Polemik Proporsional Terbuka dan Tertutup

Polemik Proporsional Terbuka dan Tertutup

 

 

 

KITA belakangan ini “kembali” diriuhkan dengan perdebatan seputar sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup dalam pemilihan umum. Pemicunya adalah, munculnya gugatan atau judicial review kepada Mahkamah Konstitusi terhadap sistem proporsional terbuka yang diatur dalam UU Pemilu. Bagi kita masyarakat awam, mungkin pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup itu? Dan manakah dari keduanya yang paling cocok diterapkan di Indonesia?

Sistem Proporsonal dalam Pemilu

Sistem proporsional terbuka dan tertutup dalam pemilihan umum ini, sederhananya adalah sistem yang digunakan untuk menentukan keterpilihan calon anggota legislatif dalam suatu partai politik. Dalam sistem proporsional tertutup, suara yang berhasil dikumpulkan oleh suatu partai akan didistribusikan oleh partai tersebut kepada calon legislatifnya berdasarkan nomor terendah. Tentu saja, dalam sistem ini calon yang bernomor urut paling rendah (1, 2, 3, ......) akan diuntungkan, karena mereka yang akan diutamakan mendapatkan suara. Jadi, sekalipun suara calon nomor urut 1 paling sedikit, namun peluang keterpilihannya adalah yang paling besar. Sementara dalam sistem proporsional terbuka tidak demikian. Sistem ini tidak menggantungkan pada nomor urut. Keterpilihan dalam sistem proporsional terbuka adalah atas dasar suara terbanyak dari seorang calon. Jadi, sekalipun ia berada pada nomor urut paling buncit, namun peluang keterpilihannya sama saja dengan nomor paling rendah. Dengan kata lain, calon yang berada di nomor urut 13, sama peluang terpilihnya dengan calon di nomor urut 1. Malah, bisa saja calon nomor urut 13 lah yang terpilih, jika suaranya lebih banyak dari calon nomor urut 1.

Sistem yang Cocok untuk Indonesia?

Lalu jika pertanyaannya mana dari kedua sistem tersebut yang paling cocok diterapkan di Indonesia hari ini? Ini pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, dengan beberapa pertimbangan. Pertama, sebagai sebuah sistem yang lahir dari pengalaman dan keilmuan pakar politik dan hukum, baik sistem proporsional terbuka maupun proporsional tertutup sama-sama memiliki kelebihan. Bahkan, keduanya sama-sama berhasil diterapkan di negara-negara tertentu yang menganut sistem pemilihan umum langsung. Di samping kelebihan itu, tentu saja memiliki kekurangan masing-masing. Dalam sistem proporsional terbuka misalnya, ikatan (khususnya ideologis) antara partai politik dengan anggota legislatif dari partainya yang terpilih rendah, ini karena calon yang terpilih merasa tidak memiliki beban jasa politik dengan partainya. Sistem proporsional tertutup juga tidak luput dari kekurangan, salah satunya calon menjadi sangat bergantung dengan partai politik daripada dengan rakyat.

Kedua, Indonesia pernah menerapkan kedua sistem itu. Sebelumnya, Indonesia pernah menerapkan sistem proporsional tertutup. Namun sistem itu dinilai banyak masalah, mulai dari persaiangan yang tidak sehat anta-calon legislatif untuk mendapatkan nomor terendah dari partai, suap-menyuap antara calon dengan pengurus pusat partai politik untuk mendapatkan nomor urut terendah, hingga ketergantungan kader partai dengan partai politik melebihi kesetiaannya pada rakyat yang telah memilihnya. Situasi ini kemudian memunculkan banyak protes, hingga akhirnya kita berpindah ke sistem proporsional terbuka. Tetapi nyatanya, sistem dengan proporsional terbuka juga memiliki banyak masalah. Untuk menyebut beberapa misalnya, hari ini banyak partai yang merekrut artis-artis menjadi kader partai lalu mencalonkannya menjadi legislatif. Ini dilakukan hanya untuk menarik sebanyak-banyaknya suara rakyat, karena tingkat elektabilitas artis sudah pasti cukup tinggi. Jalan pintas ini dilakukan hampir oleh seluruh partai politik. Selain itu, kerja sama antarkader dalam satu partai juga menjadi renggang. Ini terjadi karena mereka sama-sama bersaing untuk mendapatkan suara terbanyak, sekalipun dari satu partai. Bahkan, penulis mendapatkan informasi bahwa persaingan itu kerap kali tidak fair.

Sampai di sini, kesimpulan yang bisa kita ambil adalah baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup sejatinya sama saja. Keduanya pernah kita terapkan dan memiliki kelebihan dan kekurangan. Jadi, sistem apapun yang akan kita gunakan akan selalu ada kekurangannya. Kalau hari ini masih ada masalah dengan sistem kita, maka sumber masalahnya harus kita katakan tidak pada sistem yang ada, melainkan pada orangnya. Masalahnya ada pada aktor partai politik yang koruptif dan berideologi lemah, jadi sebaik apapun sistem yang ada, kalau aktornya tidak berubah maka akan selalu muncul masalah. Dengan begitu, yang harusnya kita perbaiki sejatinya adalah internal partai politik, bukan mengubah sistem yang ada hari ini. ***

Dr. Despan Heryansyah, SH., MH.

Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta