Pemerintah Perlu Road Map, Jangan Sekadar Memungut

Pemerintah Perlu Road Map, Jangan Sekadar Memungut

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA — Strategi pemerintah mengendalikan jumlah perokok dengan menetapkan tarif cukai yang tinggi, sudah saatnya dievaluasi. Pemerintah mesti membuat road map yang jelas dan transparan untuk menata industri hasil tembakau ini bisa berjalan dengan baik, dan memastikan semua pihak yang terlibat di dalamnya terlindungi kepentingan ekonomi maupun sosialnya.

Hal ini menjadi sebagian kesimpulan dari diskusi AMTI dengan tema “Cukai & Eksistensi IHT, Bagaimana Suara Akademisi?”, Kamis (23/9/2021) malam. Diskusi menghadirkan Ketua Bidang Media Center AMTI Hananto Wibisono, Dr Eugenia Mardanugraha dari FEB UI, AB Widyanta Dosen Fisip UGM dan Dr Yahya Dosen Antropologi Universitas Hasanuddin Makassar.

Eugenia mengatakan, selama ini ada kesan kuat pemerintah terjebak pada kepentingan untuk mendongkrak penerimaan negara dari cukai, salah satunya cukai rokok. Padahal, kebijakan cukai sesungguhnya mengusung kepentingan yang lebih luas, yakni untuk memastikan semua barang yang beredar di masyarakat bisa dikendalikan pada batas-batas yang akan membawa kebaikan untuk semua orang.

“Kesan itu tidak bisa ditepis. Buktinya, pemerintah terus saja menaikan tarif cukai setiap tahun. Tapi di sisi lain pemerintah cenderung abai dengan target di luar unsur penerimaan negara itu. Misalnya saja, angka atau jumlah perokok tetap tinggi, tidak berkurang. Pemerintah juga tidak mampu menunjukan bukti apapun untuk menyiapkan alternatif bagi petani tembakau, cengkeh dan semua orang yang terlibat dalam industri hasil tembakau, apabila memang industri ini dianggap perlu dikendalikan,” kata Eugenia.

Pemerintah, katanya, sejauh ini belum menunjukkan keseriusan untuk mengurai persoalan panjang di industri ini. Padahal, rokok tercatat menjadi penyumbang terbesar penerimaan negara. Setiap tahun penerimaan negara dari cukai rokok berada di kisaran Rp 200 triliun. Sudah tentu besarnya penerimaan negara ini juga diikuti dengan kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang juga besar.

Tiap tahun pemerintah terus menaikan target penerimaan cukai. Apalagi saat pandemi ini, anggaran negara mengalami defisit yang besar. Sudah tentu pemerintah harus berpikir cara untuk mendorong atau menambah penerimaan negara untuk menutup defisit.

“Boleh jadi, cukai rokok salah satu yang diharapkan. Tapi musti dipahami, kenaikan cukai rokok jelas akan berpengaruh ke mata rantai tembakau yang panjang. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Pengenaan cukai yang tinggi tanpa menghitung risikonya ke mata rantai, akan berdampak panjang. Alih-alih menambah pemasukan negara, bisa jadi sebaliknya, akan mendatangkan masalah baru,” katanya.

Pemerintah, menurut Eugen, juga perlu kreatif untuk mencari sumber pendapatan negara dari cukai. Belajar dari negara-negara lain, seperti Thailand misalnya, ada puluhan barang yang dikenakan cukai. Jenis barang yang dikenakan cukaipun bukan tabu untuk diganti-ganti menyesuaikan kondisi atau kebutuhan, dengan arah utama adalah mengendalikan peredaran barang untuk menjaga asa keadilan.

“Jadi perlu juga ekstensifikasi. Jangan hanya bersandar pada beberapa barang saja. Apalagi kalau kemudian terjebak dengan hanya terfokus pada penerimaan negara tanpa memperhatikan dampak-dampak ikutan yang boleh jadi akan muncul akibat cukai. Itupun harus disertai dengan kebijakan-kebijakan lain yang bisa memastikan semua sektor bisa berjalan dengan normal, baik karena dikenai cukai ataupun ketika cukai dikurangi atau bahkan dicabut. Jadi ada mekanisme yang dibangun secara menyeluruh, memperhatikan semua sektor terkait,” tandasnya.

Dosen Fisipol UGM, Andreas Budi Widyanta, mengatakan prinsip kehati-hatian sangat penting dalam membuat kebijakan terkait Industri Hasil Tembakau (IHT). Setiap kebijakan, harus memperhatikan semua aspek, mulai dari hulu sampai hilir industri ini, untuk menghindari problem besar, terutama menyangkut petani dan buruh.

