Puasa Abu Nawas

Puasa Abu Nawas

BETAPAPUN pandemi Covid-19 masih mencemaskan, akan tetapi bagi Abu Nawas, hal itu justru digunakan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam kondisi fisik lemah -  karena lapar, haus dan kantuk - dipertanyakan: apakah tidur membatalkan puasa? Pertanyaan terkesan gurauan dan tendesius itu boleh ditanggapi serius ataupun santai. Lebih bijak bila dijadikan diskusi menjelang buka puasa. Namun, jauh lebih penting adalah memahami hakikat tidur, dan mengamalkannya sesuai ajaran Nabi.

Ada ungkapan “makan enak, tidur nyenyak”. Itu cocok untuk puasanya orang kaya. Itulah tanda kecukupan dan kebahagiaan. Ungkapan itu, ada benarnya, walaupun tidak seutuhnya. Artinya, mungkin saja terjadi, orang sudah berkecukupan, tetapi tidak bahagia. Atau ada orang tidur nyenyak padahal serba kekurangan. Suatu hal pasti, setiap orang butuh tidur. Demi pengistrirahatan organ-organ tubuh, agar setelah terbangun kondisinya kembali bugar.

Alkisah. Seorang raja ketika tidur, ingin selalu dijaga dan dikipasi Abu Nawas. Dalam kawalan dan pelayanan prima, raja terlihat nyenyak tidurnya. Tanda-tandanya, mendengkur. Sebenarnya, suara dengkuran itu memuakkan. Tetapi apa mau dikata, Abu Nawas tak mampu berbuat apa-apa.

“Alangkah nikmatnya, bila saya dapat tidur sebagaimana tidurnya raja?”, bisik Abu Nawas dalam hati. Bisikan itu disanggahnya sendiri. “Mana mungkin. Diriku hanya seorang abdi dalem, miskin, sering perut keroncongan karena lapar. Tidurku serba resah dan gelisah. Khawatir, ketika sedang tidur, tiba-tiba dipanggil raja”.

Tiba-tiba raja terjaga dari tidurnya. “Aku bermimpi. Orang-orang miskin berkumpul, berdiskusi. Bodoh amat mereka. Penderitaan mau diatasi dengan diskusi”. Sesaat kemudian, raja kembali tidur. Dengkurannya semakin keras. Abu Nawas, merenung dalam kebingungan, apa makna tidur dan mimpi rajanya? Adakah itu sindiran kepada dirinya?”

Sambil membalikkan badan, dicarilah makna tidur dan mimpi, di handphonenya. Benar, ada petunjuk di dalamnya.

Pertama, tidur adalah tanda kebesaran sekaligus nikmat dari Allah SWT. Difirmankan, “Dan di antara ayat-ayat-Nya adalah tidur kamu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan” (QS ar-Ruum [30]: 23).

Kedua, tidur hakikatnya adalah kematian yang tertunda. "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang yang belum mati) di waktu tidurnya. Maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan kembali jiwa orang (yang tidur, menjadi hidup kembali ketika bangun) sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang mau berpikir” (QS az-Zumar [39] ayat 42).

Bagaimana perihal mimpi? Mimpi adalah salah satu kebesaran Allah sekaligus tanda-tanda kenabian. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada yang tertinggal dari kenabian kecuali kabar baik. Dan kabar baik itu adalah mimpi yang baik" (HR Bukhari).

Persoalannya, bagaimana supaya tidur nyenyak, dan mimpi indah? Kuncinya: tawakal. Tawakal adalah penyerahan total perihal nasib, hasil usaha, dan kesudahan berbagai persoalan kepada Allah, setelah upaya-upaya maksimal dilakukannya.

Hal wajar, ketika berbagai keinginan yang didambakan, diupayakan, bahkan disertai doa, ternyata tidak/belum juga dikabulkan-Nya. Tidak perlu resah dan gelisah. Apalagi menyalahkan pihak-pihak lain. Justru pengharapan berlebihan, dan ketergantungan kepada orang lain, itulah sumber dan bibit penyakit jiwa. Daripadanya, tidur pun diselimuti mimpi buruk. Makan pun terasa hambar.

Pakar Usul Fiqh berpendapat, bahwa tidur saat berpuasa (sebentar atau sepanjang hari), tidak membatalkan puasa. Namun demikian, apabila sampai meninggalkan shalat dan kewajiban lainnya, maka termasuk perbuatan dosa.

Idealnya, justru disadari dan diamalkan bahwa setiap detik waktu di bulan puasa (ramadhan) penuh rahmat, berkah, dan ampunan. Maka, maksimalkan aktivitasmu, kurangi tidurmu. Kemanfaatan fisik (kesehatan) maupun rohani (ketaqwaan) dari ibadah puasa telah dijamin Allah SWT, dan terbukti pada siapa pun yang berpuasa dengan benar.

Dalam tarikan nafas panjang, Abu Nawas sedikit lega. Merasa ilmunya tentang puasa bertambah. Tak disangka, pada saat yang sama, raja menggeliat. Posisi tidur berubah miring. “Jangan lupa makanan dan minuman kesukaanku disiapkan ya. Ini perintah!”, gumamnya. “Siap raja”, sahut Abu Nawas dengan sigap.

“Lho…Bukankah telah menjadi kebiasaan raja, puasanya hanya tutup kendang. Alias puasa hanya dua hari saja, yaitu hari pertama sebagai pembukaan, dan hari terakhir sebagai penutup. Hari-hari lainnya, tetap saja raja makan dan minum sebagaimana biasa”. Abu Nawas, geleng-geleng kepala.

Cuma, kebiasaan ini dirahasiakan. Tidak boleh sekali-kali ada yang membocorkan ke publik. Bahkan Abu Nawas diperintahkan agar menulisnya di media sosial bahwa raja berpuasa penuh dan khusuk. Kebohongan perlu dilakukan, demi  citra dan kewibawaan raja.

Sebagai abdi dalem, semua pekerjaan dilakukan secara profesional. Walau demikian, perihal puasa, haruskah dia mengikuti kebiasaan rajanya? Tanpa harus konfrontatif dengan rajanya, Abu Nawas, berusaha untuk puasa secara benar. Inilah sikap bijak dan cerdas.

Pelan-pelan, kembali dibuka handphonenya. Dicarinya, kayak apa sih, puasa yang benar itu?

Puasa artinya menahan. Apa yang ditahan? Hawa nafsu. Agar nafsu terkendali, sehingga berfungsi maksimal, tidak kendor dan tidak pula kelewat batas. Makna puasa adalah ibadah kepada Allah ta’ala yang disertai niat, dengan menahan diri dari makan, minum, dan seluruh pembatal puasa, sejak terbit fajar, sampai terbenam matahari. Perintah puasa hanya berlaku bagi orang-orang beriman, yang memenuhi syarat-syarat tertentu [Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 8]

Adapun dalilnya berbunyi:“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian puasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa” (QS Al-Baqarah : 183). Lantas, bagaimana syariat atau caranya?

Puasa ramadhan wajib didahului niat. Niatnya semata-mata karena Allah SWT, demi mendapatkan keridhaan-Nya. Niat ini wajib dijaga kemurniannya. Tidak boleh sekali-kali terkontaminasi urusan lain. Bila seseorang berpuasa ramadhan karena urusan atau kepentingan lain, maka apa yang didapatnya hanya lapar dan dahaga saja. Tiada pahala sedikitpun baginya.

“Kasihan rajaku. Dia berpuasa untuk pencitraan saja. Kebohongan berkelindan dalam puasanya. Rakyat, memang bisa dikelabui. Boleh jadi, rakyat pun cuek. Berpuasa ataukah tidak, sesuai syariat ataukah akal-akalan, urusan masing-masing. Tetapi Tuhan Maha Tahu. Tidak mungkin dibohongi.Tragisnya, para pejabat juga mengikuti perilaku raja yang aneh itu. Bukankah mereka mestinya mengingatkannya, dan menjelaskan puasa yang benar?!”

Abu Nawas, merenung lebih dalam lagi. Sadar, dirinya, lemah. Tak mampu berdakwah terhadap raja ataupun orang lain. Posisinya sebagai abdi dalem, membatasi gerak dan aktivitasnya. Walau demikian, dalam keterbatasannya, wajahnya terlihat cerah dan teduh. Ada naunsa penuh harap akan berbagai kebaikan, hingga terbebaskannya dari api neraka, serta disediakan baginya pintu khusus untuk masuk surga.

Beberapa ajaran berikut, dibacanya berulang-ulang, untuk diresapi, dan diamalkan. “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa sholat di malam lailatul qodr karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a)

“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan, satu kebaikan dibalas sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah ta’ala berfirman, “Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, sebab orang yang berpuasa itu telah meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku”. Dan bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia bertemu Rabb-Nya. Dan sungguh, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari aroma kasturi” (HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a)

“Rabb kita ‘azza wa jalla berfirman: Puasa adalah perisai, yang dengannya seorang hamba membentengi diri dari api neraka, dan puasa itu untuk-Ku, Aku-lah yang akan membalasnya” (HR. Ahmad dari Jabir r.a., Shahihul Jaami’: 4308)

Kesalihan Abu Nawas pun semakin meningkat, antara lain, setiap menjelang tidur dan saat terbangun, dipanjatkanlah doa: "Ya Allah dengan nama-Mu aku hidup dan mati. Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami, setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami dibangkitan" (HR Bukhari dan Muslim).

Sudah sempurnakah puasa Abu Nawas? Pasti belum. Masih banyak hal yang perlu disempurnakan. Semoga Abu Nawas masuk ke dalam golongan orang-orang yang difirmankan Allah SWT “la’alaakum tattaquun”. Aamiiin. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM