Pemulihan Perekonomian Negara Pasca-Covid-19 melalui Forum G-20

Pemulihan Perekonomian Negara Pasca-Covid-19 melalui Forum G-20

PANDEMI global Covid-19 telah membawa embusan angin perubahan yang drastis, menyapu negara-negara di dunia untuk menyesuaikan diri dengan dinamika baru yang berubah. Hubungan internasional dan kebijakan politik luar negeri suatu negara, tak menutup kemungkinan mengalami pergeseran saat ini maupun post-corona. Bahkan Covid-19 mengancam perdamaian dan keamanan internasional serta menyebabkan menurunnya perekonomian negara di dunia, termasuk Indonesia.

Dampak dari pandemi Covid-19 yang cukup besar ini menumbuhkan semangat bagi seluruh dunia dalam berjuang menghadapi seluruh tantangan, khususnya pada sektor perekonomian. Kasus virus Covid-19, sangat berpengaruh juga terhadap perekonomian internasional. Banyak pelabuhan air dan udara yang ditutup karena kebijakan lockdown dari pemerintah. Padahal itu adalah jalur antarnegara untuk melakukan kerja sama ekspor dan impor ataupun kerja sama lainnya. Sehingga dengan sangat terpaksa kerja sama antarnegara harus dihentikan atau diundur sementara sampai keadaan mulai membaik.

Salah satu upaya nyata yang dilakukan Indonesia dalam memulihkan perekonomian nasional adalah melalui Forum Internasional G20. Di sinilah forum kerja sama internasional mengambil peran penting, terutama forum yang melibatkan berbagai negara berpengaruh dalam perekonomian dan tata kelola dunia. G-20, yang merupakan forum dialog antara sembilan belas negara dengan perekonomian terbesar ditambah Uni Eropa, mempunyai daya dukung politis sangat tinggi, untuk membawa berbagai agenda kerja sama yang diperlukan dalam masa krisis dan mempercepat pemulihan.

Kegiatan G20 ini dapat membantu mengembalikan perekonomian Indonesia yang terpuruk karna pandemi Covid-19 dan juga meningkatkan perdagangan Indonesia menjadi lebih baik. G20 ini merupakan forum kerja sama ekonomi Internasional yang terdiri dari negara-negara yang memiliki perekonomian besar di dunia. (Retno, 2022). Negara-negara tersebut terdiri dari Amerika Serikat, Afrika Selatan, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brazil, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Korea, Rusia, Prancis, Tiongkok, Turki, Uni eropa, dan tentu saja Indonesia. Dengan berkembangnya waktu, G-20 mulai ikut membicarakan berbagai agenda yang lebih luas di luar penanganan krisis dan pemulihan ekonomi. Pada masa kepemimpinan Perancis (2011), pembahasan sudah melebar kepada isu ketenagakerjaan, ketahanan pangan, sosial ekonomi, dan perubahan iklim. Agenda pembahasan di dalam KTT dan pertemuan G-20 berikutnya semakin banyak lagi memasukkan agenda lain terkait pembangunan ekonomi dan sosial. Ini tentu saja diperlukan untuk menjaga kelompok ini menjadi tetap relevan, ketika masa krisis mulai terlewatkan. Upaya yang dilakukan di dalam forum G-20 Tentu saja menangani krisis keuangan Global 2008, kebijakan pajak, kontribusi dalam penanganan pandemi Covid-19 dan juga diterapkannya investasi internasional. Investasi yang diraih Indonesia pada saat KTT G-20 yaitu, investasi yang dilakukan Amerika Serikat yang berbentuk kesepakatan ExxonMobil dengan Pertamina. Investasi ini dipastikan dapat membantu ekonomi para pekerja di Indonesia. Pemerintah Amerika juga telah meluncurkan Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) yang akan menginvestasikan dana sebesar US$600 miliar dalam bentuk pinjaman untuk proyek infrastruktur berkelanjutan bagi negara berkembang. (Susiwijono, 2022). Lalu China mendukung pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Investasi ini memiliki nilai investasi sebesar US$5 miliar atau setara dengan Rp 70.235 miliar. Jepang dan Inggris juga berpartisipasi dalam proyek MRT Jakarta.