Peneliti pada Pusat Penelitian Pedesaan dan Kawasan UGM ini mengatakan, pemerintah sebelum menaikkan cukai, mestinya melakukan langkah- langkah riil membuat rancangan kebijakan yang bisa menjadi payung bagi semua. Pemerintah perlu menunjukkankeseriusannya. Jangan sampai mereka bersikap enteng saja dalam membuat kebijakan, tanpa dilandasi kajian menyeluruh dalam membuat kebijakan.

“Masyarakat akan merasakan ketidakadilan itu kalau pemerintah terus saja menganggap remeh kebijakan yang dikeluarkan,” kata Abe, panggilan akrab Andreas Budi.

Abe mengaku sependapat dengan Eugenia, bahwa pemerintah perlu menyusun road map yang jelas mengenai pertembakauan. Apabila pemerintah memang menginginkan penghapusan tembakau, maka mereka juga harus membuat alternatif komoditi apa yang bisa dibudidayakan oleh petani. Road map ini mesti dikontrol oleh subyek-subyek utama dalam pertembakauan, antara lain petani dan buruh.

“Kalau orang Jawa bilang ini nglulu. Karena hampir tidak mungkin pemerintah bisa memberikan alternatif pengganti tembakau, yang sudah dibudidayakan oleh petani-petani kita sejak dulu. Tidak kalah penting, pemerintah juga harus mengalokasikan dana yang memadai untuk mengembangkan riset-riset terkait tembakau dari hulu hingga hilir. Bangsa ini harus bertarung dengan dasar ilmu pengetahuan. Jangan sampai kita terus terusan tunduk dengan rezim ekonomi dan politik global, yang tentu punya agenda tersendiri. Jangan sampai menyesal,” kata Abe.

Sosiolog Widyanta menuturkan, berapa pun besaran CHT yang diterapkan, pemerintah selalu abai terhadap perjuangan para petani tembakau. Petani tembakau adalah pihak yang terpinggirkan, yang pemenuhan hak-haknya tidak pernah dipertimbangkan.

Tendensius Sektor Kesehatan

Dalam kesempatan yang sama, antropolog dari Unhas, Dr Yahya, berpendapat saat ini terlihat pemerintah menerapkan kebijakan yang tendensius pada sektor kesehatan saja dan tidak membuat kebijakan yang berimbang.

“Kebijakan soal rokok itu selalu dikaitkan dengan kesehatan, baik CHT maupun regulasi lain. Tendensius sekali. Padahal seharusnya kebijakan itu berimbang, lihat dampaknya ke semua sektor. Pemerintah harus fair. Industri dengan 6 juta orang yang terlibat di dalamnya mau dikemanakan?,” papar Yahya.

Di tengah pandemi yang masih berlangsung, Yahya berpandangan seharusnya pemerintah bisa lebih bijak dengan memprioritaskan hak-hak ekonomi masyarakat. Mulai dari petani tembakau, buruh rokok hingga pedagang yang sedang berjuang untuk bisa kembali bangkit dan mandiri secara ekonomi.

“Terutama di sisi petani tembakau ya, pemerintah seharusnya membantu petani melestarikan tembakau karena itu adalah cultural heritage. Sudah mendarah daging di petani,” tutupnya.

Soal rendahnya kualitas panen tembakau tahun ini, diakui oleh petani Sleman, Triyanto. Warga Caturharjo Sleman ini mengatakan, akibat terguyur hujan, daun tembakau yang dipanen petani kualitasnya rusak. Dampak lanjutannya, harga jual daun yang selama ini dikenal mampu menyumbang dana besar ke APBN ini juga anjlok.

“Kami sebenarnya baru mau mulai ke panen dengan grade C. Kalau normalnya, daun tembakau grade C biasanya laku di harga 75 ribu (rupiah) per kilo. Kemarin, harga jual kami baru mau mendekati 60 ribu (rupiah). Tapi kemudian disusul hujan. Ya harganya jadi jatuh. Sekarang ini, laku terjual 30 ribu (rupiah) saja sudah sulit,” kata Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia DIY dan Sleman ini.

Triyanto mengatakan, dalam kondisi cuaca yang bagus, tembakau di Sleman tidak jarang mampu menembus kualitas terbaik atau grade F, yang biasanya laku terjual di kisaran Rp 200 ribu per kilo. Tapi tahun ini, dia memperkirakan kualitas terbaiknya nanti maksimal hanya akan sampai grade D. Itupun dengan standar catatan tidak turun hujan lagi hingga musim panen selesai.

“Banyak kawan-kawan petani yang akhirnya enggan meneruskan perawatan. Karena terus merawat artinya biaya tambah banyak. Sedangkan harga jualnya sulit diprediksi dalam kondisi cuaca seperti sekarang. Intinya, saat ini petani tembakau benar-benar sedang prihtain. Kualitas hasil panen rendah, padahal sebelumnya kami berharap ada hasil yang lumayan bagus untuk meringankan beban ekonomi yang terdampak pandemi,” jelasnya. (*)