Reproduksi Pahlawan Desa

Reproduksi Pahlawan Desa

BANGSA yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Menjadi pahlawan pada era kekinian tak berarti berperang melawan kolonial dan memanggul senjata. Tidak sedikit PR bangsa yang memang mesti diselesaikan dengan cara keroyokan. Karena negara punya kemampuan yang terbatas pula. PR tersebut tidak hanya soal permukiman kumuh atau tumpukan sampah maupun soal banyaknya praktik ekonomi underground. Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (16/8/2018) menegaskan kian pentingnya posisi desa. Indikasinya, ujaran desa berlipat kalimat dan substansinya semakin luas (Kompas, 8/9/2018). Bahkan Nawacita Presiden pun menyuarakan membangun Indonesia dari pinggir (desa).

Hingga kini, desa masih menyisakan gugusan problematika yang belum terselesaikan. Menyangkut infrastruktur, sumber daya manusia, perekenomian desa, persoalan pendidikan daring di desa, teknologi tepat guna bahkan menyentuh UMKM dengan segenap pengemasan dan pemasaran juga dukungan permodalan dan keuangannya. Satu lagi, persoalan IT yang kerap memusingkan desa. Belum persoalan lain, seperti kekerasan perempuan dan anak maupun kemiskinan dalam aspek luas. Desa lagi-lagi acap distempel sebagai pemasok dan kantong kemiskinan negeri ini.

Segala problema di atas butuh sosok maupun pioneer yang mampu mengubah desa, membalik desa. Dari keterpurukan menjadi berdaya, dari bergantung ke mandiri, dari individu bergeser ke gotong royong atau dari konsumtif menjadi produktif, dan sebagainya. Pendeknya, desa masih perlu pemberdaya, yang mampu mentransformasi sosial budaya sesungguhnya pada level akar rumput. Pedesaan sangat merindukan hadirnya sosok pahlawan bagi pembangunan desa. Dana desa saja tak cukup menyantuni kebutuhan masyarakat desa di dalam perencanaan yang sudah ditetapkan dalam forum musyawarah dusun dan naik ke musyawarah desa hingga musrenbangdes pada level lanjutan.

Jika dahulu acap ada penyematan gelar pahlawan, ada pahlawan revolusi, pahlawan kemerdekaan, pahlawan lingkungan, pahlawan digital, dan sebagainya. Pada relasi wilayah pedesaan sekarang, maka pahlawan di sini adalah orang-orang yang rela mengabdikan dirinya untuk kepentingan desa. Mereka ini tak terbatas dari lingkungan tempat tinggal di desa, tapi meluas secara domestik hingga luar negeri. Bisa berasal dari petani, peternak, nelayan, guru, perangkat desa, pengusaha maupun pejabat atau elit, akademisi, politisi bahkan pemulung sekalipun.

Sebenarnya, seberapa jauh mereka mewakafkan hidupnya untuk pembangunan desa. Ada sosok petani milenial, yang mampu merangkul petani sayuran organik dari Kopeng Jawa Tengah. Kemudian, seorang peternak asal Tretek, Tulungagung yang berhasil menemukan racikan yang tepat untuk sapi-sapinya. Ia pun patut dipredikati pahlawan desa. Menyusul, para hero pesisir. Mereka punya histori dari merusak menjadi melindungi terumbu karang, misalnya. Dari nelayan yang menangkap ikan dengan bahan peledak atau sianida berganti dengan cara yang lebih alamiah maupun menjalankan diversifikasi usaha dan komodifikasi produksi hasil tangkapan laut, seperti ikan dan terasi. Kita pun tak keberatan kala mereka ini disematkan sebagai pahlawan desa.

Berlanjut pada ranah pendidikan, ketika para guru, sarjana dan relawan yang mengajar di daerah 3 T (terdepan, terluar dan tertinggal) jauh di lembah, pelosok dan pegunungan maupun perbukitan terjal lainnya, keluar masuk hutan, mesti menyeberangi sungai atau harus menumpang perahu berjam-berjam hanya dan demi transfer pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Dengan segenap optimisme dan spirit yang tak padam berjuang mencerdaskan anak-anak pedesaan. Begitu pun para pendamping desa nun jauh di pedalaman yang terus berbaur, merencanakan, belajar dan bekerja bersama masyarakat desa, mereka ini pantas disebut pahlawan desa.

