Patriotisme, Cinta Tanah Air dan Bela Negara

Patriotisme, Cinta Tanah Air dan Bela Negara

DALAM perspektif Pancasila, sebenarnya semua komponen bangsa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi patriot bangsa. Potensi itu ada di dalam jiwanya. Potensi itu akan manifest menjadi sikap dan perilaku patriotik, manakala dibina dan dikembangkan. Salah satu wahana pembinaan dan pengembangan (yang terbaik) adalah pendidikan. Menurut Ki Hadjar Dewantara (2004: 14-15), yang dimaksud pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak, untuk memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan selaras dengan dunianya.

Akhir-akhir ini banyak pihak mencermati bahwa semangat patriotik komponen bangsa di tingkat elit ataupun akar rumput cenderung melemah. Indikatornya, antara lain: lemahnya kesadaran bela negara dan minimnya pemahaman serta penghayatan nasionalisme. Layak dipertanyakan, jangan-jangan ada masalah dengan pendidikan kepada mereka? Jangan-jangan karena nilai-nilai Pancasila sebagai basis pendidikan karakter tidak lagi diajarkan? Jangan-jangan orientasi pendidikan bukan untuk memajukan kesempurnaan hidup, melainkan untuk tujuan komersial, sehingga muncul ”jual-beli” ijazah palsu? Sederet pertanyaan tersebut, kiranya layak diajukan dan dicari jawabnya, melalui cara-cara ilmiah, suasana hati jernih dan jujur, disertai wawasan kebangsaan tinggi.

Saya akan mulai uraikan persoalan-persoalan di atas dari bela negara. Pada tataran konsep, hingga saat ini belum jelas (apalagi disepakati) apa yang dimaksud bela negara. Di dalam Pancasila sebenarnya terkandung nilai-nilai yang mewajibkan setiap komponen bangsa mencintai tanar airnya sebagai bukti manusia beriman, bertaqwa, dan beradab.

Nilai-nilai Pancasila yang terdapat dan bersumber pada agama Islam, misalnya, secara nyata mengajarkan agar setiap muslim cinta pada tanah airnya. Mengapa? Karena hubbul wathan minal iman (cinta tanah air itu bagian dari iman). Ajaran dan perintah ini mudah dicerna akal sehat. Dalam kondisi tanah air, bangsa, dan pemerintahan stabil, aman, kokoh, maka semua komponen bangsa mudah dan nyaman menjalankan peribadatannya, baik vertikal maupun horizontal. Kehidupan menjadi produktif. Kehidupan akan diwarnai dengan keharmonisan, kemakmuran, keadilan sosial, dan berbagai progresivitas lainnya. Sebaliknya, bila ketahanan negara lemah, situasi rentan perpecahan, berbagai tindakan anarkhis merebak, maka tidur pun tak nyenyak, rezeki sulit didapat, penderitaan semakin berlipat-lipat. Sayyidina Umar bin Khatab RA berkata: “Seandainya suatu bangsa tidak cinta tanah airnya, maka hancurlah, terpuruklah negara itu; sebaliknya bila suatu bangsa cinta tanah airnya, maka jayalah negeri itu”. Demi terwujudnya negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara yang baik dan diampuni oleh Allah SWT), maka bela negara sebagai bukti kecintaan kepada tanah air, mesti dilakukan secara serius, bijak, dan berkesinambungan.

Pada ranah konstitusi, tersurat pada Pasal 30 UUD 1945, bahwa ada hukum dasar tertulis yang mewajibkan setiap warga negara ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Lebih lanjut di dalam Pasal 9 UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dinyatakan, bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Merujuk pada sumber-sumber hukum tersebut, muncul persoalan bagaimana negara menyiapkan patriot-patriot bangsa yang setiap saat siap-sedia membela negara? Jawaban atas persoalan ini beragam, antara lain: perlu wajib militer, atau program bela negara, ataupun program-program lain.

Dalam pandangan TB. Hasanuddin (2014), atas dasar berbagai argumentasi yang merujuk pada keadan internasional maupun nasional, melalui optic sosiologi, historis, maupun empiris, bahwa wajib militer belum mendesak dan penting diterapkan di Indonesia saat ini. Justru yang penting dilakukan adalah penumbuhan kesadaran bela negara, melalui pendidikan pada setiap jenjangnya, mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi.

Bela negara, mesti terkait dengan nasionalisme. Perihal nasionalisme, sebagaimana  Bung Karno (1945) mengistilahkan dengan “kebangsaan”, dipandang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pada saat beliau berpidato tgl. 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUKI, diusulkan dasar pertama Indonesia merdeka adalah kebangsaan. Kata Bung Karno: ”Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia. Satu Nationale Staat. Kebangsaan Indonesia yang bulat. Indonesia seluruhnya, dari sejak berdiri Sriwijaya dan Majapahit sampai kini negara yang harus kita dirikan”. Kebangsaan yang dianjurkan itu bukan kebangsaan menyendiri, bukan kebangsaan yang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, bukan kebangsaan yang meremehkan bangsa lain, akan tetapi kebangsaan menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa, persaudaraan dunia.

Apabila pendapat TB.Hasanuddin tentang bela negara dan ajaran Bung Karno tentang kebangsaan di atas, dielaborasi secara kritis, akan diperoleh beberapa catatan penting sebagai berikut:

  1. Pancasila, wajib dimasukkan sebagai bagian kurikulum pendidikan bela negara, sebagai upaya memupuk rasa kabangsaan peserta didik. Hal ini penting agar karakter bela negara dan rasa kebangsaan dapat tumbuh secara alami (bukan atas dasar paksaan), berwawasan kebangsaan Indonesia (bukan copy paste konsep negara lain), berkarakter komunalistik-religius (bukan individual-liberalistik), berorientasi kepada kepentingan bangsa dan negara (bukan kepentingan pribadi, golongan, atau kelompok).

 

  1. Patut diinsyafi bahwa pendidikan karakter bela negara dan upaya memupuk rasa kebangsaan, sebagai konsep, sebagai proses, maupun sebagai produk, bukanlah bebas nilai, melainkan sarat nilai (value loaded). Setiap bangsa mesti memiliki kesepakatan tentang nilai-nilai yang digunakan sebagai dasar untuk mengukur tentang baik atau buruknya berbagai aspek pendidikan karakter bela negara dan rasa kebangsaan tersebut. Tidak lain, ukurannya berupa dasar falsafah negara. Di situlah, komitmen setiap komponen bangsa dalam ber-Pancasila amat penting dan perlu dimantapkan.

 

  1. Pendidikan karakter bela negara dan upaya memupuk rasa kebangsaan, selain merupakan derivat dari pandangan hidup dan dasar falsafah negara yang dianutnya, juga terkait erat dengan pilihan politik (political choice). Artinya, akan sangat mungkin terjadi, pendidikan karakter bela negara dan upaya memupuk rasa kebangsaan yang diselenggarakan oleh satu rezim kekuasaan menjadi berbeda dengan yang diselenggarakan oleh rezim lain. Bahkan sangat mungkin dan sah ketika negara ini memutuskan sistem pendidikan karakter bela negara dan upaya memupuk rasa kebangsaan berbeda dengan negara lain (Sudjito, 2011).

 

