Realita Kerusuhan Ambon dalam Film Beta Mau Jumpa

Realita Kerusuhan Ambon dalam Film Beta Mau Jumpa

KORANBERNAS.ID, SLEMAN -- Dua puluh satu tahun pasca konflik Ambon yang menelan ribuan jiwa, perempuan dan anak muda menggalang perdamaian dan merajut hubungan kembali antara Kristen dan Muslim yang mengalami segregasi.

Kisah ini dikemas dalam sebuah film dokumenter yang dirancang bagi para pendidik, jurnalis, pengambil kebijakan, serta masyarakat pada umumnya, melalui kolaborasi antara Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM, the Pardee School of Global Studies Boston University, dan WatchdoC Documentary dengan dukungan dari Henry Luce Foundation New York.

“Film ini mengingatkan kita bahwa perdamaian tidak terjadi dalam waktu semalam. Dibutuhkan usaha dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkannya,” ucap Dr. Diah Kusumaningrum, Kepala Prodi S1 Hubungan Internasional UGM di sela-sela diskusi dan pemutaran film Beta Mau Jumpa di Kantor Humas dan Protokol UGM, Jumat (24/1/2020).

Sejak hari pertama konflik Ambon merebak, lanjut Diah, telah ada upaya perdamaian di antara warga. Film ini memunculkan cerita-cerita dari beberapa perempuan yang menggambarkan relasi mereka yang begitu dekat dengan tetangga mereka yang memiliki keyakinan berbeda.

Tanggal 19 Januari 1999 diingat kebanyakan orang sebagai awal dari peristiwa konflik di Ambon. Tapi sebenarnya sejak hari itu juga warga Islam dan Kristen saling merengkuh satu dengan lainnya.

"Pada masa itu, warga yang beragama Islam menyembunyikan tetangga mereka yang Kristen untuk melindungi mereka agar tidak diserang, begitu juga sebaliknya,” paparnya.

Kisah para perempuan yang ditampilkan di dalam film Beta Mau Jumpa menunjukkan adanya rasa saling percaya yang telah lama terbangun di antara warga, sehingga mereka terbiasa untuk menitipkan kunci rumah kepada tetangga mereka yang berbeda kepercayaan ketika mereka pulang ke kampung halaman. Dengan demikian para ibu akan menjaga anak dari tetangga mereka ketika sang orang tua harus bekerja hingga larut malam.

“Ketika seorang anak dititipkan, berarti tetangganya tersebut tidak hanya menjaga tetapi juga memberi makan. Jadi, ada ingatan dalam benak mereka, bahwa mereka bisa hidup hingga sekarang karena kebaikan tetangga mereka yang Kristen atau Muslim itu,” kata Diah.

Sementara peneliti CRCS UGM Marten Tahun menambahkan, Sejarah panjang kehidupan bersama para warga terlepas dari kepercayaan mereka menciptakan apa yang ia sebut sebagai memori perdamaian, yang menjadi bekal bagi upaya rekonsiliasi pasca berakhirnya konflik.

"Memori perdamaian itulah yang menjadikan Ambon berbeda dengan konflik yang terjadi misalnya di Sri Lanka atau Irlandia Utara," lanjutnya.

"Memori ini perlu diciptakan untuk memupuk perdamaian di tengah masyarakat dengan berbagai perbedaan yang dimiliki. Memori perdamaian adalah sesuatu yang harus dibuat di masa kini agar itu bisa terus diingat di masa depan,” pungkasnya.

Film ini merupakan film kedua dari seri Indonesian Pluralities yang mengangkat beragam kisah tentang Indonesia. Film pertama berjudul Atas Nama Percaya yang mengangkat kisah dua komunitas penghayat kepercayaan dan pengalaman diskriminasi yang mereka alami telah dirilis pada tahun lalu dan bisa disaksikan melalui Youtube.(yve)