Sepuluh Kampus Jalin Kerja Sama dengan IAI DIY

Sepuluh Kampus Jalin Kerja Sama dengan IAI DIY

KORANBERNAS.ID, SLEMAN – Sepuluh kampus yang memiliki program studi arsitektur, Kamis (16/1/2020), menjalin kerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) DIY.

Penandatanganan dilaksanakan di Kampus UII Jalan Kaliurang, usai pengambilan sumpah profesi arsitek tahun 2020. Kerja sama ini berlaku tiga tahun ke depan.

Insyallah bisa sustain. Pembukaan Pendidikan Profesi Arsitek (PPAr) baru sudah menetas, UGM sudah terakreditasi B, ini saya kira contoh yang positif. UKDW sudah jalan, UAJY sudah, segera yang lain bergerak di level itu,” ungkap Ahmad Saifudin Mutaqi, Ketua IAI DIY.

Adapun sepuluh universitas itu adalah UGM, UII, UKDW, UAJY, UTY, Universitas Widya Mataram, Sekolah Tinggi Arsitektur YKPN, Unisa,  Amikom dan UPY. Dari kerja sama itu pula terbentuklah Forum Komunikasi Pendidikan Arsitektur Istimewa Jogjakarta atau sering disebut Forkom Paijo.

Iwan Pandria selaku Wakil Sekretaris IAI DIY menyampaikan lingkup kerja sama antara lain meliputi bidang penelitian dan pengabdian serta penguatan kegiatan kemahasiswaan.

Keberadaan forum tersebut memperoleh respons positif Sekretaris IAI Nasional, Deni Setiawan. “Forum komunikasi seperti ini di Jakarta belum ada. Idealnya setiap provinsi punya forum,” kata dia.

Ahmad Saifudin Mutaqi. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Kepada wartawan Ahmad Saifudin Mutaqi menyampaikan IAI DIY berkewajiban memberikan dukungan terhadap jalannya Pendidikan Profesi Arsitek.

Bentuknya mulai dari penyediaan arsitek kepala yang dibutuhkan dalam rangka pembelajaran studio profesional maupun penekanan pada praktik mahasiswa dalam proyek nyata yang benar-benar dikelola para arsitek kepala.

“Kita juga menyediakan akses untuk menyelenggarakan penataran kode etik profesi, strata 1 dan 2. Ini semua merupakan persyaratan pokok menjadi angota IAI. Ketika mereka lulus secara otomatis mereka dapat tiga hal karena mereka sudah melaksanakan uji kompetensi yang dilaksanakan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) DIY,” paparnya.

Dia mengakui, arsitek yang bersertifikat di Indonesia baru 8 persen. Jumlah tersebut terlalu kecil mengingat di depan mata sudah tersedia pembangunan mercu suar ibukota negara baru yang diawali dari proses sayembara.

“Dari DIY ada beberapa tim yang ikut terlibat sayembara itu, meski mungkin tidak menjadi lima besar tapi paling tidak ada kolega kami yang direkrut oleh Jakarta untuk jadi tim ahli antara lain Jatmika Adisuryabrata dosen UGM yang anggota IAI DIY,” kata dia.

Menurut Ahmad, persiapan pembangunan ibukota baru memang masih cukup lama tapi tidak berarti instan. Persoalannya muncul ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah terbuka maka para arsitek dari luar masuk. Apabila Indonesia tidak siap dengan keahlian itu bisa jadi mereka yang dari luar ambil bagian. (sol)