Tak kalah serunya, orang-orang kampus dengan bauran mahasiswa, dosen, profesor yang bergiat melakukan riset untuk kesejahteraan desa, dan mereka ini yang rajin turun gunung, blusukan ke desa-desa. Mereka ini meneliti, memberi solusi dan rekomendasi ke negara untuk membebaskan rakyat desa dari jebakan kemiskinan, dll. Kisah kepahlawan desa terus berembus ke tembok eksekutif dan legislatif. Pahlawan dalam konteks keduanya, bagi desa adalah saat mereka sungguh-sungguh berjuang menggoalkan politik anggaran yang memihak ke desa. Bahkan media yang konsisten memberi perhatian atas derap pembangunan desa. Mereka pun layak menyandang gelar pahlawan desa.

Tanpa Panggung

Bahkan termasuk asosiasi perantau desa di kota-kota besar juga asosiasi pekerja migran yang membantu pendanaan pembangunan desa dengan tetap menjunjung tinggi ke-Indonesia-an, lagi-lagi mereka pun sangat layak dianugerahi pahlawan desa. Atau atas hadirnya para relawan pecinta lingkungan yang giat memunguti sampah, mengelola sampah bahkan hingga ada bank sampah, termasuk para pemulung sebenarnya juga sepatutnya beroleh gelar pahlawan desa. Maupun orang-orang yang selalu bersikap dan berperilaku damai, ramah dan toleran menghargai kebhinnekaan di pedesaan pun penting kita anugerahi pahlawan desa. Para kepala desa dan elit  lain yang tidak melakukan korupsi, gratifikasi dan pungli dana pembangunan desa pun patut menjadi teladan dan disebut pahlawan desa. Para pemuka desa yang getol merawat tradisi kedesaan di tengah terjalnya budaya modenitas sangat manusiawi kala diberikan predikat pahlawan desa. Demikian pula, para inventor teknologi tepat guna yang memberikan edukasi dan dedikasi buat pemberdayaan desa tak ada salahnya kita labeli pahlawan desa.

Aktor perempuan dari PKK, Dasawisma pun dari organisasi wanita yang secara serius memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak desa, atau mereka yang saat ini menegakkan prokes, dan vaksinasi dalam penanggulangan pandemi Covid-19 pun mereka layak kita labeli para pahlawan desa. Begitu pun para relawan dan birokrat yang rajin memberikan workshop dan atau pelatihan digitalisasi bagi UMKM dan guru-guru di pedesaan maupun mereka yang mengulurkan bantuan modal, pendampingan manajemen, pelatihan SDM UMKM, serta memfasilitasi sarana promosi baik off line maupun on line. Mereka ini juga selayaknya kita apresiasi sebagai pahlawan desa.

Harap maklum, mereka para pelaku atau aktor di atas tak pernah mengharap gelar, predikat dan tak pernah mengklaim diri sebagai pahlawan. Tapi predikat itu tentu keluar dari mulut-mulut yang tulus dari masyarakat desa tanpa reserve. Begitu pula, para sineas dan pembuat film indie tak ada salahnya memainkan peran pahlawan desa dengan memproduksi film bertema dan berkonten pedesaan, kemudian diviralkan, sehingga mampu menjadi bench marking bagi desa bahkan negara lain dalam membangun desa. Pahlawan itu tak pernah merasa bisa, tapi justru ia selalu bisa merasa. Ia tak sekalipun merasa paling baik, paling benar dan paling pintar, bahkan ia selalu bersikap rendah hati atas (mungkin) kemampuannya. Ia merasa sama halnya dengan teman-teman atau warga lainnya. Tak ada yang lebih maupun istimewa, apalagi diistimewakan.

Rasanya, mereka yang berjuang di jalan ini, serasa melewati jalan sunyi yang tak pernah dilalui orang. Di sinilah, sosk-sosok ini merasa tak perlu bertepuk dada, berbangga dengan kecemerlangannya maupun ke-donasi-annya. Akhirnya, praktik baik dan tulus berbuat untuk kebaikan desa menjadi mimpi kita ke depan, sekaligus memberi spirit dan energi positif dalam mengkonstruksi desa yang berkemajuan, berkebudayaan dan sejahtera. Itulah sederet pahlawan desa, mereka tak pernah demam panggung apalagi mencari panggung. Siapa menyusul? **

Marjono

Kasubbag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng