Purnama Tak Sembunyi di Balik Mendung

Purnama Tak Sembunyi di Balik Mendung

KORANBERNAS.ID – Event Sastra Bulan Purnama setiap tanggal 15 masih disinari cahaya terang. Purnama tak sembunyi di balik mendung tatkala acara tersebut berlangsung di Amphytheater Tembi Rumah Budaya Jalan Parangtritis Km 8,5 Sewon Bantul, Jumat (15/11/2019) malam.

Cuaca cerah di bawah siraman cahaya purnama bahkan udara yang terasa panas, menambah semangat para perempuan penggurit mengisi event rutin bulan yang sudah memasuki edisi ke-98 itu.

Sebelas penggurit dari Semarang, Kudus, Sragen, Klaten,  Cilacap, Yogyakarta tampil membacakan geguritan karyanya sendiri.

Tampil pula pembaca tamu membacakan geguritan karya penggurit yang tidak hadir. Di antaranya mantan Bupati Bantul Sri Suryawidati. Dia membacakan geguritan karya Ninuk Retno Raras diiringi petikan gitar oleh Nyoto Yoyok.

Kolaborasi itu menarik karena pembacaan geguritan biasanya diiringi gamelan. Sedangkan Rieta En membacakan geguritan karya Yanti S Sastro.

Guru-guru dari Cilacap yang hadir malam itu mengawali membaca geguritan yang ditulis menggunakan bahasa penginyongan. Penampilan mereka memperkaya geguritan bahasa Jawa.

Ada juga yang nembang sebelum membaca geguritan. Inilah yang dilakukan Yanti S Sastro maupun Sus S Hardjono, penggurit dari Sragen.

Lain lagi yang dilakukan Sulis Bambang. Penggurit asal Semarang itu tampil diiringi seruling sehingga memberikan imajinasi suasana purnama zaman dulu ketika belum ada listrik.

Pertunjukan dari Institut Karinding Nusantara rasanya memberikan suasana lain sekaligus mengsi ruang sela, agar penonton tidak terus menerus melihat pembacaan geguritan.

Rupanya para pembaca guguritan berusaha tampil beda, tidak hanya diiringi tembang tetapi juga njoget. Tri Sumarni penggurit dari Yogyakarta saat membacakan karyanya berjudul Njoget, dia menari diiringi lagu Didi Kempot Pamer Bojo Anyar.

Kolaborasi

Geguritan memang bisa dipadukan dengan jenis kesenian lain atau setidaknya kolaborasi antara geguritan dan musik, geguritan dan tarian, geguritan dan tembang.

Masing-masing penggurit mempunyai pilihan sendiri-sendiri dalam upaya menghidupkan kata.

Para perempuan penggurit ini tidak hanya menulis geguritan, tetapi juga menulis puisi berbahasa Indonesia.

Mereka sudah memiliki buku kumpulan puisi tunggal maupun antologi puisi bersama penyair dari berbagai daerah.

Sulis Bambang, misalnya, sudah menerbitkan geguritan bahasa Semarangan. Pendek kata, para perempuan penggurit ini terus berkreasi sambil tidak jemu menumbuhkan kecintaan literasi kepada masyarakat.

Penerbitan buku puisi dan geguritan yang kemudian diolah menjadi pertunjukan merupakan salah satu bentuk mengajak masyarakat untuk mencintai literasi. (sol)