Sekolah Harus Jamin Keamanan Peserta Didik

Sekolah Harus Jamin Keamanan Peserta Didik

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Sekolah merupakan lingkungan belajar dan menjadi tempat kedua utama setelah keluarga bagi peserta didik. Sehingga sekolah harus mampu menjamin rasa aman bagi peserta didiknya.

Sebab peserta didik membutuhkan ruang yang optimal dan sehat untuk tumbuh kembang dan daya berpikirnya. Oleh karena itu, penting untuk memberikan ruang aman agar terhindar dari segala bentuk kekerasan yang tidak hanya diprioritaskan kepada murid, tetapi seluruh pekerja termasuk guru.

“Salah satu ancaman yang dapat mempengaruhi karakter seorang murid, adalah munculnya gangguan kekerasan berbasis gender. Suasana pendidikan di masa pandemi saat ini, yang mengharuskan murid belajar dari rumah dan melakukannya secara online, rentan terhadap ancaman kekerasan berbasis gender online yang difasilitasi melalui saluran digital,” papar Hari Sadewo, CDP Program Advisor Yayasan Plan International Indonesia dalam kampanye No! Go! Tell! (Katakan Tidak, Jauhi, Laporkan) secara daring, Kamis (22/7/2021).

Kegiatan yang diinisiasi oleh The Body Shop® Indonesia berkolaborasi dengan mitra Yayasan Plan International Indonesia, Magdalene, Yayasan Pulih, dan Makassar International Writers Festival (MIWF), digelar selama tiga hari hingga Sabtu (24/7/2021).

Di sinilah, peran seorang guru dituntut untuk dapat mengenali, melakukan pencegahan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender di sekolah.

Tidak dapat dipungkiri, bahaya kekerasan berbasis gender semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kekerasan berbasis gender menurut Plan International didefinisikan sebagai kekerasan yang ditujukan kepada perempuan, laki-laki, anak perempuan, dan anak laki-laki yang didasari pada jenis kelamin, identitas gender, atau orientasi seksual mereka.

Kekerasan ini, bahkan seringkali menyerang korban dari kalangan perempuan dan anak perempuan. Data UNFPA (2020) mengungkapkan, bahwa sebanyak 90% korban pemerkosaan adalah perempuan. Parahnya, data kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ruang luring, tetapi sering terjadi di ruang daring.

Sebagaimana data State of the World’s Girls Report yang dirilis oleh Yayasan Plan International Indonesia (2020), lebih dari setengah anak perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan di dunia digital.

Hingga hari ini, kekerasan seksual tersebut masih menjadi masalah besar untuk anak perempuan. Prevalensi masih tinggi sebesar 4,1 persen. Dengan kata lain ada 4 dari 100 anak perempuan menjadi korban.

“Dari laporan data SIMFONI (Kementerian PPPA) mencatat 58,5 persen dari 15.000 kasus adalah kekerasan pada anak (data Juni 2020),” jelasnya.

Ratu Ommaya, Head of Values, Community & Public Relations The Body Shop Indonesia mengatakan, kegiatan “Workshop untuk Guru: Mengenal Kekerasan Berbasis Gender & No! Go! Tell!” di sekolah, merupakan cara agar dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan, terutama dalam ruang lingkup sekolah.

“Dengan mengikuti workshop ini, diharapkan guru yang terpilih dapat memberikan edukasi mengenai risiko kekerasan seksual terhadap anak. Kampanye ini sebagai mekanisme perlindungan diri ketika menghadapi situasi kekerasan seksual,” paparnya.

Rani Hastari, Gender Equality & Social Inclusion (GESI) Specialist Yayasan Plan International Indonesia menambahkan, setiap harinya, banyak orang mengalami berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual. Kekerasan berbasis gender ini menunjukkan adanya ketidaksetaraan gender di kehidupan.

“Hal ini juga ditandai oleh berbagai bentuk budaya pemerkosaan, termasuk normalisasi terhadap pelecehan seksual yang sering dianggap sebagai hal yang biasa di masyarakat kita. Inilah saatnya kita dukung normalisasi kesetaraan gender, bebas dari segala bentuk kekerasan,” paparnya.(*)