  1. Fokus pendidikan bela negara dan upaya memupuk rasa kebangsaan adalah tumbuhnya karakter patriotik. Karakter (bahasa Latin, “charasein”), artinya mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan. Karakter itu menjadi tanda pembeda yang bersifat tetap antara satu bangsa dengan bangsa lain. Dasar dari karakter adalah bekal hidup (bakat) yang melekat pada kodrat biologisnya. Dasar karakter ini akan berkembang manakala bersentuhan dengan “ajar”, yakni pendidikan yang berlangsung sejak manusia masih dalam kandungan ibunya, hingga akil-balig. Betapa pun secara kodrati di dalam setiap jiwa ada karakter individual, namun sebagai bangsa, karakter yang perlu terus ditonjolkan adalah kekeluargaan, gotong-royong, komunalistik-religius. Karakter bangsa demikian itulah yang tergambarkan pada Penjelasan Umum Pembukaan UUD 1945. Bung Karno (1945), menyebut rakyat Indonesia sebagai rakyat gotong-royong. Bela negara, merebut kemerdekaan dilakukan secara gotong-royong, dengan semboyan holopis kuntul baris. Inilah karakter bangsa dan kunci keberhasilan bela negara. Dengan demikian, pendidikan karakter patriotik perlu didukung dan dikelola dalam semangat gotong-royong, terorganisir, bersifat long life education, dimulai dengan penanaman nilai-nilai Pancasila oleh keluarga, masyarakat dan negara, baik melalui jalur pendidikan nonformal maupun formal.
  2. Berhubung apa yang disebut sebagai: pandangan hidup, nilai-nilai, dan norma-norma itu merupakan bagian dari dasar falsafah negara, maka sebenarnya antara pendidikan, dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan kebudayaan merupakan bagian integral (tak terpisah). Keseluruhannya selalu berkelindan dan ada hubungan resiprokal. Oleh karena itu, menggarap pendidikan karakter bela negara, tidak dapat dipisahkan dari pendidikan Pancasila, agama dan kebudayaan. Ketiganya tidak boleh digarap secara parsial, terpisah atau sekadar disandingkan, melainkan wajib dikelola secara utuh, terpadu sebagai satu kesatuan. Pendidikan karakter bela negara perlu dilakukan melalui pendekatan holistik dan berkesinambungan.
  3. Secara strategis, pendidikan karakter bela negara dan upaya memupuk rasa kebangsaan perlu dilakukan melalui aktivitas-aktivitas berikut:
  1. Melakukan identifikasi mengenai nilai-nilai Pancasila (utamanya nilai-nilai patriotik) yang perlu diaktualisasikan, dilestarikan, diwariskan dan dikembangkan kepada peserta didik agar mereka memiliki rasa bangga terhadap terhadap Pancasila;
  2. Melakukan identifikasi terhadap nilai-nilai asing yang berpengaruh terhadap karakter bangsa agar peserta didik tidak larut ke dalam budaya asing serta merta merendahkan budaya sendiri, melainkan berani menolak kehadiran anasir-anasir asing yang bersifat merusak;
  3. Merancang strategi penyaringan (filterisasi) terhadap nilai-nilai asing agar bangsa ini tetap mampu berkiprah dalam dunia global tanpa kehilangan jati diri dan identitas sebagai bangsa Indonesia. Alat (filter) untuk penyaringan nilai asing tersebut adalah nilai-nilai Pancasila, sementara itu mengenai metode penyaringan dapat dirancang secara kreatif, dinamis dan kontekstual.
  4. Berusaha melakukan akulturasi budaya sebagai strategi memperkenalkan karakter patriotik kepada bangsa lain dan sekaligus belajar terhadap budaya asing tentang bela negara dan upaya memupuk rasa kebangsaan, yang sesuai dengan budaya domestik. Hal demikian dilakukan bukan sekedar untuk saling memahami mengenai budaya bela negara dan rasa kebangsaan masing-masing, melainkan lebih dari itu diharapkan bangsa Indonesia bisa mewarnai budaya bangsa lain, sehingga akan tumbuh sikap dan perilaku saling menghormati antar sesama bangsa, sebagai kontribusi dalam mewujudkan perdamaian dunia.

Melalui artikel berjudul ”Mengubah Perilaku Bangsa” (KORAN SINDO, 6 Maret 2015), saya pernah mengajukan saran (urun-rembug), agar program pengubahan perilaku bangsa (termasuk pemantapan bela negara), senantiasa mengedepankan perilaku syukur atas dua hal, yaitu: (1) rahmat Tuhan berupa kemerdekaan, dan; (2) penguasaan tanah, air, serta sumberdaya alam melimpah. Syukur, di sini dalam maknanya: ”menggunakan atau mengolah nikmat yang dilimpahkan Tuhan sesuai dengan tujuan dianugerahkannya”.

Kita yakin dengan daya kreasi atau inisiasi yang melekat pada jiwa setiap komponen bangsa, kemerdekaan dapat dijadikan peluang untuk membangun negara. Sumber daya alam melimpah, laksana untaian jamrut khatulistiwa, bila diolah bangsa sendiri secara bijak, pastilah mendatangkan kesejahteraan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Patriotisme, cinta tanah air, dan bela negara, merupakan manifestasi perilaku syukur dan komitmen memperkokoh ketahanan negara agar bangsa ini berdaulat atas negeri sendiri. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, SH., Msi.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM.