Penyanyi Kondang Campursari Alih Profesi Buka Warung Angkringan Jualan Thiwul

Penyanyi Kondang Campursari Alih Profesi Buka Warung Angkringan Jualan Thiwul

KORANBERNAS.ID, GUNUNGKIDUL – “Mangga-mangga. Mau minum apa. Teh, kopi, jeruk. Wedang uwuh juga ada,” kata wanita ini dengan ramah.

Belum sempat dijawab dia kembali menawarkan menu dagangan favoritnya. “Ngersakke thiwul ta. Yang goreng atau biasa. Ini gorengannya juga masih anget kok,” katanya lagi.

Itulah aktivitas Suratmi, penyanyi kondang campursari yang kini beralih profesi menjadi pedagang makanan angkringan. Tangannya cekatan menyiapkan berbagai menu untuk pelanggannya. Omongannya renyah. Ceplas-ceplos.

“Berjualan itu harus ramah. Soal beli apa, itu terserah pembeli. Namun, sajian pertama yang saya tampilkan. Senyuman. Meski hati pedih. Namun harus tetap ramah,” kata pemilik sekaligus pelayan warung angkringan “Laras Mustika” di lingkar selatan atau timur simpang empat Tegalsari Kalurahan Siraman Wonosari Gunungkidul itu.

Nama grup musik campursari yang dipimpinnya “Laras Mustika”  sengaja dijadikan nama angkringan yang buka tiap hari mulai pukul 08:00 hingga 15:00. “Dengan mengambil nama grup campursari, kami harapkan angkringan ini bisa laris. Sebagaimana Laras Mustika sebelum pandemi Covid-19 yang tidak pernah istirahat. Laris. Manggung di mana-mana,” kata Ratmi, panggilan akrabnya, memulai kisahnya kepada koranbernas.id, Rabu (23/9/2020).

Warung tenda angkringan “Laras Mustika” merupakan bukti bahkan bentuk nyata dampak yang ditimbulkan pandemi Covid-19, terhadap artis seni, di antaranya campursari. Para artis campursari, salah satunya, Suratmi yang kelahiran Tepus, namun kini bertempat tinggal di Dusun Banaran Kalurahan Sumberejo Semin Gunungkidul, harus menerima kenyataan pahit akibat merebaknya virus Corona.

Ibu dua anak yang sudah sekitar delapan tahun malang melintang dan dari panggung ke panggung serta pentas di berbagai wilayah DIY dan Jawa Tengah, kini sudah hampir enam bulan ini harus menerima kenyataan buruk.

“Jangankan menerima tanggapan. Kumpul dengan teman grup saja tidak pernah,” tuturnya. Padahal diakui, menyanyi sudah menjadi pekerjaan pokoknya. Selaras dengan pesatnya perkembangan musik campursari dan meningkatnya selera masyarakat terhadap jenis aliran musik gagasan sang maestro Mathous itu.

Penghasilan Suyatmi dari campursari bisa dibilang cukup, bahkan lebih untuk hidup sehari-hari. “Sebelum ada Corona, setiap bulan hampir tidak pernah istirahat. Setiap hari, selalu ada job. Bahkan kalau bulan-bulan baik, dalam sehari bisa manggung dua hingga tiga kali di tempat yang terpisah,” kenangnya.

Penghasilannya sudah bisa ditebak. Puluhan juta bisa dibawa pulang. Tidak mengherankan berbagai kebutuhan hidup tercukupi. Mobil ada di garasi. Perhiasan emas menumpuk gemerlapan. Pakaian pentas dengan harga jutaan rupiah, memenuhi almari kamarnya. Bergelimang harta menyertai hidupnya. “Tetapi, itu dulu. Itu dulu,” kata Ratmi lirih.

Tinggal kenangan

Kini dirinya bersama suami dan anak-anaknya harus menerima kenyataan buruk. Kehidupannya berbalik arah. Semuanya hanya tinggal kenangan. Bahkan setiap dikenang, air mata yang berlinang.

“Karena kebutuhan hidup terlanjur banyak. Setiap hari juga harus makan. Sementara tidak ada penghasilan. Akhirnya, tabungan menjadi andalan,” katanya.

Tidak bisa dielakkan, tabungan dari hari ke hari semakin menipis. Perhiasan emas juga terkikis. “Karena angsuran bank juga harus dibayar, akhirnya semuanya habis. Tabungan. Perhiasan. Tidak ada yang tersisa. Ludes semuanya,” tuturnya memelas.

