Semangat Membuat Malas Merawat

Semangat Membuat Malas Merawat

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Perempuan bertopi tampak menggandeng setengah menyeret seorang bocah menuju wastafel berukuran besar di pinggir Jalan Marga Utama Yogyakarta. Sedikit meronta, tapi akhirnya bocah tersebut menurut, begitu kemasan cokelat yang rupanya menjadi kegemarannya diangsurkan oleh perempuan yang ternyata ibunya.

Sesampainya di depan wastafel, sang ibu bergegas menggulung lengan bajunya dan membawa kedua telapak tangan bocah tadi ke bawah kran. Sejurus, tangan kanannya lantas memegang kran dan menarik tuasnya ke bawah supaya air mengucur untuk cuci tangan.

Namun, dengan raut kecewa, wanita yang diketahui bernama Esti warga Mlati Sleman tersebut, terpaksa mengurungkan  niatnya. Dia lantas merogoh ke dalam tas dan mencari-cari sesuatu. Tak lama kemudian, dia mengeluarkan kemasan tisu basah untuk mengelap tangan anaknya.

“Ya saya dulu memang biasa menggunakan tisu basah, Mas. Tapi sejak Corona (wabah Corona-red), rasanya belum puas kalau tidak cuci tangan dengan sabun. Karena anjuran pemerintah kan cuci tangan dengan sabun, atau menggunakan hand sanitizer. Tapi ya mau gimana lagi, krannya mati. Saya juga lupa membawa hand sanitizer,” kata Esti yang kemudian melanjutkan perjalanannya menikmati suasana Minggu pagi di Jogja, belum lama ini.

Pengalaman Esti, boleh jadi juga menimpa warga lain yang mulai berani ke luar rumah di masa tatanan baru atau New Normal. Meski belum pulih 100 persen, sejak pemerintah mengumumkan kebijakan ini, masyarakat memang mulai beraktivitas kembali. Euforia yang wajar. Mereka pergi untuk berbagai keperluan. Sebagian besar mengatakan, sekadar untuk melepas rasa jenuh lantaran berbulan-bulan terpaksa berdiam di rumah.

Sayangnya, kebijakan pemerintah melonggarkan aturan berdiam di rumah atau stay at home ini, belum diimbangi kesiapan yang memadai di lapangan. Setidaknya, keberadaan wastafel-wastafel portabel yang sebelumnya dibangun agar bisa digunakan oleh siapa pun untuk mencuci tangan, sejauh ini belum bisa berfungsi secara maksimal. Malah, wastafel portabel yang disediakan di ruas-ruas jalan utama dan di sejumlah pusat keramanan seperti Jalan Marga Mulya atau Jalan Malioboro dan Jalan Marga Utama, sebagian besar mangkrak tidak berfungsi.

Tengok saja salah satu sudut tak jauh dari Tugu Pal Putih Yogyakarta. Sebuah anjungan cuci tangan yang dibangun sejak Maret 2020, kini tak lebih dari seonggok water torn atau bak penampungan air tanpa manfaat. Padahal, fasilitas umum ini dibangun begitu bagus. Penyangganya terbuat dari kerangka besi semi permanen. Kokoh menopang sebuah bak penampung berkapasitas 300 liter.

Posisinya juga strategis. Setiap orang yang berkunjung ke kawasan Tugu Pal Putih niscaya mudah menemukannya. Terlebih bak tampung oranye itu pasti terlihat jelas walau dari kejauhan.

Namun, wastafel portabel sumbangan dari salah satu organisasi nirlaba ini, tidak lagi bisa digunakan. Bak penampungan itu kosong tanpa air. Sedangkan botol sabun cuci tangan yang tersedia di sampingnya juga kosong tanpa isi. Di bagian luarnya, tampak debu menempel tipis, tanda jarang tersentuh tangan manusia.

Rudi, warga Cokrokusuman yang sudah belasan tahun menjadi petugas parkir di sekitar Tugu Pal Putih menceritakan, sejak dibangun Maret 2020, anjungan cuci tangan ini baru beberapa kali diisi air.

“Waktu di awal-awal saja. Dua atau tiga kali petugas mengisi ulang sekaligus menyiram tanaman yang tumbuh di sepanjang Jalan Margo Utomo. Sejak saat itu hingga hari ini tidak pernah diisi lagi,” tuturnya kepada koranbernas.id, Selasa (28/7/2020).

Rudi pantas kesal. Sebagai petugas parkir yang setiap saat beraktivitas paling dekat dengan wastafel tersebut, dia selalu menjadi tempat bertanya banyak orang. Suatu saat, Rudi bahkan merasa malu. Sekelompok traveller kecele saat mau mencuci tangan. Sambil berlalu, mereka mengatakan sangat menyayangkan mangkraknya fasum yang sudah dibuat begitu bagus.

“Iki nek ana selang dawa tak isi dhewe. Tapi masak ya aku sing repot?. (Ini kalau ada selang air yang panjang, saya isi sendiri.  Tapi kenapa kok jadi saya yang repot-red). Seharusnya ada petugas khusus yang rutin mengisi air dan sabun. Ben kran iki ana fungsine (supaya kran air ini berguna-red),” keluhnya.

Rudi membandingkan wastafel ini dengan fasilitas sejenis yang disiapkan di sebuah rumah ibadah di sisi utara Tugu Pal Putih. Di rumah ibadah tersebut, bak penampungan sama persis, selalu terjaga dan terisi air. Demikian juga dengan sabun cuci tangannya selalu tersedia.

“Padahal jenis penampung airnya sama persis. Artinya sangat mungkin yang menyediakan fasilitas itu juga sama. Bedanya, di rumah ibadah itu, ada pengelola yang pasti dan rajin mengisi air dan sabun. Jadi yang mau memakai nggak kecele,” lanjutnya.

Pengamatan koranbernas.id, wastafel portabel yang mangkrak, ternyata tidak hanya di dekat Tugu Pal Putih. Sejumlah fasilitas yang sama di sepanjang Jalan Margo Utomo, mengalami nasib yang sama. Bahkan di lokasi yang lain, bak penampungan air banyak yang ditempel kertas bertuliskan “Air Habis” oleh warga yang beraktivitas di sekitar lokasi.

Inisiatif ini bisa bermakna sindiran. Atau warga sudah malas setiap saat menjawab pertanyaan orang-orang yang telanjur bersemangat ingin mencuci tangan, tapi kenyataannya tidak setetes pun air mengalir di wastafel tersebut.

Hal yang sama juga dtemui di sepanjang Jalan Malioboro atau sekarang disebut Jalan Marga Mulya. Sebagai jantung kota sekaligus magnet bagi pelancong, Malioboro juga tidak luput dari persoalan tidak berfungsinya wastafel portabel. Deretan wastafel yang dibangun setiap 20 meter di sisi timur jalan, sebagian besar juga tidak berfungsi. Dari empat yang dicoba oleh jurnalis koranbernas.id, hanya satu yang masih berisi air. Itu pun alirannya kecil dan tidak memadai untuk sarana membersihkan tangan.


Seorang pengunjung Malioboro mengurungkan niatnya untuk mencuci tangan karena tulisan "Air Habis" yang ditempel pada penampung air berukuran besar. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)

Merata

Bukan hanya di Yogyakarta, fenomena yang sama juga terlihat di berbagai daerah di DIY maupun Jawa Tengah. Di Salatiga, wastafel atau tempat mencuci tangan di ruang publik atau tempat umum, juga bernasib malang.

Tempat cuci tangan bantuan dari Korpri setempat yang dipasang di pinggir jalan depan Ramayana Mall Jalan Sudirman Tamansari Salatiga, justru sudah lama tidak berfungsi dan kondisinya memprihatinkan.

Padahal fasilitas tersebut sangat representatif karena bisa menampung air dalam jumlah banyak. Sayangnya fasilitas yang terletak di dekat rumah dinas walikota dan depan pos polisi Tamansari itu dibiarkan tidak terawat.

Lebih miris terlihat di Purworejo. Di Pasar Baledono, sebagian besar wastafel tidak bisa digunakan lagi dengan berbagai macam sebab. Kepala Pasar Baledono, Amat Jawari, mengatakan sejumlah wastafel tidak terurus lagi lantaran pihak PDAM menghentikan suplai air ke sana. Suplai dihentikan, saat pemerintah menetapkan kebijakan tatanan baru atau New Normal.

“Awal terpasang, tandon air untuk mencuci tangan pengunjung pasar selalu dialiri air dari PDAM dua hari sekali. Saya menanyakan ke Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah dan Perdagangan (KUMKP) terkait berhentinya pasokan air dari PDAM. Pihak dinas hanya menjawab memang sudah berhenti dalam masa New Normal,” jelas Amat.

Persoalan pasokan air ini, diperparah dengan kebiasan warga pasar yang kurang bijak dalam menggunakan fasilitas. Air wastafel yang mestinya disiapkan untuk mencuci tangan, sebagian juga dimanfaatkan untuk mencuci perabot milik pedagang. Alhasil, air yang sudah diisikan ke bak penampungan, menjadi semakin cepat habis.

“Kalau tandon besar diisi penuh bisa digunakan untuk cuci tangan pakai sabun (CTPS) selama lima hari. Namun karena untuk aktivitas mencuci, maka air dalam sehari sudah habis,” jelasnya.

Karena hal tersebut, petugas menjadi enggan mengisi tandon air khususnya yang berada di depan pasar. Sementara guna mengisi tandon air di pojok pasar, harus menggunakan selang sekitar 25 meter diambil dari kamar mandi. Untuk pengisian tandon air di bagian tengah pasar, harus menarik selang sekitar 100 meter.

“Saya hanya bisa menganjurkan pemilik toko di kawasan pasar Baledono untuk menyediakan sarana CTPS secara mandiri. Dan saya akan berusaha secara rutin mengisi penampungan air agar tetap bisa untuk cuci tangan,” tandas Ahmat.

Eko, tukang parkir yang berada di sekitar tandon air di depan pasar sebelah utara menuturkan, pengisian tandon biasanya ia lakukan bergantian dengan satpam. “Kami bergantian mengisi tandon air, siapa yang senggang. Hari ini saya lagi sibuk sehingga belum sempat mengisi tandon air. Nanti jika sudah senggang akan saya isi lagi,” papar Eko.


Fasilitas tempat cuci tangan umum di Pasar Argosari Wonosari seakan-akan hanya pajangan semata. (sutaryono/koranbernas.id)

Mirip pajangan

Di Gunungkidul, terlihat kondisi sebaliknya. Kendati tersedia di berbagai ruang publik, baik di pusat perbelanjaan ataupun di pasar tradisional, tempat-tempat mencuci tangan lengkap dengan sabun, lebih mirip sebagai pajangan ketimbang menjadi bagian dari sarana membersihkan dan menjaga kesehatan diri.

Bahkan, di Gunungkidul santer guyonan bernada meremehkan pentingnya mencuci tangan. Guyonan seperti wisuh terus. Gek kapan mangane (cuci tangan terus, kapan makannya-red)  seakan menjadi cerminan betapa masyarakat cenderung abai dengan pentingnya mencuci  tangan.

“Dari rumah saya sudah mandi bersih. Tetapi baru beberapa langkah ke warung, sebelum masuk diminta cuci tangan. Ketika pindah toko lain, cuci tangan masih harus dilakukan lagi. Masak belum ada 20 menit sudah cuci tangan tiga kali. Bosan,” kata Ny Lestari, salah satu warga Wonosari ketika ditemui di depan sebuah toko di Jalan Brigjen Katamso Wonosari, Minggu (26/7/2020).

Hal yang sama juga dikatakan Ny Wastini warga Kalurahan Ngawu Kapanewon Playen, ketika dipergoki koranbernas.id dia tidak melakukan cuci tangan ketika akan masuk belanja di Pasar Playen. Meskipun pihak pengelola pasar sudah menyediakan tempat cuci tangan, namun fasilitas ini seakan hanya hiasan semata.

“Wah tergesa-gesa ini. Tadi sudah mandi kok dari rumah. Pasti bersih,” kilahnya.

Masih penasaran, jurnalis koranbernas.id sengaja menunggu sekitar 10 menit di dekat fasilitas cuci tangan di Pasar Playen. Nyatanya, selama waktu itu pula tidak ada satu pun pengunjung pasar yang menggunakan fasilitas cuci tangan. Padahal selama waktu puluhan warga yang keluar masuk pasar.

“Waktu pertama kali dipasang, beberapa  bulan lalu, banyak yang menggunakan. Karena ada petugas yang sering mengingatkan. Tetapi sekarang hanya sebagian kecil yang memanfaatkan. Semuanya tergantung kesadaran masing-masing warga,” kata salah satu petugas parkir Pasar Playen yang menempati areal sekitar penempatan fasilitas cuci tangan itu.

Anggaran Besar

Masih belum optimalnya pemanfaatan wastafel di ruang-ruang publik, baik karena rendahnya kesadaran masyarakat atau kurang terawatnya sarana, patut menjadi evaluasi bersama. Terlebih, pengadaan sarana wastafel di ruang publik ini, telah menelan biaya yang tidak murah.

Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Kadarmanta Baskara Aji, mengungkapkan pengadaan fasilitas cuci tangan tersebut masuk dalam refocusing anggaran yang digulirkan Pemda DIY sekitar Rp 600 miliar. Anggaran ini difokuskan untuk sektor kesehatan, Bantuan Langsung Tunai (BLT) serta pemulihan ekonomi DIY. “Sejak digulirkan, penyerapan anggaran sekitar 330,7 miliar,” jelasnya.

Aji menyebutkan, kabupaten/kota harus memastikan ketersediaan fasilitas cuci tangan dan kepatuhan protokol kesehatan di setiap instansi maupun ruang publik. Masing-masing wilayah pun ada penanggungjawab sehingga harus menjaga fasilitas yang dimiliki.

Apalagi ada berita acara yang harus ditandatangani dalam pengelolaan fasilitas cuci tangan. Karenanya bila terjadi kerusakan maka sudah semestinya melakukan perbaikan.

“Kalau misal ada yang rusak dan tidak diperbaiki maka ada sanksi teguran dan bisa dilaporkan. Belum lagi kalau kita bicara fasilitas yang disiapkan pihak swasta. Kita harus bisa saling menghargai itikad baik pihak lain,” tandasnya.

Pemda DIY berharap semua pihak mematuhi protokol kesehatan di masa pandemi, termasuk memanfaatkan dan menjaga fasilitas cuci tangan yang tersedia di berbagai titik. Apalagi status tanggap darurat Covid-19 masih belum dicabut hingga saat ini.

Karenanya DIY tidak boleh lengah dengan semakin banyaknya kasus positif Covid-19. Salah satunya dengan tetap meneruskan kebijakan status tanggap darurat selama satu bulan kedepan. “Ini sebagai bentuk kehati-hatian karena ini belum sampai ke puncaknya,” tambahnya.

Pemda DIY maupun pemerintah kabupaten/kota, menyediakan fasilitas cuci tangan pada berbagai titik yang dapat digunakan masyarakat. Menggandeng berbagai stakeholder seperti BUMN maupun swasta, fasilitas tersebut dipasang di titik-titik kerumunan manusia.

Untuk menjamin keberlangsungan fasilitas tersebut, dilakukan pemantauan dan pengawasan sesuai dengan pengelolanya. Pemda menyerahkan tanggung jawab pengelolaan fasilitas tersebut ke masing-masing kabupaten/kota melalui koordinasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

Dinas Pariwisata DIY, misalnya, sejak kebijakan protokol kesehatan digulirkan pemerintah, sekitar 400 sampai 500 fasilitas cuci tangan atau wastafel disediakan melalui Dana Belanja Tak Terduga (BTT). Fasilitas tersebut dipasang di berbagai destinasi wisata di lima kabupaten/kota untuk melengkapi fasilitas yang dipasang secara mandiri oleh pengelola wisata.

“Untuk pertama kali sekitar 250 wastafel, sekarang ini sudah sekitar 400-500 wastafel diberikan ke destinasi wisata,” ungkap Kepala Dinas Pariwisata (dinpar) DIY, Singgih Rahardjo kepada koranbernas.id di Kantor Dinas Pariwisata DIY, Senin (27/7/2020).

Selain fasilitas cuci tangan, Dinpar juga menyediakan bantuan fasilitas peralatan dan perlengkapan higinitas dan sanitasi. Begitu juga media informasi tetnang protokol kesehatan seperti standing poster, spanduk dan stiker yang sudah dipasang di 35 destinasi wisata kabupaten/kota.

Fasilitas ini sudah diberikan pada 35 destinasi wisata di DIY sejak Juni 2020. Di antaranya Pantai Baron, Pantai Kukup, Nglangeran dan Goa Kalisuci, Pantai Watugupit dan Sri Gethuk di Gunungkidul.

Di Bantul, fasilitas diberikan ke pengelola Puncak Becici, Bukit Pengger, Pinus Sari, Seribu Batu, Pantai Parangtritis, Alas Literasi dan Puncak Sosok. Di Sleman, fasilitas disediakan di Tebing Breksi. Sedangkan di Kulonprogo di Goa Kiskendo dan Puncak Suroloyo.

“Untuk kota Jogja, fasilitas diberikan ke empat destinasi wisata strategis seperti Pagelaran Keraton, pintu masuk Kamandungan Lor atau Plataran Keben, Taman Sari dan Museum Kereta di Keraton yang sudah dibuka secara terbatas mulai 8 Juli 2020,” ungkapnya.

Singgih menyebutkan, berbagai fasilitas termasuk wastafel di destinasi-destinasi wisata tersebut harus dipastikan ketersediaan air dan pemeliharannya. Bila airnya tidak mengalir atau terjadi kerusakan maka pengelola harus segera memperbaikinya.

Hal ini penting karena kebutuhan akan fasilitas cuci tangan sangat penting di masa pandemi ini, sehingga pengelola wisata harus melakukan perawatan dan menjamin fungsinya secara baik.

“Kami belum ada laporan kerusakan fasilitas kesehatan di destinasi wisata yang diberikan bantuan karena mereka memang harus bertanggungjawab agar mendapatkan izin untuk membuka kawasan wisata,” tandasnya.

Libatkan Masyarakat

Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana mengakui, pembangunan wastafel dan fasilitas kebersihan lainnya terkait dengan pandemi Covid-19, mestinya tidak hanya dibangun oleh pemerintah. Melainkan harus ada keterlibatan masyarakat. Dengan cara seperti itu fungsi utama wastafel sebagai cuci tangan tetap langgeng sekali pun pandemi sudah dinyatakan berlalu.

Hanya saja, dia melihat partisipasi masyarakat untuk merawat fasilitas umum sepertinya masih kurang.  â€œSaya lihat keterlibatan masyarakat masih kurang,” ujarnya Sabtu (25/7/2020).

Menurut Huda, apabila pemerintah sekadar membangun fasilitas, begitu terjadi kerusakan mungkin akan butuh duit banyak untuk memperbaikinya.

“Menurut saya, membangun fasilitas umum seperti itu jangan sekadar oleh pemerintah tetapi harus melibatkan komunitas yang akan kita bantu,” kata dia.

Dia mencontohkan, hal yang biasa yang terjadi di lingkungan pemerintahan. Misalnya saja pembangunan jalan desa. Setelah jalan itu rusak  warga desa sebagai pemakai jalan menyatakan tugas pemerintah yang memperbaiki, padahal biayanya tidak sedikit.

Contoh lain, program sumur pompa air di desa-desa  Dia melihat  di mana-mana pompa sumur yang dibangun pemerintah rusak tidak ada yang memperbaiki. Jika saja sumur itu dibangun dengan swadaya masyarakat dan pemerintah memberikan stimulan, maka saat terjadi kerusakan mungkin yang memperbaiki masyarakat itu sendiri.

Misalnya, ada program pemerintah senilai Rp 500 juta. Masyarakat menambah kekurangannya sebesar Rp 40 juta atau Rp 100 juta. Pasti mereka akan merasa memiliki program tersebut. “Kalau fasilitas itu rusak, masyarakat akan memperbaiki sendiri,” ujarnya.

Begitu pula wastafel. Menurut Huda, kalau misalnya anggaran  pembuatan wastafel Rp 2 juta disediakan oleh pemerintah, pasti nanti jika terjadi kerusakan tidak ada yang merawat.

Berbeda misalnya jika pemerintah membantu membuat wastafel melalui metode kerja sama, hasilnya akan berbeda. Kelompok-kelompok masyarakat itu diberikan dana stimulan maupun insentif, kemudian mereka yang membangunnya sendiri.

“Saya kira kalau rusak maka masyarakat akan swadaya memperbaiki. Menurut saya metode pelibatan dan partisipatif ini akan membuat program menjadi lebih murah dan pemeliharaan lebih terjaga,” kata dia.

Huda menilai, keberadaan wastafel sangat berdampak positif untuk mendukung protokol kesehatan. Baginya, protokol kesehatan sangat baik untuk kesehatan masyarakat.

Artinya meski pandemi berlalu semua protokol kesehatan tidak lantas hilang melainkan harus tetap berjalan karena berdampak positif menurunkan angka kesakitan masyarakat.

“Wastafel, masker, tetap saja kita pertahankan agar masyarakat lebih sehat. Caranya mempertahankan yang paling mudah tetap dengan pelibatan dan partisipasi masyarakat. Jangan top down,” tandasnya.

Dia sepakat, budaya hidup bersih tidak bisa dibangkitkan secara top down tetapi dengan cara melibatkan partisipasi masyarakat. Program kampung bersih tidak begitu saja pemerintah memberikan dana tapi bisa dibuat acara dan apabila kampung mereka bersih akan mendapat penghargaan.

“Jadi intinya adalah budaya kesehatan dan budaya kebersihan itu partisipatif masyarakat sehingga di dalam masyarakat akan saling bekerja,” katanya.

Dia prihatin jika ada wastafel tidak terisi air alias tidak berfungsi lagi. “Ya begitu itu kalau yang membangun pemerintah maka tugas yang mengisi air pemerintah? Kalau kemudian yang membangun masyarakat maka giliran mengisi air ya mereka dong. Nggak mungkin pemerintah mengisi air tiap hari. Gimana caranya?. Wastel dibangun sampai pelosok kecil-kecil, petugas dari pemerintah sedikit,” kata dia.

Menurut Huda, semua itu tergantung metodenya. “Ketika kita menggulirkan anggaran untuk program dengan metode yang keliru akibatnya program ini tidak berjalan baik, program akan mahal. Dengan metode partisipasif maka program ini akan murah dan langgeng,” kata Huda.

Sanksi sosial

Selain sejak awal perlu melibatkan pengguna atau masyarakat, penerapan sanksi juga dinilai perlu dilakukan. Dosen Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakutas Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Suryanto SKM M Sc mengatakan, penegakan regulasi atau peraturan, harus tegas dilakukan petugas pemerintahan, agar masyarakat sadar pentingnya hidup bersih dan sehat.

Pemberian sanksi sosial seperti membersihkan sampah di tempat umum, push up maupun denda sejumlah uang sertta karantina bagi yang tidak memakai masker, harus terus dilakukan.

Suryanto mengamati, di Purwokerto maupun di Purbalingga, wastafel sudah mencukupi di tempat-tempat umum, seperti pasar, mal, pertokoan dan kantor-kantor pelayanan publik. Namun kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan sarana itu masih kurang.

“Upaya edukasi untuk memanfaatkan sarana itu dan edukasi penerapan protokol kesehatan, harus terus dilakukan. Sampai kesadaran masyarakat tumbuh akan pentingnya menerapkan protokol kesehatan,” ujar alumnus Pascasarjana Hukum Kesehatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Menurut Suryanto, upaya yang perlu dilakukan ke masyarakat dapat dengan edukasi secara langsung oleh petugas, dan secara tidak langsung dengan media promosi kesehatan, seperti leaflet, spanduk, banner dan spot iklan di media cetak seperti koran, tabloid, majalah dan media elektronik seperti radio dan televisi.

Suryanto menyarankan kepada petugas maupun pihak-pihak terkait, untuk selalu mengontrol keberadaan wastafel. “Perlu dikontrol secara rutin oleh petugas supaya ketersediaan sabun selalu ada, air mengalir dengan lancar, dan kran tidak rusak, sehingga wastafel tetap dapat berfungsi dengan baik,” sarannya.

Kearifan Lokal

Kendati secara umum masih butuh kerja keras, ada upaya yang patut dicontoh dari sejumlah pengelola pasar di Yogyakarta. Di Pasar Beringharjo-pasar tradisional terbesar di Yogyakarta ini semua fasilitas cuci tangan di setiap penjuru pintu masuk beroperasi dengan baik.

Bahkan oknum yang suka menghilangkan sabun pun tidak diambil pusing oleh para pedagang pasar. Mereka yang kebetulan memiliki kios berdekatan dengan fasilitas umum tersebut bergantian menyediakan sabun cuci tangan jika sabun tersebut hilang.

Sri Purbani, salah seorang karyawan Ning Batik Yogyakarta menceritakan, sebenarnya Lurah Pasar juga menyediakan sabun yang setiap hari bisa diambil di kantornya untuk mengisi ulang sabun cuci tangan jika habis atau hilang. Namun beberapa kios memilih membeli sendiri sabun tersebut.

“Pertimbangan lebih simpel dan karena sadar akan kebutuhan saling menjaga kesehatan bersama membuat kami merasa tidak keberatan menyediakan sendiri jika sabun itu habis atau hilang. Bedanya kami biasa membeli sabun batangan, tidak seperti Lurah Pasar yang menyediakan sabun cair,” tuturnya kepada koranbernas.id, Selasa (28/7/2020).

Perempuan lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa ini juga mengaku fasilitas umum dan tanggung jawab melaksanakan protokol Covid-19 di tempatnya bekerja cukup baik. Selain fasum cuci tangan yang tak pernah kekeringan, pemeriksaan suhu tubuh pun tak hanya dilakukan di pintu masuk pasar, petugas kesehatan juga rutin berkeliling melakukan cek suhu kepada pedagang yang membutuhkan.

“Rata-rata pedagang sudah menggunakan masker sesuai protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. Selain itu masing-masing penjual, setidaknya di Los 18 Selatan pasar Beringharjo menyediakan hand sanitizer secara mandiri. Bisanya yang menyediakan hand sanitizer, nggak mungkin tempat cuci tangan, karena rancang awal toko yang tidak memungkinkan untuk menyediakan saluran air,” jelasnya.

Hal yang kurang lebih sama, terjadi di Pasar Stan Maguwoharjo Sleman. Tanggap betapa pentingnya mengikuti protokol kesehatan yang salah satunya mencuci tangan dengan sabun, pengelola Pasar Stan atau Pasar Desa Maguwoharjo Depok Sleman langsung menerapkan protokol kesehatan bagi pedagang maupun pengunjung.

Lurah Pasar Stan, Kasidi, mengatakan meskipun hanya pasar desa, aktivitas di pasar tersebut berjalan 24 jam. Pengawasan aktivitas pasar tetap dilakukan sesuai protokol kesehatan Covid-19.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow