Pemerintah Sulit Kendalikan Benda Cagar Budaya Milik Pribadi

Pemerintah Sulit Kendalikan Benda Cagar Budaya Milik Pribadi

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya belum mengatur secara jelas mengenai Benda Cagar Budaya (BCB) milik pribadi. Fakta di lapangan, terjadi banyak kendala sehingga pemerintah sulit melakukan pengendalian.

Ini terungkap tatkala berlangsung Rapat Kerja (Raker) Pengawasan Atas Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang diselenggarakan anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Cholid Mahmud, Kamis (28/7/2022), di Kantor DPD RI DIY Jalan Kusumanegara Yogyakarta.

“BCB itu ada yang milik pemerintah, instansi tertentu seperti PJKA, pegadaian dan bank tertentu, namun banyak yang milik pribadi. Yang kita lihat, Benda Cagar Budaya milik pribadi memang sulit pengendaliannya,” ungkap Cholid Mahmud saat menyampaikan keterangan pers usai raker.

Menurut dia, pada satu sisi pemerintah punya kepentingan menjaga cagar budaya supaya tidak rusak atau dijual namun pada sisi lain pemilik BCB seperti terikat oleh aturan. “Mereka bertanya, saya dapat apa kalau (bangunan) tidak boleh diubah,” ucapnya.

Raker kali ini dihadiri perwakilan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Kemendikbud DIY, Dewan Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya (DP2WB) DIY, Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DIY, Dinas Kebudayaan DIY, Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman.

Kemudian, Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul, Dinas Kebudayaan Kabupaten Gunungkidul, Dinas Kebudayaan Kabupaten Kulonprogo, Badan Musyawarah Musea (Barahmus) DIY, Pengelola Museum Sejarah Purbakala Pleret serta Kelompok Sadar Wisata Telatar Seneng.

Lebih lanjut Cholid Mahmud menjelaskan, beberapa pemda di DIY sudah melaksanakan cara-cara yang cukup kreatif demi melindungi cagar budaya. Misalnya di Gunungkidul melalui pembentukan komunitas pemilik BCB sektor tengah, timur dan barat. Pemerintah tinggal memfasilitasi melalui penyiasatan anggaran.

Misalnya, sebut dia, melalui program dan kegiatan lomba pemeliharaan BCB. Hadiahnya diberikan secara bergilir. Langkah ini ditempuh karena dari aspek teknis penganggaran memang tidak dimungkinkan. “Anngaran hibah sesuai aturan Kemendagri tidak boleh diberikan kepada orang yang sama setiap tahunnya,” kata Cholid.

Anggota DPD RI dari DIY ini menyarankan agar pemerintah memperbaiki regulasi. “Aturannya diperjelas. Misalnya bangunan yang dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya, kewajiban mereka apa? Kalau regulasinya tidak jelas, repot juga, iki omahku dhewe diwarisi dari orang tua diapa-apakke ora oleh,” kata Cholid mengutip aspirasi yang sering terdengar dari pemilik BCB.

Hal lain, lanjut dia, anggaran pemeliharaan maupun pemugaran sulit menyentuh BCB milik pribadi. “Yang selama ini sudah berjalan adalah BCB milik pemerintah dan perusahaan. Milik pribadi belum ada. Regulasi perlu diperjelas, penganggarannya seperti apa. UU tentang Cagar Budaya juga belum jelas bagaimana memberi anggaran ke BCB milik pribadi, pemda juga tidak berani,” tambahnya.

Cholid sepakat untuk nguri-uri Benda Cagar Budaya. Peradaban yang turun temurun itu jangan sampai punah begitu saja. Bisa jadi, saat ini dianggap biasa mungkin nanti generasi kedua menjadi luar biasa. Contoh, setelah berlaku sekian zaman, keberadaan bangunan pabrik gula yang pada masa dulu dianggap biasa saja sekarang ini justru luar biasa.

Warning

Saat raker, Kepala Seksi Pengembangan Warisan Budaya Benda Dinas Kebudayaan DIY, Agus Suwarto, memaparkan jumlah cagar budaya di DIY ada 754 berupa bangunan, benda, kawasan maupun struktur. Sedangkan jumlah warisan budaya 2.842. “Banyak, karena ada yang belum proses penetapan. Butuh waktu dan kajian,” jelasnya.

Dia mengakui, melihat kondisi sekarang ini sebenarnya sudah warning. Dengan panduan regulasi termasuk perda, pergub maupun perdais, Disbud DIY terus berupaya melakukan penyelamatan, meski seolah-olah kejar-kejaran dengan waktu sebab apabila terlambat bisa saja BCB ternyata sudah dirobohkan oleh pemiliknya.

Agus menjelaskan Disbud DIY memfasilitasi konsultasi pemanfaatan cagar budaya milik perseorangan. Dia mengakui memang agak susah karena dari aspek regulasi pemberian reward kepada pemilik cagar budaya belum ada, kecuali sekadar penghargaan setahun sekali. “Biaya pemeliharaan mahal,” tandasnya.

Alokasi dana sebenarnya ada namun demikian Pemda DIY kesulitan saat hendak memberikan bantuan rehab BCB milik pribadi. Takutnya begitu selesai rehab dijual sehingga dianggap menguntungkan pihak lain.

Akhirnya dipilih kebijakan yang tidak berisiko hukum, berupa penghargaan kepada pemilik BCB, mungkin ke depan ada terobosan yang bisa menyentuh secara langsung.

Kendala lainnya, sebut dia, sekarang ini pemilik cagar budaya perorangan enggan bangunan miliknya ditetapkan sebagai BCB karena harus mengikuti aturan, sedangkan reward tidak ada. Belum lagi, kawasan cagar budaya susah dikendalikan karena masuknya investasi. “Memang butuh waktu. Susah. Tapi harus ada pengendalian,” tegasnya.

Dia mencontohkan, fenomena di Gunungkidul, ada BCB sudah ditetapkan oleh pemerintah kemudian turun waris. Ahli waris susah karena dijual tidak bisa kecuali status BCB itu dihapus. Selama ini penghapusan status tersebut belum pernah terjadi.

Pada forum yang sama, Kabid Warisan Budaya Disbud Sleman, Wasito, serta Kasie Warisan Budaya Disbud Sleman Endah Kusuma W, juga mengakui penghargaan untuk pemilik BCB pribadi porsinya masih kecil.

Pihaknya pada tahun 2021 memberikan penghargaan. Setahun kemudian tidak ada lagi anggarannya. “Kami tidak dapat dari APBD kecuali dari Danais. APBD hanya untuk anggaran sekretariat,” jelasnya.

Pelestarian cagar budaya memang tidak mudah. Terbukti banyak BCB di kabupaten tersebut belum ada papan namanya. “Ada yang sudah dipasang, hilang,” ungkap Endah.

Selain itu, beberapa BCB juga masih menjadi sasaran vandalisme. Salah satunya Jembatan Pangukan. "Sudah terjadi beberapa kali. Dicat tahun 2019, tahun 2021 ada lagi vandalisme,” kata dia. (*)