Namun, jiwa Suratmi tetap berusaha tegar. Kehidupan perih di masa kecil membangkitkan wanita berumur 40-an tahun ini untuk tidak begitu saja menyerah. Terobosan demi mencari sesuap nasi dilakukan. Dari berbagai pilihan, warung tenda angkringan menjadi pilihan. “Karena saya hobi masak. Namun modalnya kecil. Makanya hanya angkringan yang bisa dilakukan,” ujarnya.

Dengan niat baik dan membuang rasa malu maka usaha ini pun dilakukan. “Kenapa harus malu. Ini pekerjaan halal. Tuhan telah memberi jalan. Saya harus jualan nasi di tenda angkringan,” katanya mantap.

Karena warung tenda angkringan sudah ada di mana-mana, maka dirinya sengaja memilih lokasi di kawasan Kota Wonosari. Selain itu, menu yang disajikan, diupayakan beda.

“Makanya, saya sajikan menu favorit berupa nasi thiwul goreng. Ini belum ada di angkringan yang lain. Tentu saja ditambah berbagai minuman dan aneka macam gorengan,” jelasnya. Harganya? Sebagaimana layaknya makan di angkringan cukup Rp 10.000 dijamin perut kenyang.

Untuk menarik pembeli, bukan hanya disajikan menu yang beda namun wanita ramah ini selalu promosi melalui akun Youtube. Hasilnya luar biasa. Banyak penggemarnya yang sengaja mampir jajan di warungnya.

Bahkan gara-gara keluh kesahnya terhadap sang suami yang setiap hari hanya bermain layang-layang dan diunggah di Youtube, akhirnya wanita ini punya julukan baru Ratmi Lazangan, yang otomatis mendongkrak omzet penjualan warung angkringannya.

Layaknya orang yang punya usaha bisnis meski kecil-kecilan, warung angkringan itu diharapkan bisa menambah rupiah, selain penghasilan dari sang suami yang bekerja di bangunan meski sering kali Ratmi menelan pil pahit.

“Pernah dalam sehari saya hanya dapat uang Rp 20.000. Padahal belanjanya saja habis Rp 350.000 lebih,” keluhnya. Tetapi dirinya tetap gigih dan pantang mundur. Berkat keuletan dan ketelatenan, warung angkringan kini semakin laris. “Paling tidak bisa untuk hidup sehari-hari,” tuturnya.

Bersamaan dengan tenar dan larisnya warung miliknya, mulai Oktober ini beberapa pesanan manggung sudah mulai diterima. “Bulan Oktober nanti sudah ada 5 job manggung,” ucapnya.

Meski tanggapan menyanyi mulai mengalir lagi, namun Ratmi mengaku tetap akan mempertahankan dan berjualan di warung angkringan. “Kalau lagi manggung, angkringan rencananya tetap buka. Ada saudara yang akan nunggu. Mohon doanya,” kata dia.

Tetap  berkarya

Mau tidak mau. Suka tidak suka. Wabah Covid-19 harus diterima semua lapisan masyarakat termasuk pekerja seni, dengan berbagai konsekuensinya. Para seniman dan pekerja seni yang sebelumnya padat jadwal pentas, harus menahan rasa getir karena tidak bisa lagi tampil di depan publik.

Atraksi seni berhubungan langsung dengan hiburan. Sedangkan hiburan menjadi bagian hidup setiap insan. Namun tetap saja para pekerja seni harus gigit jari. Di Gunungkidul yang selama ini dikenal dengan lahirnya musik campursari beserta segudang artisnya secara langsung ikut terdampak.

Bahkan artis campursari terkenal, Tejo, mengaku sempat nganggur beberapa bulan, akibat tidak ada job manggung. “Blangkon saya sampai jamuran,” katanya ditemui di studio rekaman wilayah Kalurahan Dengok Kapanewon Playen Gunungkidul, Selasa (22/9/2020).

Dirinya masih beruntung karena salah satu stasiun televisi swasta di Yogyakarta masih sering membuat acara yang melibatkan dirinya. Namun artis-artis yang lain, hampir semuanya harus banting tulang menghidupi keluarganya, di luar panggung seni.

Tidak hanya dunia hiburan sektor pariwisata secara langsung juga harus menanggung imbasnya. Salah satu dampak paling nyata adalah beban utang pelaku wisata. Selama ini pengembangan usaha berasal dari suntikan permodalan lembaga perbankan. Ketika Covid-19 datang, semua buyar dan kembali dari nol.

Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) “Dewa Bejo” Kalurahan Bejiharjo Karangmojo, Subagyo, mengatakan hingga sekarang  usaha pariwisata Goa Pindul nyaris lumpuh. Meski sudah melakukan uji coba operasional hasilnya tidak sesuai harapan. "Sepekan pengunjung paling hanya 12 orang. Padahal dulu mencapai ribuan orang," katanya.

Dalam situasi demikian, pihaknya sulit berbicara masa depan. Paling dekat adalah memenuhi kebutuhan perut dan membayar cicilan bank. Dia tidak menampik tidak sedikit pengelola wisata memiliki beban utang. “Kalau terus-terusan begini utang terus menggunung,” ucapnya.

Dia berharap pemerintah memperhatikan keluh kesah masyarakat terutama beban hidup pelaku wisata. Keberpihakan pemerintah berupa penundaan cicilan sedikit banyak membantu kesulitan.

Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidu, Hary Sukmono, juga mengaku ada sebanyak 7.005 pelaku wisata yang secara langsung terkena dampak Corona sehingga tidak bisa menjalankan usahanya karena penutupan sementara beberapa obyek wisata. “Saat ini sudah 90 persen melakukan uji coba operasional, meski tetap mengutamakan ketaatan protokol kesehatan,” katanya.

Di tengah kegalauan ini Kemendikbud melalui Ditjen Kebudayaan melakukan upaya agar budayawan dan pelaku seni didorong tetap berkarya di tengah wabah Covid-19 melalui sistem dalam jaringan atau daring.

“Kita berharap program tersebut dapat memberikan kesempatan kepada pekerja seni dan budaya, meski di rumah, namun tetap berkarya di tengah wabah,” kata Agus Kamtono, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayaan) Gunungkidul.

Beberapa langkah yang diambil di tengah pandemi Covid-19 ini di antaranya menyelenggarakan sejumlah pertunjukan seni dengan cara online atau live streaming di kanal Youtube milik Kundha Kabudayaan.

Dengan demikian, para pelaku seni tetap dapat menghibur masyarakat di tengah pandemi. Mereka tetap bisa menyalurkan hobi dan kemampuannya. Setidaknya hingga bulan ini sudah ada lima kali pentas seni virtual, di antaranya kethoprak, dagelan Mataram dan tari.

Pertunjukan tetap diselenggarakan sesuai aturan. Pada lokasi pertunjukan dilarang ada warga yang menonton. “Tidak untuk ditonton secara langsung, hanya melalui Youtube,” ucapnya.

Karena pertunjukan seni ini harus mengutamakan protokol kesehatan, maka setiap kali pentas  tidak banyak pemain maupun tim yang dilibatkan. Jumlahnya disesuaikan. “Misalnya kethoprak yang biasanya diperankan banyak orang saat ini dibatasi hanya sekitar 7 orang, sementara pengiring gamelan hanya 10 orang saja,” tambahnya.

Menurut Agus Kamtono, semua atraksi seni yang difasilitasi Kundha Kabudayaan Gunungkidul menggunakan dana keistimewaan (danais). “Semuanya menggunakan danais. Jumlah dana tahun ini sebenarnya ada Rp 16 miliar, namun sekitar Rp 6 miliar dikembalikan untuk digunakan penanganan Covid-19,” ujarnya.

Tidak hanya itu, dalam upaya menghidupkan kembali atraksi seni dan menjawab kerinduan masyarakat terhadap hiburan, Pemkab Gunungkidul kini secara perlahan mulai membuka kran tersumbatnya pentas seni, di antaranya diberikannya izin bagi warga yang punya hajatan.

“Namun semuanya harus tetap mengedepankan protokol kesehatan. Jaga jarak, cuci tangan dan pakai masker. Ini harus,” kata Immawan Wahyudi, Wakil Bupati Gunungkidul ketika dihubungi secara terpisah, Rabu (23/9/2020). Hajatan di masa pandemi ini juga boleh menambah dengan atraksi seni, di antaranya campursari.

Dengan upaya ini diharapkan secara perlahan, nasib pekerja seni bisa terangkat kembali. Jeritan dan rintihan para seniman akan menghilang. Namun semuanya tetap mengedepankan protokol kesehatan. (*)