Hal tersebut ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang dan pemerintah Inggris pada Senin 14 November di Nusa Dua Bali. Tidak hanya sampai di situ saja, Turki juga menjalin kesepakatan bilateral terkait produksi bus listrik di dalam negeri dan pembangunan jala tol Trans Sumatera. Kerja sama ini dilakukan oleh pabrik bus listrik Karsan di Turki bersama dengan PT. Schahmindo Perkasa. Dan proyek jalan tol Trans Sumatera dilakukan PT Hutama Karya dengan kontraktor di Turki. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, bahwa penyelenggaran kegiatan G20 memiliki dampak keuntugan secara langsung maupun tidak langsung. Dampak secara langsung bisa dirasakan pada saat ada kegiatan yang dilakukan di Indonesia dan pertemuan G20 di Indonesia itu memperkenalkan pariwisata Indonesia kepada dunia internasional, yang diharapkan dapat membantu menggerakkan perekonomian Indonesia di bidang pawisata. (Dian, 2022) Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno menyebut gelaran G20 akan berkontribusi terhadap proyeksi peningkatan wisatawan mancanegara hingga 1,8 juta - 3,6 juta dan juga 600 ribu - 700 ribu lapangan kerja baru.

Seperti Bali yang mendapat penghasilan tambahan serta 33 ribu masyarakat di Pulau Dewata mendapatkan pekerjaaan dari sektor transportasi, dan juga UMKM, karena kegiatan ini selalu melibatkan UMKM. Di samping itu, dampak tidak langsungnya Indonesia dapat menunjukkan kinerja ekonomi yang sangat baik dengan pertumbuhan ekonomi dan pemulihan yang masih meninggkat dan inflansi yang relatif rendah. Melalui Presidensi G20, Indonesia dapat memberikan gambaran kepada kepala negara, para menteri, maupun CEO dari berbagai perusahaan domestik dan internasional, untuk melihat Indonesia sebagai negara tujuan yang stabil untuk berinvestasi, dan pulih sangat kuat. Sebagai Presidensi G20, Indonesia mengusung tema "Recover Together, Recover Stronger". Tema ini diangkat mempertimbangkan kondisi dunia yang masih dalam tekanan akibat pandemi Covid-19, memerlukan suatu upaya bersama dan inklusif, dalam mencari jalan keluar atau solusi pemulihan dunia. Untuk mencapai target tersebut, Presidensi G20 Indonesia fokus pada tiga topik prioritas yang dinilai menjadi kunci bagi pemulihan yang kuat dan berkelanjutan. Berikut ini 3 topik besar Presidensi G20 di Indonesia:

  1. Penguatan Arsitektur Kesehatan Global.

Berkaca dari pandemi yang saat ini masih berlangsung, arsitektur kesehatan global akan diperkuat. Tidak hanya untuk menanggulangi pandemi saat ini, namun juga untuk mempersiapkan dunia agar dapat memiliki daya tanggap dan kapasitas yang lebih baik dalam menghadapi krisis kesehatan lain ke depan.

  1. Transformasi Digital.

Transformasi digital merupakan salah satu solusi utama dalam menggerakkan perekonomian kala pandemi, dan telah menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang baru. Untuk itu, Presidensi Indonesia akan berfokus kepada peningkatan kemampuan digital (digital skills) dan literasi digital (digital literacy) guna memastikan transformasi digital yang inklusif dan dinikmati seluruh negara.

  1. Transisi Energi.

Guna memastikan masa depan yang berkelanjutan, hijau dan menangani perubahan iklim secara nyata, Presidensi Indonesia mendorong transisi energi menuju energi baru dan terbarukan dengan mengedepankan keamanan energi, aksesibilitas dan keterjangkauan.

 

