Reproduksi Keindonesiaan dan Pandemi

Reproduksi Keindonesiaan dan Pandemi

AGRESI Covid-19 tak pandang usia. Mereka yang di kota maupun desa, pejabat atau rakyat, orang kaya dan miskin pun juga bisa terpapar. Imbas pandemi ini tak cuma di sektor kesehatan dan ekonomi, tapi juga sektor lain seperti pendidikan, lingkungan dan sosial budaya kita. Kepedihan dan kegetiran berderet dari satu rumah ke rumah lain. Dari kampung satu ke kampung lainnya. Pada situasi murung demikian, kita tak habis pikir dan terbayang, mengapa masih saja ada orang-orang yang menganggap remeh terhadap pandemi ini dengan bukti menaiknya orang-orang yang tumbang, meninggal satu demi satu.

Hampir dua tahun kita berjuang melawan pandemi Covid-19, selama itu pula muncul orang-orang yang sepakat dan sebaliknya atas segenap aksi dan kebijakan pemerintah dalam upaya membebaskan rakyat dari virus mematikan Covid-19. Memang tak sedikit yang rela bekerja keras, berempati dan gorong royong meringankan beban warga yang tertimpa Covid ini, namun tak sedikit juga mereka yang abai dan menggampangkan musibah Covid-19, sehingga beberapa sikap dan perilakunya jauh dari ekspektasi nalar publik.

Pada praktik pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4 sekarang ini pun, acap kita membaca, melihat dan mungkin mengalami secara langsung, pelaksanaan di lapangan tak sedikit yang tak menjunjung tinggi nilai-nilai sosial kemanusiaan. Kita lihat pelanggaran PPKM menyeruak. Itu semua lebih karena mereka telah jauh dan meninggalkan nilai-nilai kebangsaan kita, tepatnya nilai Pancasila. Bagaimana tidak, beberapa warga yang melawan petugas, membentak aparat dan menerobos penyekatan bahkan dengan tidak merasa bersalah berseliweran di jalanan tanpa disiplin protokol kesehatan, misalnya tanpa mengenakan masker, apalagi double masker.

Pada domain elit, harus berjuang tetap menjadi teladan dan panutan dalam pelaksanaan protokol kesehatan, dengan tetap melakukan aksi yang bernilai positif yang mengedepankan frasa edukasi, dan sosial kemanusiaan dalam mengendalikan pandemi Covid-19. Tegas boleh tapi mungkin tak perlu ngegas, bukan menggurui tapi menjadi kawan diskusi dan lawan berpikir yang baik dalam mengurai problematik pandemi, termasuk kesulitan ekonomi masyarakat. Itulah kemudian, di sini peran para tokoh masyarakat, pemuka agama dan influencer lainnya mesti mampu mengendalikan diri dengan mata hati, emosi dan pikiran, sehingga tak gampang terjebak dengan perang informasi yang bersifat hoaks atau propaganda lainnya. Karena, biasanya kalau yang ngomong itu pemerintah ora digugu, tapi kalau yang ngomong itu kyai, ulama dan tokoh agama, masyarakat akan banyak yang ngikut. Itulah peran-peran pemimpinn profetik yang bisa kita libatkan langsung dalam mensosialisasikan disiplin protokol kesehatan dalam beraktifitas dan ikut mensukseskan program vaksinasi Covid-19, misalnya.

Pada musim pandemi Covid-19 ini, ada baiknya kita pulang. Kita kembali ke rumah kebangsaan kita, mereproduksi nilai-nilai yang barangkali luntur bahkan tercerabut dari akarnya. Hadirkan Pancasila dalam kemurungan pandemi ini. Kita sebagai bangsa yang beragama tentu dalam menyikapi pandemi perlu dibarengi dengan kecerdasan spiritual dan kecerdasan logika dan ekologis. Kita pun penting membangun budaya dan norma yang berlandaskan kemanusiaan, empati kepada saudara kita yang mengalami ujian Covid-19, menggalang donasi dan semua mendapat perlindungan dan bantuan yang sama. Kemudian ditindih pandemi yang entah kapan berakhir ini, kita pun harus rela melepas ego, menebar toleransi, merawat kedamaian, kerukunan, persatuan, gotong royong tanpa adu domba, propaganda atau aksi kontraproduktif.

Untuk meneguhkan nilai kita perlu melakukan upaya untuk melaksanakan apa yang telah menjadi hasil musyawarah atau keputusan pemerintah, termasuk prokes, vaksinasi, PPKM, dan sebagainya demi kepentingan bangsa. Ada baiknya kita perlu mempraktikkan nilai Jaga Tangga, Jajan Tangga, tidak menyerobot bantuan sosial, rela antre vaksin, tidak ada vaksin bodong, ASN memborong dagangan pedagang kecil, petani, misalnya. Jika kemudian berlanjut, maka ibarat lumba-lumpa pun bertepuk tangan.

Transdisiplin

Di tengah pandemi Covid-19 ini, ada baiknya kita mengamalkan salah satu ajaran Ki Hajar Dewantara, yakni “Setiap orang menjadi guru setiap rumah menjadi sekolah.” Dalam relasi pandemi ini, sekurangnya ada dua pelajaran penting yang kita peroleh. Pertama, seluruh anggota keluarga yang lebih dewasa harus dapat mengajarkan sikap spiritual, sosial, pengetahuan dan keterampilan. Kedua, setiap rumah mesti menjadi tempat bagi setiap anggota keluarga, khususnya anak-anak, untuk bisa memperoleh sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan untuk kehidupan yang penuh makna pada masa depan.

Sikap spiritual dan sosial inilah yang akan membentuk karakter anak-anak kita. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karakter atau watak adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan karakter yang baik itu tidak selalu harus mengandalkan ruang-ruang kelas melalui  guru yang secara resmi mengajar di sekolah, namun seyogyanya bisa diperoleh dari orang tua dan orang dewasa yang ada di rumah dan di sekitarnya (community based education).

Kita ingin, anak-anak maupun pelajar menjadi agen perubahan perilaku dalam pelaksanaan protokol kesehatan di lingkungan sekitarnya, sejak di rumah, berangkat sekolah atau di jalan, di kendaraan umum, sampai di sekolah berlanjut pulang ke rumah kembali tetap diisplin menerapkan yang namanya protokol kesehatan. Mahasiswa pun juga bisa melakukan hal yang sama bahkan bisa melampaui harapan kita, seperti memberikan pendampingan bagi pelajar atau anak-anak yang mengalami kesulitan belajar saat pandemi Covid-19 maupun memberikan edukasi sehat dan produktif kala pandemi menghantam. Nilai asah, asih dan asuh bergemuruh  dan berkelindan di dalamnya.

Harapannya, snap short di atas akan menyuburkan praktik Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), "Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara". Ayat tersebut intinya menjelaskan bahwa kita wajib melakukan upaya pembelaan negara yang tentunya harus dengan rasa nasionalisme yang timbul dari diri kita sendiri. Kita tunggu kontribusi, urun angan dan turun tangan dari tansdiisplin dan sinergi pentahelix membebaskan rakyat dari agresi Covid-19. **

Marjono

Kasubbag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng