Problem Legislasi

Problem Legislasi

RASANYA tidak berlebihan jika banyak orang berpendapat bahwa sistem legislasi kita telah mengalami degradasi atau kemunduran. Pengalaman pahit legislasi masa orde baru, hingga menjadikan Soeharto mendapat julukan “Diktator Konstitusional”, dengan susah payah diubah pasca reformasi, setidaknya pada tataran normatif (undang-undang). DPR yang semula hanya menjadi “tukang stempel” Rancangan Undang-Undang yang dibuat pemerintah, diberikan kewenangan besar legislasi pasca amandemen UUD N RI Tahun 1945. Pergeseran paradigma ini memang menunjukkan arah perbaikan legislasi yang cukup substantif, pada paruh 2000 hingga 2005 ada banyak pruduk legislasi yang dinilai sangat responsif.

Sayangnya, bulan madu itu tidak berlangsung lama. Kita mencatat ada beberapa produk legislasi yang ditolak oleh rakyat, bahkan belum sempat dilaksanakan namun sudah dicabut dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Masa Presiden SBY ada Undang-undang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah, khususnya terkait pemilihan kepala daerah, yang dicabut sebelum dilaksanakan. Puncaknya adalah masa pemerintahan Jokowi. Diawali dengan perubahan UU KPK yang dinilai (dan terbukti) telah meruntuhkan KPK hingga ke titik paling nadir. Pengesahan UU ini telah menimbulkan gejolak yang cukup besar, demo terjadi hampir di semua daerah, namun pemerintah dan DPR tetap bersikeras mengesahkannya. Berselang satu tahun, yaitu pada bulan September 2020 lalu, pemerintah kembali mengesahkan UU Mahkamah Konstitusi, yang isinya sangat sarat dengan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Belum lagi, prosedur pembuatannya yang sangat singkat, mengesampingkan partisipasi publik. Berselang satu bulan, pemerintah bersama dengan DPR kembali mengesahkan Omnibus Law, yang sampai hari ini penolakan atas lahirnya UU ini masih terus terjadi. Penolakan tersebut karena baik dari aspek substansi dinilai banyak merugikan, maupun prosedur pembuatan, lagi-lagi rakyat merasa tidak dilibatkan.

Kondisi riil di atas adalah bukti nyata bahwa ada yang salah dengan sistem legislasi kita. Penguatan peran dan kewenangan DPR untuk mengimbangi kekuasaan pemerintah dalam pembuatan UU, rupanya tidak berjalan sebagaimana direncanakan. Sebabnya, adalah karena gemuknya koalisi partai pemerintah, sehingga dengan mudah dapat menyepakati berbagai kebijakan, asal partai koalisi sama-sama diuntungkan.

Rendahnya presentase partai “oposisi”, menjadikan mereka tidak memiliki daya tawar apapun, setiap kali perbedaan pendapat, berujung pada voting dan mereka selalu kalah. Padahal, dalam sistem hukum dan demokrasi Indonesia, masuk menjadi koalisi partai pemerintah adalah hak semua partai. Bahkan, partai yang pada pilpres lalu menjadi lawan sengit pemerintah, juga berkongkalikong menjadi koalisi.

Oleh karena itu, dibutuhkan sistem lain untuk mengimbangi dan mengantisipasi koalisi gemuk yang hampir selalu terjadi pada periode pemerintahan ini. Salah satu jalan yang dapat diambil adalah memperkuat kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan menjadikannya kamar terpisah dalam sistem legislasi. Selama ini, DPR adalah single player dalam legislasi, sehingga tidak ada perimbangan kekuatan untuk mengontrol kekuasaan legislatif. Memang ada DPD, namun kewenangannya sangat lemah, hanya dapat memberikan saran dan pertimbangan kepada DPR. DPD bukan kamar terpisah, sehingga DPR tidak harus mendapatkan persetujuan DPD untuk mengesahkan suatu UU.

Ke depan, kewenangan legislasi yang cukup besar dimiliki oleh parlemen, harus pula diimbangi saling cek dan saling kontrol di dalam tubuh parlemen sendiri. Oleh karena itu, kedudukan DPD harus mendapatkan tempat yang lebih substantif dan berkeadilan. DPD adalah wakil rakyat daerah di pusat, sementara semua UU yang dibentuk, dapat dipastikan akan bersentuhan dengan kepentingan masyarakat daerah. Di banyak negara demokrasi, selain memiliki DPR sebagai representasi partai politik di tingkat nasional, juga memiliki perwakilan daerah (DPD) sebagai kamar terpisah dengan kewenangan yang seimbang. ***

 

Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH.

Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta.