Puisi untuk Menguatkan Pengungsi

Puisi untuk Menguatkan Pengungsi

SEMERU menjelma dalam ribuan kepak kelu. Puluhan warga meninggal dalam tragedi erupsi Semeru pada awal Desember lalu.  Kisah pedih bertalu-talu. Ada yang dirawat inap, rawat jalan, belum ditemukan maupun yang terpaksa mengungsi.

Plt. Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menyebutkan, pengungsi yang terdata pada Posko Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Semeru, jumlah korban meninggal akibat awan panas yang tercatat per Senin 13 Desember 2021 menjadi 48 orang. Sementara, kumulatif yang dilakukan rawat jalan di puskesmas dan posko kesehatan berjumlah 2.004 jiwa. Sedangkan pengungsi, tak kurang dari 9.997 jiwa yang tersebar di 148 titik berbagai wilayah (liputan6, 14/12/2021).

Efek Semeru membawa kita pada prinsip kerja keroyokan, melibatkan seluruh elemen sejak pusat hingga desa, segala pemangku kepentingan dan lintas sektor dan daerah atau wilayah. Pasokan empati dan solidaritas datang bertubi-tubi, termasuk kiriman bantuan fisik dan psikologis, seperti pangan, sandang, obat-obatan, juga pembalut wanita bahkan tak sedikit yang mendatangkan para konselor, terapis, dan sebagainya. Semua hanya satu tujuan meringankan beban para korban dan pengungsi.

Suka sedih beraduk dalam jejak Semeru. Getir manis berlompatan di tenda pengungsi. Kala pada titik pengungsian inilah, pernahkah kita berpikir untuk menuliskan bahkan mengirimkan sepotong puisi bagi warga pengungsi, termasuk anak-anak. Puisi konon dianggap sebagai sesuatu yang istimewa, dan bahkan tergolong suci ataupun keramat. Seperti di India, puisi dianggap semacam kitab suci yang dikenal dengan nama Parajanana, bermakna sebagai penjaga kehidupan.

Kemudian, puisi tidak hanya dimunculkan sebagai alat ekspresi dari ketragisan ataupun suatu bentuk narsisme personal yang berasal dari pergumulan diri dengan kekecewaan, keputusasaan, atau kebahagiaan. Lebih dalam dari itu, puisi juga ditulis sebagai bentuk ekspresi sosial untuk mengungkapkan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan.

Narasi puisi meski sederhana rupanya cukup efektif sekurangnya mendaraskan perasaan cinta yang terbuang, kehilangan yang tak padam atau kesunyian yang mendera, bahkan perasaan tak berguna maupun berharga. Semaunya berasa terempas dan kandas oleh panasnya sapuan Semeru. Sebagian kalangan menganggap puisi hanya dipandang sebelah mata, karena kekuatan bait-bait puisi tak bakal bisa menyelamatkan pengungsi dari lapar, tak mampu menahan gigil kala udara dingin menyergap juga tak kuasa menggantikan kembali atas harta benda yang disapu lahar, bahkan menghidupkan kembali anggota keluarganya yang ditelan bencana Semeru, dan sebagainya.

Padahal, kalangan lainnya menyebut, melalui puisi kita bisa mengungkapkan soal kecemasan, ketakutan, kerinduan suasana akan kampung atau desanya sekaligus harapan. Bertutur tentang penderitaan warga yang kehilangan rumah, peliharaan, serta sekolah. Juga mengungkapkan ketakutannya, karena merasakan erupsi Semeru yang sampai bikin kuyu. Berpuisi itu seperti pesiar. Bicara puisi itu banyak menyentuh kavling emosi. Watson menyebutkan, ada tiga emosi dasar yang dimiliki manusia, yaitu (1) ketakutan (fear), (2) marah (rage), dan (3) cinta (love). Ketiga jenis emosi nantinya bisa berkembang, masing-masing menjadi kecemasan, amarah (anger), dan simpati (sympathy).

Aktivitas berpuisi merupakan salah satu step yang memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan emosinya. Paling tidak dengan menulis puisi, bagaimanapun bentuknya maupun gejolak batin, kesedihan, kemurungan, dan kecemasan dapat diungkap ke permukaan. Puisi bisa menjadi kanal yang menyalurkan ragam emosi itu. Dengan demikian, orang yang menuliskannya akan memperoleh kelegaan hati dan pikiran. Proses pelepasan emosi itu bisa menjadi semacam terapi yang tentu saja bagus untuk kesehatan mental.

Kala berada di tenda pengungsi, banyak yang merasa tersungkur, merasa gagal dan tetumpukan pelemahan emosional acap terjadi sebab ramainya lalu lintas pesimisme akibat trauma dan stres. Secara psikologis mereka mudah tersulut api konflik dengan sesama penghuni akibat lama tinggal di sini. Selain itu, cenderung menyalahkan orang maupun pihak lain yang dianggap menambah beban hidup mereka. Puisi dapat menjadi salah satu panasea (obat mujarab) ketegangan, keterpurukan yang menyeka hidupnya.

Kebebasan

Arleen McCarty (1994) dalam Biblio Poetry Therapy, The Interactive Process: A Handbook, menegaskan tujuan dari terapi puisi adalah untuk memperbaiki kapasitas respons, meningkatkan pemahaman diri, menambah kesadaran hubungan antarpribadi, dan memperbaiki orientasi realitas. Dalam hal ini, terapi puisi memberikan rangsangan secara terus-menerus untuk meningkatkan kekuatan kesadaran diri bagi proses pengobatan selanjutnya.

Sekurangnya Rinata Lathi H (2013), menawarkan puisi terapi ini bertujuan mengembangkan akurasi dan pemahaman alam mengamati diri dan orang lain, mengembangkan kreativitas/ ekspresi diri/dan harga diri.

Selain itu, puisi terapi untuk menguatkan kemampuan interpersonal dan keterampilan komunikasi, mengeluarkan emosi yang kuat dan melepaskan ketegangan, untuk menemukan makna baru melalui ide-ide baru, wawasan dan informasi maupun guna mempromosikan perubahan dan meningkatkan keterampilan coping dan fungsi adaptif. Coping skill merupakan suatu kemampuan menghadapi stres untuk tetap terus maju mencapai tujuan hidup. Pendeknya, terapi puisi menyorongkan ekspresi, refleksi, redefinisi dan validasi pengalaman yang pernah dialami.

Promentheus, seorang tabib dalam mitologi Oceanus pernah berkata, "Kata-kata adalah tabib bagi pikiran yang tersakiti", yang dimaksudkan adalah puisi. Puisi adalah ekspresi spontan penulis ketika teringat mengenai suatu topik, orang, atau pun kejadian,” kata sastrawan Candra Malik (Kompas, 6/9/2019)

Disarankan dalam terapi puisi ini, pengungsi kita berikan kekebasan penuh untuk berekspresi baik konteks maupun konten, termasuk pemilihan diksi atau narasi, tapi sekurangnya mengandung nilai kepercayaan diri, optimisme, semangat dan pengharapan, kegembiraan dan penghiburan bahkan termasuk romantik sekalipun.

Teknisnya pun lebih fleksibel, misalnya kita membacakan puisi buat pengungsi, atau pengungsi membuat karya puisi sendiri kemudian dibacakan sendiri atau oleh orang lain atau sebaliknya. Kita tak perlu menjadi Sapardi Djoko Damono, Gus Mus, Rendra, Cak Nun, Taufik Ismail, atau Happy Salma, tapi cukup menjadi diri kita sendiri, termasuk para relawan, mahasiswa KKN peduli Semeru dan pegiat lainnya. Sudah saatnya sastrawan, termasuk penyair turun gunung. *

Marjono

ASN, Penulis Buku : Memayu Hayuning Bawana