Perpres Miras, Nafsu Industri Mengancam Nilai Luhur Pancasila

Perpres Miras, Nafsu Industri Mengancam Nilai Luhur Pancasila

USAHA penanaman modal dalam bidang industri tak mengecualikan miras atau minuman keras sebagai “item” perdagangan di dalam negeri, yang digadang menyelaraskan ketimpangan ekonomi melalui investasi. Dikutip dari CNN Indonesia pada Kamis (25/2), Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka izin investasi untuk industri minuman keras (miras) atau beralkohol dari skala besar hingga kecil. Syaratnya, investasi hanya dilakukan di daerah tertentu. Ketentuan ini tertuang di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken kepala negara pada 2 Februari 2021. Aturan itu merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam kewenangannya, Jokowi tidak hanya mengatur soal industri miras yang akan diluncurkan di Indonesia, namun ia memberi peluang investasi bagi perdagangan eceran miras atau beralkohol masuk daftar bidang usaha yang diperbolehkan dengan persyaratan tertentu. Disebutkan dalam Pasal 2 ayat 1 Perpres 10/2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja, bahwa semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup untuk penanaman modal atau untuk kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat. Disebutkan dalam daftar 44 dan 45 pada lampiran III "Bidang usaha perdagangan eceran minuman keras atau beralkohol, persyaratan jaringan distribusi dan tempatnya khusus. Bidang perdagangan eceran kaki lima minuman keras atau beralkohol, persyaratan jaringan distribusi dan tempatnya khusus”. Disebutkan bahwa untuk penanaman modal baru dapat dilakukan pada provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat.

Miras adalah minuman keras yang memiliki efek memabukkan, bahkan bisa menimbulkan efek ketergantungan. Jika melihat tafsiran kalimat dari Jokowi, yang mengatakan bahwa miras hanya akan diedarkan di beberapa provinsi di Indoensia, maka tetap saja pendistribusiannya akan tersebar luas tidak hanya pada provinsi yang terlibat, bahkan berpotensi besar terdistribusi di luar provinsi seperti yang telah ditentukan. Mengapa? Karena perdagangan miras yang terjadi di Indoensia sudah lazim di kalangan masyarakat, apalagi jika izin edar dan produksinya diperbolehkan, tentu hal ini akan membuka pintu lebar-lebar bagi masyarakat untuk lebih leluasa menjadikan miras seperti beras (salah satu kebutuhan pokok masyarakat), yang konon menjadi bahan konsumsi pokok seperti negara Korea Selatan yang telah lama melegalkan peredaran berbagai jenis minuman keras seperti bir, anggur dan soju dari kelas kecil hingga besar. Beredarnya miras di Indonesia tidak bisa disamakan dengan yang ada di Korea dan negara-negara eropa yang memiliki asas legalitas tinggi.

Hal ini memicu penolakan dari berbagai pihak akibat adanya peraturan tentang produksi miras secara terbuka. MUI mengutarakan kekecewaannya melalui pendapat yang disampaikan pada CNBC Indonesia, Minggu (28/2/2021), bahwa miras yang mengandung alkohol jika didistribusikan di Indonesia maka akan menimbulkan mudharat (merugikan). Memandang keputusan Jokowi yang membuka investor untuk membuka usaha miras menunjukkan pemerintah telah memposisikan manusia dan bangsa sebagai objek yang bisa dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan bagi pemerintah. Menurut Anwar, dengan kebijakan ini, bangsa ini telah kehilangan arah karena tidak lagi jelas pegangan bagi pemerintah dalam mengelola negara, yang mencoba untuk mempraktekkan sistem ekonomi liberalisme kapitalisme yang bukan merupakan karakter dan jati diri kita sebagai bangsa.

Dalam hal ini pula, MPR maupun DPR juga memberikan pernyataan kontroversial terkait keputusan Jokowi. Wakil Ketua MPR, Jazilul Fawaid, menilai hal tersebut bertolak belakang dengan nilai Pancasila dan tujuan negara, melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagai majelis keagamaan tanah air pun ramai menolak investor miras karena bertentangan dengan asas ketuhanan dan mengembalikan rakyat pada budaya jahiliyah.

Sejujurnya, jika masalahnya adalah untuk pemberdayaan ekonomi, masih banyak hal yang bisa dicoba, dilakukan, dan berpotensi kecil menimbulkan banyak kerugian dari berbagai aspek sosial, politik, maupun agama. Rencana untuk peredaran dan pengembangan produksi miras di Indonesia, merupakan keputusan yang dinilai terlalu tergesa dan tidak memperhatikan dampak buruknya untuk bangsa dan negara serta rakyat, sebagai objek eksploitasi yang berpotensi teracuni budaya negatif yang jauh dan bertentangan asas dan dasar negara, yaitu Pancasila dan UU 1945. Investasi hanyalah subjek untuk melegalkan, namun pada kenyataannya berpotensi besar merusak generasi yang akan mendatang. Melawan krisis multidimensi bukanlah dengan nafsu mendapatkan uang dari investasi miras yang mempertaruhkan kesehatan masyarakat, karena mengonsumsi miras tidak ada manfaatnya sama sekali dan beresiko merusak derajat kesehatan dan keseimbangan kehidupan bernegara, yang mengarah pada keadaan titik balik. Yang akan terjadi kerusakan moral yang berdampak regulasi semakin runyam dan tidak tertata akibtat rusaknya dinamisme kehidupan berbangsa. Dalam hal ini semestinya pemerintah harus mampu mengkaji ulang dalam keputusannya, karena banyak hal yang harus dipertaruhkan, dikorbankan yang berpengaruh besar tidak hanya bagi masyarakat melainkan bertentangan dengan ideologi bangsa itu sendiri. *

Kholidah Wulandari

Mahasiswi kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.