Seluruh Wilayah DIY Bertanda Merah

Seluruh Wilayah DIY Bertanda Merah

KORANBERNAS.ID – Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saat ini mengalami puncak musim kemarau. Kekeringan kategori ekstrem terjadi di kabupaten Gunungkidul, Bantul dan Kulonprogo.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) DIY memberi tanda merah pada peta cuaca yang meliputi seluruh wilayah di provinsi ini.

“DIY sudah mengalami 138 hari tanpa hujan. Kita memonitor hari tanpa hujan ini per 10 hari. Wilayah DIY rata-rata sudah merah, ada daerah yang sudah 60 hari berturut-turut tidak ada hujan,”  ungkap Reni Kraningtyas, Kepala Klimatologi BMKG DIY, Rabu (21/8/2019), di Goeboeg Resto.

Berbicara pada konferensi pers terkait respons bencana kekeringan yang diselenggarakan Aksi Cepat Tanggap (ACT) DIY, Reni menyampaikan dari peta yang ada, terdapat dua daerah yang paling parah yaitu Gunungkidul dan Bantul.

“Rangking daerah tanpa hujan selama 125 hari terjadi di Kebun Buah Mangunan Bantul, kemudian Tanjungsari Gunungkidul, Galur dan Panjatan Kulonprogo serta wilayah Bantul Kota,” ungkapnya.

Menurut dia, apabila kekeringan ini sudah mencapai puncaknya BMKG mengeluarkan peringatan dini atau warning ditujukan ke instansi-instansi terkait maupun masyarakat.

Ini dimaksudkan supaya ada respons cepat, sebagaimana yang dilakukan oleh ACT DIY melalui program-program bantuan air.

Sebab, kata dia, apabila dilakukan hujan buatan maka tidak memungkinkan. Selain perlu melibatkan instansi lain seperti BPPT serta BNPB, dari sisi teknis pun belum memenuhi persyaratan.

“Saat ini posisi kita baru standby dan memantau. Hujan buatan harus ada bibit awan yang bisa dibidik, kecuali ada pola lain cuaca,” jelasnya.

Artinya harus ada kumpulan awan pembawa hujan. Sedangkan Agustus ini belum memasuki pancaroba. Meski ada awan tetapi durasinya sangat pendek.

Dia mengakui, awal musim hujan di wilayah DIY diperkirakan mundur. Hal ini dihitung berdasarkan awal kemarau terjadi April. Agustus bulan ini merupakan puncak musim kemarau di seluruh wilayah DIY.

Berdasarkan peta anomali suhu permukaan laut, diketahui masih berwarna biru yang menandakan tidak ada potensi pembentukan awan hujan. Kondisi seperti itu diperkirakan terjadi sampai Oktober.

Saat ini bertiup angin Timur dan Tenggara yang sifatnya kering serta tidak banyak membawa uap air. Diperkirakan sampai September angin masih bersifat kering.

Baru kemudian pada Oktober 2019 sedikit terbentuk awan hujan. “Meskipun September ada potensi hujan tetapi belum tentu masuk musim hujan. Sifat hujannya masih di  bawah normal,” terangnya.

Dari semua wilayah di DIY, Kabupaten Gunungkidul termasuk daerah paling ekstrem terlanda kekeringan.

Berdasarkan data, setidaknya per Agustus 2019 sedikitnya 134 ribu jiwa di 14 Kecamatan dari 18 kecamatan di kabupaten itu terdampak kekeringan, bahkan sudah ada yang sampai level kesulitan memperoleh air bersih.

Reni mengimbau masyarakat dan instansi terkait agar bijak memanfaatkan air. Dinas Pertanian perlu mendorong petani bertanamlah pada saat yang tepat supaya tidak gagal tumbuh.

Antisipasi

Kepala Cabang ACT DIY, Bagus Suryanto, menambahkan saat ini ACT sudah menyiapkan 269 relawan untuk membantu masyarakat. Setiap hari, lembaga kemanusiaan ini melakukan droping air.

Apalagi BMKG sudah memprediksi periode kemarau tahun 2019 ini (Mei-Oktober) akan lebih kering dibanding 2018. Pemerintah dan masyarakat perlu waspada dan melakukan antisipasi lebih dini.

"Berdasarkan pantauan BMKG DIY hingga Awal Agustus 2019, beberapa wilayah DIY sudah mengalami kekeringan meteorologis level ekstrem. Tercatat ada daerah yang sudah lebih dari 60 hari tidak ada hujan, bahkan ada yang lebih dari 130 hari,” ujarnya.

Dampak lanjutan dari kekeringan dirasakan sektor pertanian berupa ancaman gagal panen terutama di wilayah-wilayah pertanian tadah hujan.

Bagus menambahkan kekeringan ekstrem yang melanda Gunungkidul salah satunya karena faktor musim kemarau dan geografis. Wilayah kabupaten itu  didominasi bebatuan karst  (kapur) sehingga air sulit tertahan di atas tanah.

Belum ditemukannya sumber mata air di beberapa kecamatan juga menjadi sebab air bersih di Gunungkidul semakin langka.

"Pada dasarnya bencana kekeringan tidak kalah mengerikannya dengan bencana gempa bumi maupun bencana tsunami, kekeringan memang bukan bencana yang bisa secara langsung berdampak pada kematian, namun kekeringan merupakan bencana sangat laten. Kekeringan bukan bencana rapid on set namun slow on set. Slow on set ini memiliki dampak mematikan," ujarnya.

Upaya penanggulangan kekeringan sedang dilakukan oleh ACT mulai respons darurat sampai dengan program jangka panjang.

ACT terus berkolaborasi dengan instansi-instansi terkait seperti Pemkab, BPBD dan BMKG serta mitra donatur yang secara aktif turut peduli terhadap permasalahan kekeringan.

Melalui program Humanity Water Tank atau distribusi air bersih, ACT DIY rutin menggalakkan droping air sejak Juni silam.

“Agustus ini karena memasuki puncak musim kemarau, intensitas distribusi air bersih lebih dimasifkan dengan rata-rata 6 tangki per hari atau sekitar 20-30 ribu liter per hari,” tambahnya.

Adapun program jangka panjang adalah pembangunan sumur wakaf di lokasi-lokasi yang rawan kekeringan. ACT DIY sudah membangun 18 sumur wakaf di 18 titik.

Secara nasional bencana kekeringan sedang digarap serius oleh ACT. Setidaknya sejumlah 2,1 juta liter air bersih akan didistribusikan setiap hari, dengan target bisa memberikan 500.000 penerima manfaat per hari.

Dijadwalkan pada Kamis (22/8/2019) ACT DIY meluncurkan program Humanity Watertank di halaman Balaikota Yogyakarta. Iring-iringan truk tangki sejumlah 15 armada dilepas menuju daerah yang dilanda kekeringan. (sol)