukan, pementasan online atau daring menjadi satu-satunya pilihan sementara untuk menggantikan panggung sebuah pementasan seni. Berbagai platform digital dan video streaming mau tidak mau harus diadaptasi menjadi hal yang mungkin baru bagi pekerja seni di Yogyakarta.

Kelompok teater bahasa Jawa Sedhut Senut, menjadikan momentum pandemi demi mengembangkan kreativitas mereka dalam berkesenian di platform baru. Dua bulan sempat tidak melakukan pentas, bahkan sekadar pertemuan, membuat kerinduan yang justru memicu  munculnya ide-ide baru dalam mengekplorasi ruang pertunjukan digital.

Saat ditemui koranbernas.id Senin (21/9/2020) di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Elyandra Widharta, salah seorang pentolan kelompok Sedhut Senut memaparkan, beberapa konsep pentas yang sejatinya dihelat offline terpaksa batal terkena imbas pandemi. Bahkan beberapa di antaranya sudah melewati proses latihan yang matang.

"Tapi kemudian setelah format panggung ini berubah menjadi online yang terjadi di Sedhut Senut justru mengakibatkan kerinduan teman-teman untuk berkumpul. Ide menjadi lebih banyak karena medium yang digunakan satu-satunya adalah online," tuturnya.

Kelompok teater yang sebelumnya bernama Komunitas Sego Gurih ini melakukan pertemuan dan proses rekaman setiap minggu. Pandemi juga yang membuat kelompok tersebut menjadi kreatif mengubah dan mengadaptasi konsep yang pernah direncanakan secara offline menjadi format video untuk kebutuhan pementasan daring.

“Karena medium sudah berganti digital, setiap Minggu kami berkumpul. Siapa yang bisa datang langsung syuting. Kami melakukan rekaman-rekaman stock shoot kepada teman-teman yang datang berdasarkan cerita yang ada, kemudian nanti digabung-gabungkan melalui proses editing," paparnya.

Lebih profesional

Menurut Ely proses rekaman kelompoknya yang hanya menggunakan satu kamera statis menyebabkan proses melakonkan peran tidak boleh salah. Karena jika terjadi kesalahan konsekuensinya adalah melakukan pengulangan adegan dari awal.

“Tapi ternyata, justru dengan model seperti itu teman-teman jadi punya keberanian untuk menawarkan satu perkembangan cerita berdasarkan wos yang ada, dan mereka lebih hati-hati memilih adegan karena terkait dengan durasi. Jadi berlatih bagaimana menjadi lebih profesional,” lanjutnya.

Selain itu, mereka yang tidak ikut main juga diperbolehkan datang untuk merespons pentas. “Jadi, kalau ada adegan lucu, teman-teman penonton boleh tertawa dan itu masuk ke rekaman. Jadi Sedhut Senut tidak menggunakan template ketawa seperti pentas-pentas daring yang lain," tambahnya.

Walau pementasan tidak seramai sebelum pandemi, Ely mengakui beberapa hal positif yang diterima kelompoknya. Usai menayangkan cerita Tarub secara daring di kanal youtube milik Dinas Kebudayaan DIY pada 19 Agustus dan pementasan lakon Molimo secara live 16 September lalu, Sedhut Senut juga kolaborasi dengan musisi dan pencipta lagu pop Jawa kontemporer, Denny Caknan.

Dalam kolaborasi yang ditayangkan awal Oktober itu, Sedhut Senut memainkan teater bahasa jawa sebagai pengantar atau pembuka sebuah lagu baru milik Denny Caknan.

Ely menambahkan, sebuah pementasan daring bernuansa sejarah juga dilaksanakan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-264 Kota Yogyakarta. (*)