Peran Perempuan sejak Revolusi hingga Pandemi

Peran Perempuan sejak Revolusi hingga Pandemi

SOEKARNO dalam bukunya Sarinah mengatakan, “Bahwa soal wanita adalah soal masyarakat. Kita tidak dapat menyusun negara dan menyusun masyarakat jika kita tidak mengerti soal wanita.” Demikian penting soal wanita ini menjadi bahan bagi penyusunan masyarakat dan negara, sehingga pemahaman atas persoalan perempuan menjadi salah satu pijakan dalam membangun gerakan perempuan.

Kita punya Dewi Sartika dan R.A Kartini yang gigih memajukan wanita pribumi di bidang pendidikan. Cut Nyak Dien dan Nyi Ageng Serang yang dengan gagah berani memimpin perang di garis depan, melawan Belanda yang memiliki persenjataan lebih lengkap dan modern. Dan Laksamana Malahayati yang bertempur melawan penjajah di lautan Indonesia.

Suka sedih beraduk dalam setiap perjuangan perempuan. Bahkan problem perempuan secara umum selalu sama atau tidak banyak perubahan dalam setiap episode bangsa dari era kolonialisme, orde lama, orde baru, hingga zaman reformasi, yaitu menjadi obyek.  Pada era kolonialisme (sampai dengan 1945), perempuan menjadi obyek KDRT, poligami, perkawinan anak, kematian ibu. Selain itu, juga kemiskinan perempuan, partisipasi politik perempuan rendah dan pendidikan rendah.

Pada masa orde lama (1945-1966), perempuan juga menjadi obyek KDRT, poligami, perkawinan anak, kematian ibu, kemiskinan perempuan, partisipasi politik perempuan rendah, terusir dari kendali pemerintahan dan pendidikan rendah. Saat rentang orde baru (1966-1998), perempuan masih menjadi obyek KDRT, poligami, perkawinan anak, kematian ibu, perdagangan perempuan, kemiskinan perempuan, partisipasi politik perempuan rendah dan pendidikan rendah.

Zaman reformasi (1998-sekarang), perempuan tetap menjadi obyek KDRT, poligami, perkawinan anak, kematian ibu, perdagangan perempuan, kemiskinan perempuan dan partisipasi politik perempuan rendah. Tantangan kita saat ini adalah mengubah posisi obyek menjadi aktor atau subyek (pelaku perubahan dan pembangunan) melalui kesetaraan pendidikan bagi perempuan Indonesia. Pada masa pandemi Covid-19 sekarang ini, perempuan harus mengambil peran menjadi aktor untuk senantiasa éling lan ngélingké masyarakat untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan 5M (Memakai masker, Mencuci tangan dengan sabun, Menjaga jarak, Mengurangi mobilitas, dan Menghindari kerumunan).

Dalam hal vaksinasi, hendaknya dapat menjadi teladan sekaligus mendorong masyarakat yang belum vaksin untuk segera datang ke sentra-sentra vaksinasi, dengan tetap memperhatikan ketentuan batasan usia. Berikan informasi yang benar terkait vaksinasi, karena dengan ikut vaksinasi akan sangat mengurangi dampak/gejala yang dirasakan apabila terpaksa terpapar Covid-19.  Perempuan juga harus berperan dalam program Jaga Tangga, Jaga Warga, antara lain dengan membantu memenuhi kebutuhan pangan atau alat-alat kesehatan bagi warga yang sedang melakukan isolasi mandiri. Perempuan pun bisa memekarkan rasa kamanungsan, sense of crisis pada masa pandemi, melalui kegiatan bhakti sosial, bantuan pendidikan, hiburan, kesehatan, dll. Terus mengedukasi masyarakat untuk bijak dan santun dalam bermedsos.

Membuat iklim yang sejuk dan menenteramkan dalam keguyuban. Perempuan harus menjadi part of solution bagi bangsa. Rawat semangat gotong royong, bersama-sama kita hadapi dan atasi Covid-19.  Peran perempuan juga dibutuhkan untuk menciptakan rasa nyaman dan aman dalam keluarga. Bagi yang sudah berkeluarga, perempuan sebagai ibu, berperan bersama ayah menanamkan nilai tentang keadilan dan kesetaraan pada anak-anak, memperlakukan pola asuh anak yang menciptakan rasa aman, dan saling menghormati antaranggota keluarga, menguatkan semua anggota keluarga untuk tidak mudah kena pengaruh berita-berita yang menyesatkan, dll.

Di tengah gegap perayaan HUT ke-76 RI, hingga saat ini Covid-19 masih mewabah di seluruh Indonesia dengan ditunjukkan semakin meningkatnya jumlah pasien. Inilah tantangan besar bagi perempuan dalam membebaskan diri dan keluarga, bahkan bangsa dari agresi Covid-19. Perempuan dalam keluarga memiliki peran strategis. Pendidikan paling utama, yakni lingkungan keluarga yang banyak melibatkan peran ibu.

Sekolah Kehidupan

Ibu melahirkan anak-anak yang cerdas sebagai generasi penerus bangsa. Tentu pendidikan yang tak melulu memacu intelektualitas. Namun penting juga memberikan pendidikan agama, fisik, psikologis, sosial, dan seksual. Kini, musim pandemi Covid-19 pun membutuhkan peran perempuan tangguh menghadapi rerupa perubahan perilaku dalam kebiasaan keluarga melalui edukasi.

Tanpa mengenyampingkan laki-laki, di tangan perempuanlah keberhasilan pendidikan anak-anak di setiap perubahan perilaku. Perubahan perilaku ini dapat diawali dari penerapan Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) dalam keluarga. Menurut Permenkes No. 74 Tahun 2015, ada tiga strategi yang dapat dilakukan dalam Germas. Strategi pertama, pemberdayaan masyarakat, dilakukan dalam rangka menciptakan kesadaran, kemauan, serta kemampuan individu, keluarga, dan kelompok masyarakat. Strategi kedua, advokasi, dilakukan dalam rangka mendapatkan dukungan dalam bentuk kebijakan dan sumberdaya yang diperlukan. Strategi ketiga, kemitraan, dilakukan untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dan advokasi dalam rangka memelihara dan meningkatkan kesehatan.

Penerapan Germas pada masa pandemi Covid-19 ini dilakukan oleh sosok perempuan yang sejak dini dalam lingkup kecil lebih dahulu pada keluarga sebagai peran istri bahkan seorang ibu. Aplikasi yang diterapkan Germas pada keluarga, yaitu aktivitas setiap hari dengan berolah raga, makan buah-buahan dan sayuran setiap hari, mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer, membersihkan lingkungan sekitar, dan sebagainya. Perempuan/Ibu dalam relasi ini mesti cakap memenuhi 3 (tiga) kebutuhan, yaitu kebutuhan fisik, psikis, sosial, dan spiritual.

Diakui bahwa perempuan sebagai tiang negara, perempuan/ibu adalah sumber kasih sayang, motivasi, dan inspirasi bagi semua, karena dedikasi dan pengorbannya yang tiada tara, apalagi disergap kemurungan pandemi. Kasih ibu itu sepanjang masa, yang acap kita dengar dalam lirik lagu. Hafiz Ibrahim, sastrawan Mesir, pernah menyatakan, “Ibu itu bagaikan sekolah kehidupan. Jika engkau siapkan (didik) dia dengan baik, berarti engkau telah menyiapkan bangsa berkarakter dan berkepribadian baik.” Dalam konteks sekarang, termasuk mengedukasi membebaskan warga dari belenggu Covid-19. *

Marjono

Eksponen Pendamping Desa Miskin Indonesia, Penulis Buku Desaholic