Pilkada: Amanah dan Janji Politik

Pilkada: Amanah dan Janji Politik

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 telah usai. Walaupun belum final, namun secara umum siapa pemenang dan siapa terkalahkan, sudah diketahui. Dipersilahkan kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan, segera mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Tenggang waktu yang tersedia dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya, dengan mengikuti tatacara maupun persyaratan yang ditentukan perundang-undangan.

Pada ranah sosiologi hukum, pasca Pilkada setidaknya ada dua hal yang patut diperhatikan oleh pemenang, pihak terkalahkan, maupun publik, yakni: (1) amanah, dan (2) janji-janji politik. Keduanya amat penting diperhatikan karena terkait dengan kredibilitas dan pertanggungjawaban sosial-religius. Begitu sakralnya dua hal tersebut, maka aspek-aspek moralitas (akhlak) di bawah ini patut direnungkan.

Pertama, perihal amanah. Pilkada merupakan proses demokrasi dalam rangka memilih Gubernur atau Bupati/Walikota (selanjutnya disingkat GB/W). Proses pemilihan dilakukan secara langsung. Siapapun terpilih akan mengemban amanah sebagai pemimpin untuk warga dan wilayahnya.

Hakikatnya, jabatan GB/W merupakan amanah. Dalam perspektif sosial-religius, amanah artinya dapat dipercaya. Lawan kata amanah adalah khianat. Seorang calon GB/W ataupun GB/W terpilih, mestinya dapat dipercaya. Tidak boleh sekali-kali berkhianat kepada siapapun, dalam urusan apapun, khususnya kepada rakyat di wilayah kepemimpinannya.

Dalam bingkai visi dan misi kebangsaan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, seorang GB/W diamanahkan untuk melindungi segenap warganya agar tidak terdzalimi oleh siapapun. Misalnya, ketika warganya rentan terkorbankan dalam persaingan usaha, investasi ataupun bisnis dengan orang asing. Pada urusan demikian maka GB/W mesti merumuskan kebijakan dan regulasi berkarakter populis-nasionalis. Substansinya berpihak kepada kepentingan warganya. Lebih lanjut diikuti tindakan tegas kepada siapapun yang menggangu ketenteraman warga dalam menjalani kehidupannya. Segala anasir yang potensial merusak tatanan sosial - seperti: suap-menyuap, kolusi, korupsi, kejahatan perizinan dan lain-lainnya - wajib dicegah dan ditindak tegas, tanpa pandang bulu.

Amanah perlu dijaga secara kontinu demi terwujudnya keberkahan hidup bersama. Keberkahan hidup hanya diberikan Allah SWT bagi GB/W dan warganya yang taat pada hukum Allah dan hukum-hukum turunannya. Seorang GB/W karenanya mesti ingat terus-menerus asal-usul amanah, visi dan misi kepemimpinan, termasuk di dalamnya kekuasaan. Tiada lain, segalanya berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan berkenan menjadikan seseorang GB/W menjadi penguasa. Kekuasaannya wajib didayagunakan sebagai alat dan kesempatan berbuat kebajikan, dalam bingkai peribadatan vertikal maupun sosial-horizontal.

Seorang GB/W dipantangkan berkhianat. GB/W yang amanah, terbebaskan dari perbuatan khianat, dapat disanjung sebagai cermin, contoh, teladan bagi warganya. Berlomba-lomba menjadi GB/W amanah, sekaligus menabukan diri dari khianat, korupsi, atau kejahatan lain, mesti menjadi karakter seorang GB/W.

Sejujurnya, pada tataran sosiologis-empiris, mendapatkan GB/W amanah, pada era demokrasi liberal, sungguh tidak mudah. Benar dan aktual, apa yang disabdakan Muhammad SAW: “Sesungguhnya akan datang di tengah-tengah kalian, para pemimpin sesudahku, mereka menasihati orang, di forum-forum dengan penuh hikmah, tetapi jika mereka turun dari mimbar mereka berlaku culas, hati mereka lebih busuk daripada bangkai. Barang siapa yang membenarkan kebohongan mereka, dan membantu kesewenang-wenangan mereka, maka aku bukan lagi golongan mereka, dan mereka bukan golonganku, dan tidak akan dapat masuk telagaku. Barang siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka, dan tidak membantu kesewenang-wenangan mereka, maka ia adalah termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka, dan mereka akan datang ke telagaku.” (HR. At-Thabrani).

Walau demikian, patut disyukuri, pada beberapa wilayah, terbukti masih ada GB/W amanah. Mereka itu sepadan dengan setitik embun, sebutir mutiara, secercah sinar terang. Terpilihnya GB/W amanah dapat terjadi ketika para pemilih super hati-hati menjatuhkan pilihannya.

Kedua, perihal janji politik. Untuk dipahami bahwa manifestasi kepemimpinan seorang GB/W bukanlah sekadar pemenuhan janji politik antara calon GB/W dengan calon pemilihnya, Namun juga merupakan perjanjian (sumpah) antara calon GB/W dengan Allah SWT. Karena itu tanggung jawab seorang GB/W terpilih terbentang dari dunia hingga akhirat.

Lazimnya, janji politik berisi komitmen untuk membangun ataupun memberikan bantuan dan fasilitas tertentu kepada para pemilihnya. Begitu mudahnya janji politik dilontarkan, tetapi betapa sulitnya janji-janji politik ditepatinya. Banyak bukti, janji politik sepadan dengan omong kosong belaka.

Bagi GB/W yang tergolong orang beriman, tentulah paham bahwa janji politik sepadan dengan hutang. Urusan hutang-pihutang belum selesai, kecuali telah dilunasi. Itulah beratnya janji politik. Seorang GB/W terpilih, ataupun incumban tidak terpilih lagi, sepanjang hayatnya akan terus terbebani oleh hutang (janji politik). Di situlah, hidup dan kehidupan GB/W, maupun mantan GB/W terus-menerus sering didekap kenestapaan, jauh dari ketenteraman dan keberkahan.

Keberkahan GB/W, mantan GB/W, tidaklah cukup diukur dengan banyak atau sedikitnya harta-benda yang diperoleh melalui jabatannya. Keberkahan hidupnya justru muncul bila GB/W terpilih bukan karena janji politik, melainkan karena kejujuran dan profesionalitas. Lebih lanjut, dia mampu menjadikan kepemimpinannya sebagai jangkar (anchor) perjuangan penegakan hukum berkeadilan, pemakmuran rakyat, dan penanaman benih-benih kebajikan. GB/W tipe demikian, senantiasa dicirikan dengan sikap berani melawan arus hedonis-materialis, sanggup berjuang demi terberantasnya kemunkaran maupun kedzaliman.

Amat disayangkan, money politic dan janji politik dalam Pilkada, seakan telah menyatu, sebagaimana kebersatuan ikan dan air. Akibat kesalahan sistemik ini, hampir tidak ada Pilkada tanpa dua kemunkaran tersebut. Pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) berbasis pada iming-iming atau pemenuhan kepuasan material (dengan segala asesorinya), telah menjadi warna dominan setiap Pilkada. Terindikasikan bahwa bantuan sosial-kemanusiaan dari pemerintah saat pandemi Covid-19 pun dibagi-bagikan dengan embel-embel pesan politik, dengan bungkus warna dominan partai tertentu. Bahkan demi kemenangan, segala cara dianggap sah dilakukan. Ajaran Michiavelli tentang penyembahan terhadap kekuasaan sering dijadikan dalil pembenar dan jurus mujarab pemenangan Pilkada.

Patut diingatkan kembali bahwa kredibilitas, pertanggungjawaban sosial-religius, dan keberkahan hidup GB/W terukur pada dua kriteria, yakni: kemampuan mengemban amanah dan kesanggupan melunasi janji-janji politiknya. Bila ukuran-ukuran ini terus diingat, akan muncul kesadaran betapa berat amanah dan janji politik itu. Kemuliaan hanya akan hadir ketika amanah dan janji politik tertunaikan sempurna. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM