Pulang Kampung, Korban KDRT Minta Keadilan

Pulang Kampung, Korban KDRT Minta Keadilan

KORANBERNAS.ID -- Menikah selama 15 tahun, Ny MP (40) warga Bantul mengalami kekerasan fisik ataupun psikis.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang diduga dilakukan oleh suaminya IS (42) terjadi saat mereka hidup bersama dan tinggal di Jakarta. Saat ini pasangan itu sudah resmi bercerai.

Beberapa kali Ny MP menjadi sasaran kemarahan suaminya. Bahkan pada 2013 dirinya harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan akibat luka di tubuhnya.

Merasa tidak tahan dengan perlakuan itu, ibu dua anak usia 15 tahun dan 12 tahun ini pun memilih pulang ke kampung halaman di Bantul.

Namun lagi-lagi, suaminya melakukan kekerasan saat datang dan menengok dirinya pada 2017. “Apa saja bisa membuatnya marah dan sering berakhir dengan kekeasan. Perlakuan ini saya alami sejak awal menikah,” kata Ny MP kepada wartawan di RM Andrawina, Jumat (10/10/2019).

Turut mendampingi, kuasa hukumnya, Siti Roswati Handayani SH MPA, sejumlah aktvfis antikekerasan terhadap perempuan dan anak serta jaringan Pro Demokrasi diwakili oleh Tri Wahyu KH.

Karena sudah tidak tahan, akhirnya Ny MP mengadukan masalah tersebut ke lembaga perlindungan perempuan dan berlanjut ke  pelaporan di Polres Bantul pada Agustus 2018.

Bersama dengan laporan itu, dirinya juga mendaftarkan gugatan cerai kepada IS yang kini telah resmi menjadi mantan suaminya setelah turun putusan  dari Pengadilan Agama yang sekaligus memutus semacam teror yang selalu menghantui dirinya selama berumah tangga.

”Sekarang saya lebih tenang. Saya berani melapor agar kaum perempuan , istri itu mendapat perlindungan secara hukum.  Juga membuat jera pelaku,” katanya.

Roswati mengatakan kasus ini sempat akan terhenti prosesnya. Berkat kegigihan drinya dan dukungan banyak pihak, akhirnya dibuka kembali.

Namun disayangkan,  ternyata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Bantul saat sidang tuntutan sepekan silam  hanya menuntut pelaku empat bulan penjara.

Tuntutan ini jauh dari UU Penghapusan Kekerasan dalam Keluarga (KDRT) pasal 44 ayat 1, disebutkan pelaku KDRT maksimal bisa dihukum penjara 5 tahun dan denda, maksimal 15 tahun.

“Saya kecewa dengan tuntutan ini, namun saya berharap kepada majelis hakim pada 17 Oktober 2019 bisa menjatuhkan vonis secara adil bagi korban. Juga berharap pelaku dihukum maksimal atas perbuatanya,” katanya.

Apabila memperhatikan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, seharusnya JPU memberikan tuntutan  yang tidak ringan kepada terdakwa dan hakim bisa memutus seadil-adilnya dengan mempertimbangkan rasa keadilan korban.

 “Jika hanya dituntut empat bulan, maka saya menduga sidang ini hanya formalitas saja,” kata Roswita yang membawa bukti visum atas kekerasan yang dialami korban.

Kasus ini sempat dihentikanya penyidikan dengan alasan kedaluwarsa kemudian dibuka kembali.

Juga ada pembicaraan terdakwa dengan kakak korban yang dilakukan di depan ruang tahanan PN Bantul, intinya terdakwa bilang tidak akan dihukum lama. “Terdakwa pernah menyebutkan punya kakak yang memiliki koneksi di PN Bantul,” katanya.

Namun demikian, Roswati berharap PN Bantul benar-benar melihat segala fakta yang ada dan penderitaaan yang dialami korban akibat perbuatan terdakwa yang kini ditahan di LP Bantul selama menjalani proses persidangan.

Dukungan agar pelaku dihukum maksimal juga disampaikan oleh banyak pihak dan suratnya dikirim ke PN Bantul.

Seperti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI),  yang juga ditembuskan ke Ketua MA, Ketua Badan pengawas MA, Ketua KY RI, Ketua Komisi Kejaksaan RI, Ketua Ombudsman RI, Ketua Pengadilan Tinggi (PT) DIY, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban serta Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan.

Juga ada dukungan dari Mitra Wacana Women Resource Centre. Direktur lembaga ini Ir Imelda Zuhaida MP pernah meminta PN Bantul menjatuhkan hukuman  maksimal  bagi pelaku. (red)