Puisi Dibaca di Antara Koleksi Buku, Taman dan Ruang Tamu

Puisi Dibaca di Antara Koleksi Buku, Taman dan Ruang Tamu

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Pembacaan puisi seri poetry reading frome home bisa mengambil lokasi di mana saja. Kata home dalam konteks ini tidak selalu berarti rumah, tetapi lebih bernuansa membuat jarak dari kerumunan.

Di ruang digital ini, pembaca memilih lokasi secara bebas. Tulus Wijanarko, misalnya, jurnalis-penyair itu mengambil latar belakang perpustakaan pribadinya sebagai setting. Di antara buku-buku tersebut dia membacakan puisi karya Afnan Malay untuk mengisi Sastra Bulan Purnama edisi 113, Jumat (26/2/2021).

Lalin lagi Nunung Rieta, mengambil lokasi bangunan tua yang pernah menjadi kampus Asdrafi Yogyakarta. Pada bangunan milik Keraton Yogyakarta ini, Nunung membacakan puisi karya Afnan Malay berjudul Mari Membaca Hujan dan Melaknat Hujan.

Pembaca lainnya, Dee, membaca puisi di taman area kantor KNPI Bantul. Ada juga yang membaca puisi di ruang tamu atau teras rumah, seperti dilakukan Labibah Zain. Atau, di bukit tak jauh dari rumah yang dikenal dengan nama Bukit Wangi Piyungan Bantul, seperti dilakukan Aly D Musyrifa.

Pendek kata, para pembaca puisi Sastra Bulan Purnama edisi 113 dengan tajuk Aktivis 1980-an Membaca Tentang Presiden mengambil lokasi yang berbeda-beda.

Selama pandemi, Sastra Bulan Purnama sejak April 2020 dialihkan secara daring. Tidak ada kerumunan dan pertemuan antara pecinta sastra dan penyair secara langsung. Pertemuan dilakukan virtual.

Karena sifatnya digital, setiap pembaca bisa menafsirkan panggung untuk tampil, setidaknya seperti dilakukan Hamdy Salad, yang mengolah panggung digital menjadi ruang pertunjukan.

Panggung ini bukan seolah-olah membuat film, yang biasanya hanya diisi suara membaca puisi dan menghadirkan visual sungai, karena puisinya ada sungai misalnya atau gunung dan seterusnya.

“Panggung digital perlu ditafsirkan, tetapi figur pembaca puisi memang harus hadir, tidak hanya suara yang dimunculkan,” ujar Ons Untoro, Koordinator Sastra Bulan Purnama.

Di ruang digital sebagaimana panggung konvensional, para pembaca puisi mengeksplorasi panggung untuk memperkuat puisi dan penampilannya. Formatnya berbeda dengan video klip.

“Jadi, kalau ada pembaca puisi mengambil lokasi di bukit seperti Aly D Musyrifa atau bangunan tua seperti Nunung Rieta, memberi warna panggung digital tersebut, dan menegaskan panggung digital tidak tunggal seperti panggung konvensional,”  kata Ons.

Seringkali beberapa pembaca puisi tampil seolah-olah seperti film yang sebenarnya menyerupai video klip. Karena film-puisi mempunyai formula tersendiri dibandingkan hanya membaca puisi yang dilengkapi visual. (*)