Serikat Pekerja Rokok Tegas Menolak Revisi PP No 109 Tahun 2012

Serikat Pekerja Rokok Tegas Menolak Revisi PP No 109 Tahun 2012

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, dinilai tidak tepat.

Pimpinan Daerah Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PD FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara tegas menolak rencana tersebut.

“Ini bisa menjadi masalah serius apalagi situasi ekonomi tidak kunjung pulih seperti sedia kala. Rencana pemerintah membahas revisi PP No 109 Tahun 2012 justru akan memperparah situasi pandemi,” ungkap Waljid Budi Lestarianto, Ketua PD FSP RTMM-SPSI DIY, melalui siaran pers, Senin (28/6/2021).

Waljid merasa ada hal-hal yang kurang transparan. Ini terlihat dari tidak diikutsertakannya pihak-pihak yang berkompenten. Stakeholder Industri Hasil Tembakau (IHT) termasuk pekerja atau buruh tidak akan pernah dilibatkan dalam pembahasan maupun diskusi-diskusi terkait rencana revisi PP itu.

Padahal, lanjut dia, BPOM sebagai salah satu aktor penting revisi kebijakan tersebut mengakui pentingnya keterlibatan stakeholder sektor IHT di dalam proses revisi kebijakan tersebut.

“Lagi-lagi Kementerian Kesehatan tetap berargumen stakeholder Industri Hasil Tembakau termasuk pekerja/buruhnya tidak boleh dilibatkan hingga fase akhir revisi bahkan hingga tahap sosialisasi,” ungkapnya.

Stakeholder Industri hasil tembakau baru akan diberi informasi mengenai perubahan regulasi tersebut pada saat rancangan akhir revisi tersebut telah disusun.

Dia berpendapat, tidak dilibatkannya stakeholder industri hasil  tembakau ini merupakan keinginan pemerintah untuk kepentingan penyederhanaan proses perumusan revisi PP 109/2012 tersebut.

Sebagaimana informasi yang disampaikan perwakilan BPOM, lanjut dia, proses perumusan revisi PP itu akan disampaikan kepada stakeholder terkait  hanya pada saat finalisasi revisi  PP 109/2012 saja.

Stakeholder IHT tidak akan pernah dilibatkan dalam proses revisi sejak awal, terutama pada saat pertemuan-pertemuan yang bersifat intensif. Pertemuan-pertemuan perumusan kebijakan tersebut hanya terbatas dilakukan untuk kepentingan stakeholder dari pihak pemerintah saja.

“Kita bisa saksikan sendiri ada rencana pembahasan di mana kita semua dalam situasi yang sulit saat ini Termasuk pabrik di mana tempat kita bekerja,” ucapnya.

Dalam pernyataan sikapnya, PD FSP RTMM-SPSI mengakui Industri Hasil Tembakau di Indonesia harus menghadapi tantangan berat. Di dalam rancangan revisi PP tersebut, IHT harus meningkatkan luasan peringatan kesehatan berbentuk gambar yang awalnya sebesar 40 persen menjadi 90 persen.

Seperti diketahui, di bidang fiskal restriksi itu tampak pada penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau dan peningkatan tarif cukai. Kebijakan ini diprediksi menurunkan pangsa pasar tembakau hingga 15 persen.

Waljid menyatakan saat pandemi Covid-19 meluas di Indonesia produksi IHT secara umum menurun karena beberapa produsen rokok menerapkan strategi physical distancing dengan cara mengurangi jumlah pekerja yang hadir di pabrik.

Dicontohkan, salah satu pabrik rokok besar di Surabaya bahkan harus menutup pabriknya setelah puluhan pekerja terdiagnosis tertular virus ini.

Dampak Covid-19 terhadap produksi IHT tentu saja juga berimbas pada tenaga kerja. Industri yang padat karya ini harus mengurangi jam kerja buruh di pabriknya masing-masing guna menghindari persebaran Covid-19.

“Kami pekerja/buruh sektor rokok tergabung dalam PD FSP RTMM-SPSI DIY meminta para pihak baik eksekutif maupun legislatif menunda pembahasan rancangan Peraturan Pemerintah No 109 tahun 2012, atas dasar kemanusiaan,” tandasnya. (*)