Krisis kesehatan dan ekonomi, yang mengikuti pandemi Covid-19, merupakan wake-up call bagi negara-negara G-20 untuk kembali menempatkan kerja sama internasional secara lebih fokus dalam menanggulangi krisis. Pada bulan Maret 2020, pemimpin negara-negara ini bertemu dan mengeluarkan seruan untuk penanggulangan pandemi dan krisis secara lebih serius. Ini diikuti dengan beberapa kebijakan yang dijabarkan dalam G-20 Action Plan in Supporting the Global Economy Through the Covid-19 Pandemic, serta tindakan dukungan ekonomi seperti Debt Service Suspension Initiative yang membantu negara berpenghasilan rendah dalam menangani beban utang mereka. Beberapa rencana tindakan lainnya juga mengikuti. Menteri-menteri perdagangan kelompok ini, misalnya, menyerukan untuk mengurangi ‘kebijakan perdagangan darurat’ yang banyak diambil, seperti pembatasan ekspor dan impor perangkat medis dan pelindung diri meskipun agak terlambat setelah akibat pandemi sudah semakin terasa. Sayangnya, G-20 dirasakan kurang mengambil peranan dalam berbagai aspek yang mempunyai bobot internasional sangat tinggi. Memang, kebanyakan masalah kesehatan harus ditangani pada tingkat nasional, seperti juga permasalahan krisis ekonomi dan turunnya daya beli. Namun, banyak aspek yang membutuhkan koordinasi di tingkat global.

Dalam bidang kesehatan, pertukaran informasi, riset dan sampel sangat diperlukan untuk pengambilan kebijakan yang tepat. Riset, produksi, dan distribusi vaksin juga memerlukan kerja sama internasional untuk menjamin ketersediaan dan cakupan yang maksimal. Sayangnya, ini belum dapat dilaksanakan dengan baik. Meskipun negara-negara G-20 sudah memberikan komitmen untuk mencapai cakupan vaksin 70% dari populasi dunia pada pertengahan 2022, distribusi dan akses yang pincang masih menjadi masalah besar, yakni banyak negara maju yang melakukan penimbunan, sementara banyak negara miskin yang sulit mendapatkan vaksin secara memadai.

Dalam bidang ekonomi, sangat banyak sekali kebijakan yang memerlukan koordinasi global. Hingga saat ini, misalnya, belum terlihat ada upaya berarti untuk mengoordinasikan prosedur perjalanan lintas batas. Padahal, ini diperlukan untuk menunjang pemulihan sektor seperti pariwisata dan perjalanan bisnis. Stimulus fiskal yang diumumkan oleh G-20 di Maret 2020, juga cenderung bersifat pendataan jika dibandingkan dengan koordinasi seperti yang dilakukan pada tahun 2008. Dalam merespons pandemi ini, G-20 sebenarnya telah melakukan beberapa hal yang mendukung, tetapi terlihat bahwa negara-negara ini kurang mampu keluar dengan tindakan dan kebijakan lanjutan yang diperlukan untuk mendorong kerja sama internasional. Salah satu faktor penyebabnya ialah karena G-20 saat ini tidak lagi fokus pada respons krisis, tetapi juga membagi perhatiannya pada berbagai agenda pembangunan lainnya.

Tidak dapat dilupakan bahwa pemulihan yang ingin dicapai merupakan pemulihan yang berkualitas dengan tujuan memperbaiki kondisi lingkungan dan dinikmati oleh semua pihak. Kondisi krisis saat ini tidak bisa menjadi alasan untuk melupakan permasalahan besar terkait perubahan iklim yang semakin terasa dampaknya. Tentu saja sumber daya yang dibutuhkan untuk pemulihan akan menjadi lebih besar. Sekali lagi kerja sama ekonomi internasional akan dapat membantu dalam memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan tersebut. Kepemimpinan Indonesia dalam G-20 pada tahun 2022 juga sangat strategis. Sebagai negara berkembang pertama yang memegang kepemimpinan dalam lima tahun terakhir, kepemimpinan Indonesia membuka kesempatan untuk partisipasi negara berkembang secara lebih luas. Kelompok negara maju G-7 saat ini juga mulai melakukan pembicaraan yang lebih intensif dan substansial dengan tindakan yang lebih konkret. Indonesia perlu menjadi jembatan untuk kerja sama lebih baik antara negara berkembang dan negara maju. Terciptanya keselarasan global yang lebih tinggi akan mendukung diambilnya tindakan-tindakan konkret bagi terciptanya pemulihan ekonomi yang lebih kuat, inklusif dan berkelanjutan. Dengan latar belakang seperti ini, posisi Indonesia sebagai pemimpin G-20 pada tahun 2022 ini menjadi sangat penting. Krisis yang berlangsung mulai terlihat bertransformasi. Risiko krisis keuangan dan krisis energi, telihat meningkat akibat terdisrupsinya supply chain dan produksi, serta beban utang yang semakin tinggi. **

Afifah Ayu Zharfani

Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Fisipol UMY.