Pembacaan dan Pemberlakuan PPKM Secara Bijak

Pembacaan dan Pemberlakuan PPKM Secara Bijak

SIKAP dan perilaku macam apa, yang mesti ada pada tokoh bangsa, ataupun masyarakat awam, kala Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diberlakukan? Kiranya, sudah bukan zamannya lagi, pernyataan tokoh bangsa dianggap pasti benar, dan masyarakat awam diwajibkan selalu patuh, pasrah, menyerah.

Semua orang di negeri ini, memiliki hati-nurani, otak, dan akal yang relatif sama kualitasnya. Satu hal pasti, bahwa semuanya masih gagap, apa wujud, warna, besar-kecil Covid-19. Sama-sama gagap pula, kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Ada silang pendapat, benarkah PPKM merupakan obat mujarab pemutusan rantai penularan Covid-19, demi kemanusiaan?

Prediksi para tokoh bangsa, hampir tak ada beda dengan prediksi orang awam. Maka, wajar bila rasionalitas dan sensitivitas, menjadi ukuran-ukuran kematangan sikap dan perilaku masing-masing. Contoh, saat pemberlakuan PPKM Darurat (kini diubah menjadi PPKM level-4), pedagang K-5 diuber, ditangkap, dan didenda oleh aparat pemerintah. Wajar, pedagang K-5 berontak. Pada dimensi rasionalitas,  ketercukupan pangan hanya dimungkinkan bila terus berjualan. Sementara itu, sensitivitas aparat tak tersambung dengan realitas kemiskinan itu. Artinya, aparat gagap membaca realitas sosial? Alangkah elegan bila aparat bergegas membagikan bantuan sosial kepada masyarakat miskin. Bukankah sikap demikian yang diharapkan?

Kearifan membaca realitas zaman, amat diperlukan semua pihak. Memperbanyak dan mempertajam aktivitas membaca, perlu dibudayakan. Layak diinsyafi bahwa aktivitas membaca merupakan bukti masih adanya hidup dan kehidupan. Esensi hidup adalah gerak, perubahan, dinamika, dan progresivitas. Kehidupan merupakan wadah dan pembadanan segala proses, hingga hasil dari aktivitas semua makhluk hidup. Ketika hidup dan kehidupan, berproses dalam dekapan alam semesta, di situlah dijumpai berbagai hal, serba kompleks. Ada hal bersifat fisik, ada pula hal bersifat metafisik. Semuanya, wajib dibaca, dicerna, dianalisis, hingga disimpulkan. Kesimpulan itulah yang akan memandu berbagai aktivitas lanjutan.

Para spiritualis dan agamawan senantiasa mengingatkan pentingnya manusia membaca. Pembacaan bisa diawali dari keberadaan tubuh. Allah SWT adalah sang Pencipta seluruh alam semesta, baik manusia, hewan-hewan, tumbuhan, dan lain-lainnya. Dinyatakan-Nya bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang mempunyai bentuk (tubuh) paling baik, dibandingkan dengan bentuk (tubuh) makhluk-makhluk lainnya. “Laqad khalaqnal-insāna fÄ« aḥsani taqwÄ«m, artinya: Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya" (QS at-Tin, Ayat: 4).

Pada bentuk dan kesempurnaan bentuk (tubuh) itu, terkandung simbol-simbol spiritual yang layak dibaca. Manusia dikasih dua telinga dan satu mulut, maka pesan moralnya: belajarlah mendengar dua kali lebih banyak dari berbicara. Manusia dikasih lidah, tidak bertulang, dijaga rapat dan rapi oleh gigi yang keras, serta bibir yang lembut. Tak terbatas kata-kata bisa diucapkan. Pesan-pesan moralnya: hati-hati berbicara. Berbicaralah ketika kata-kata mampu dirangkai menjadi kalimat yang sepadan dengan wangi dan indahnya bunga. Kaki kita sudah lama dijaga oleh sandal atau sepatu. Pesan moralnya: hati-hati melangkah dalam kehidupan. Salah melangkah atau menggunakan kaki, bisa tersesat, tersandung, terperosok ke jurang. Walaupun setiap manusia bebas memilih: apa saja yang ingin didengar, diucapkan, atau kemana arah perjalanannya, tetapi ingat, segalanya ada konsekuensinya. Itulah natural law, sunatullah.

Bagi orang beriman, konsekuensi-konsekuensi dimaksud telah dijanjikan Allah SWT: “Fa may ya'mal misqoola zarrotin khoiroy yaroh, wa may ya'mal misqoola zarrotin syarroy yaroh, artinya: Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya"(QS Az-Zalzalah: Ayat 7-8)

Di runut ke belakang, sebelum ruh dimasukkan ke dalam tubuh (jasad) manusia, Allah SWT telah mengambil kesaksian, seraya berfirman: "… a lastu birobbikum, qooluu balaa syahidnaa…, artinya: Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab betul, engkau Tuhan kami,  kami bersaksi…" (QS Al-A'raf: Ayat 172). Kebersatuan antara jasad dan ruh itulah menjadikan manusia hidup. Lebih lanjut, ketika manusia telah dewasa, diamanahkan kepadanya kewajiban-kewajiban sebagai penghuni, pengelola, dan perawat bumi. Sejak saat itu, fungsi, posisi, kedudukan manusia mencakup sebagai abdillah dan sekaligus kalifatullah fil ardl.

Pada perpaduan antara jasad dan ruh, muncullah energi, kreativitas, dan semangat untuk mengurus kehidupan di bumi. Diharapkan, dari waktu ke waktu, dari satu zaman ke zaman lain, atau dari satu generasi ke generasi penerusnya, senantiasa ada kemajuan-kemajuan. ”Energi Dalam” berupa kekuatan spiritual yang berasal dari ruhnya. ”Energi Dalam” itu menjadi luar biasa, ketika ruh benar-benar suci. Tiada isi lain, kecuali hidayah, pertolongan, petunjuk, dan kekuatan dari Allah SWT. Melalui mata hati dan ”Energi Dalam” inilah, seseorang mampu membaca dengan seksama terhadap pandemi Covid-19, PPKM, berikut berbagai respons berbagai kalangan terhadapnya.

Pada sisi lahiriah, Allah SWT telah menganugerahkan kekuatan (energi) fisik yang terkandung pada kenormalan dan fungsional organ-organ tubuh. Gerak organ tubuh, merupakan aktivitas lahiriah, akivitas lanjutan, yang muncul dari kehendak jiwa. Jenis, dinamika, arah, dan kualitas gerak organ tubuh, sangat ditentukan oleh kondisi ruhaniahnya.

Proses dan hasil pembacaan dengan mata kepala - sebagai bagian dari gerak organ tubuh - sangat tergantung pada kualitas ruhnya. Nabi SAW bersabda: ”Ingat dan ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik, maka tubuh (sikap dan tindakan) manusia baik semuanya. Dan apabila dia rusak, maka rusaklah semuanya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah hati” (HR Bukhori-Muslim).

Sejiwa dengan sabda Rasullulah di atas, Ahmad bin Rajab Al Hambali dalam Jami'ul 'Ulum wal Hikam berkata, ''Sesungguhnya baik buruknya tindakan seseorang dapat dilihat dari gerakan anggota badannya. Jauhnya dia dari hal-hal yang haram dan kehati-hatiannya dari perkara-perkara yang syubhat, sesuai dengan kebaikan hatinya. Jika hatinya baik maka tidak ada di dalamnya, kecuali kecintaan kepada Allah dan kecintaan kepada apa yang dicintai Allah”.

Allah SWT mengilhamkan kepada jiwa, jalan kefasikan dan ketakwaan. Pada dimensi ketaqwaan, adanya sikap taat, patuh, bahkan takut kepada Allah, akan menjadikan seluruh gerakan anggota tubuhnya baik. Sebaliknya, pada dimensi kefasikan, tatkala hatinya rusak, maka dia akan dikuasai oleh hawa nafsu, dan senantiasa mengejar apa yang diingini, meskipun hal itu dibenci Allah. Akibatnya, seluruh gerakan anggota badannya menjadi rusak, dan menimbulkan berbagai bentuk kemaksiatan, kerusakan, kejahatan, karena seluruh gerakannya mengikuti umbaran nafsu keserakahan. Inilah golongan manusia yang disebut Allah SWT: “summa rodadnaahu asfala saafiliin, artinya: kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (QS atTin: Ayat 5).

Sejujurnya, bila diperhatikan seksama, pandemi Covid-19, termasuk kebijakan PPKM, berikut respons orang awam, maupun aparat, dapatlah diyakini bahwa semuanya tersambung dengan kondisi dan kualitas ruhaniah masing-masing.

Kalau disepakati bahwa pandemi Covid-19 merupakan ujian kehidupan bersama, agar bangsa ini lulus, maka kebijakan PPKM dan lain-lainnya, perlu dikembalikan ke basis spiritual-religiusnya, yakni jiwa dan raga bangsa, dibenahi seluruhnya secara simultan, serius, dan berkesinambungan. Pembenahan diawali dari pembersihan hati. Mengapa? Sebab, hati laksana raja, sedangkan anggota tubuh yang lain laksana bala tentaranya. Apabila sikap dan perilaku rajanya baik, maka baik pula sikap dan perilaku bala tentaranya, dan demikian pula sebaliknya.

Mengingat pentingnya tazkiyatun nufus - yakni perbaikan sikap dan perilaku manusia dengan cara memperbaiki hati - maka tidaklah berlebihan jika pembenahan di mulai dari atas. Ibarat pembersihan rumah, maka kotoran di langit-langit dibersihkan lebih dulu, barulah kotoran di lantai disapu, dengan sapu bersih. Dengan cara demikian, diharapkan lahir sikap dan perilaku yang menguntungkan seluruh komponen bangsa, lapisan masyarakat, terutama lapisan rakyat kecil.

Akhirul kalam, pembacaan dan pemberlakuan PPKM hendaknya berbasis dan memperhatikan firman Allah SWT: ”Qod aflaha mang zakkaahaa, wa qod khooba mang dassaahaa, artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS Asy Syams: Ayat 9-10). Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru besar Ilmu Hukum UGM