Singkong Meletus, Terinspirasi dari Letusan Merapi

Singkong Meletus, Terinspirasi dari Letusan Merapi

KORANBERNAS.ID, KLATEN – Secangkir kopi panas dan sepiring singkong goreng yang renyah-merekah, tentulah sebuah paduan kudapan istimewa. Apalagi jika dinikmati dalam cuaca dingin musim hujan.

Namun, untuk mendapatkan singkong yang mempur saat dikukus atau renyah-merekah saat digoreng, bukanlah hal mudah. Banyak orang kecewa, singkong yang dibelinya dari pasar, ternyata mogol (bantat, keras) saat dikukus atau digoreng.

Memilih singkong yang enak dikonsumsi ternyata memang bukan perkara mudah. Maka, serahkanlah pada ahlinya.

Ariyo Hantoro memang tidak mengantongi ijazah teknologi pengolahan pangan. Bapak dua anak ini justru lulusan Fakultas Peternakan jurusan Nutrisi Ternak Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, angkatan tahun 2004. Namun, untuk urusan memilih dan mengolah singkong yang enak dikonsumsi, dialah ahlinya.

Singkong Meletus. Itulah merk dagang olahan singkong hasil kreasi Ariyo Hantoro. Wujudnya berupa olahan singkong setengah matang yang sudah berbumbu dalam kondisi beku (frozen). Harganya juga tergolong ramah di kantong, Rp 12.000 untuk satu kemasan seberat 500-600 gram.

Hanya dengan mengoven atau menggoreng ulang sebentar, kita sudah mendapatkan sepiring penuh Singkong Meletus yang renyah-merekah, empuk dan gurih. Cocok untuk teman minum kopi atau teh. Juga praktis karena tak perlu repot mengolah sendiri singkong dari pasar yang hasil akhirnya lebih sering mengecewakan.

Ariyo Hantoro dengan produk Singkong Meletus. (heru cn/koranbernas.id)

Letusan Merapi

Ariyo Hantoro merintis olahan singkong sejak tahun 2006, ketika ia masih menjadi mahasiswa Fakultas Peternakan UGM. Tak ingin selalu bergantung kepada orang tuanya, Ariyo tergerak untuk mencari penghasilan. Singkong menjadi pilihan karena bahan makanan itulah yang paling familiar baginya sebagai mahasiswa dari desa.

Setiap sore ia menawarkan singkong hasil olahannya itu kepada teman-temannya di Gelanggang Mahasiswa UGM. Tak lupa ia juga membagikan brosur dagangannya itu kepada mahasiswa maupun warga yang lalu-lalang di sekitar kampus UGM.

Ariyo Hantoro menggunakan nama Singkong Meletus dengan taglineEmpuk, Pulen, Mempur & Gurih” itu karena terinspirasi dua hal. “Pertama, terinspirasi dari peristiwa letusan Merapi tahun 2006. Itu sebabnya produk Singkong Meletus berlogo dua gunung, satunya gunung Merapi yang sedang meletus,” kata Ariyo saat ditemui di rumah masa kecilnya sekaligus rumah produksi Singkong Meletus di Dusun Giripolo, Desa Mranggen, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Kedua, terinspirasi dari usaha pembakaran batu gamping yang pernah dijalankan ayahnya, Poniran Pujo Raharjo. Singkong Meletus yang merekah setelah digoreng, mengingatkan Ariyo pada batu gamping yang sudah dibakar dan kemudian disiram air.

“Masyarakat Indonesia mungkin lebih familiar dengan singkong keju yang populer di Bandung. Namun, sebenarnya saya lebih dulu memulainya di Jogja tahun 2006. Bandung baru belakangan, apalagi kemudian menjadi terkenal setelah dipublikasikan oleh Pak Bondan Winarno,” kata Ariyo.

Proses produksi di rumah Ariyo Hantoro. (heru cn/koranbernas.id)

Bahan baku

Meski merasa belum maksimal, Ariyo Hantoro kini telah menikmati usaha yang dirintisnya sejak mahasiswa itu. Ia kini telah memiliki 7 outlet yang tersebar di sejumlah lokasi di Klaten. “Target saya, tahun ini harus punya outlet di setiap kecamatan di Klaten,” katanya.

Masyarakat juga bisa menikmati Singkong Meletus matang di outlet-outlet tersebut, lengkap dengan variasi toping-nya. Outlet juga melayani penjualan produk Singkong Meletus dalam kondisi frozen untuk dibawa pulang. Bahkan, ketujuh outlet itu juga melayani pembelian pesan-antar (delivery order) maupun pembelian melalui jasa ojek online (gofood dan grabfood).

Dibantu 8 orang ibu-ibu lansia di bagian produksi, Ariyo Hantoro kini telah meraup omzet kotor Rp 90 juta per bulan. Tangan-tangan cekatan ibu-ibu lansia itu siap meracik sejumlah variasi produk hasil kreasi Ariyo Hantoro, mulai dari singkong frozen, gethuk, gemblong, kroket, timus, stik tela-tela, combro hingga manggleng atau balung kethek. Harga per kemasan dipathok Rp 12.000, selain stik tela-tela (Rp 6.000) dan Manggleng (Rp 5.000).

Menurut Ariyo Hantoro, kunci kualitas produk Singkong Meletus terletak pada pemilihan bahan baku. “Saya menggunakan singkong jenis Cemani yang harus dipanen pada umur sembilan bulan,” katanya.

Singkong jenis Cemani dipilih karena mempur dan pulen. Syaratnya, harus dipanen saat berumur sembilan bulan. Jika dipanen kurang atau lebih dari sembilan bulan, menurut Ariyo, kualitasnya tidak bagus. Selain itu, singkong Cemani harus diolah paling lama 12 jam setelah dicabut dari ladang.

Menurut Ariyo, tidak mudah untuk mendapat bahan baku singkong jenis Cemani, apalagi harus dipanen pada umur sembilan bulan. Itu sebabnya, Poniran Pujo Raharjo (ayah kadungnya) rajin berkeliling ke sejumlah tempat demi mendapatkan bahan baku yang dikehendaki. Meski telah berumur lebih dari 70 tahun, Poniran masih gesit membawa mobil pick up keliling daerah untuk mengangkut bahan baku singkon Cemani.

“Tidak banyak petani yang mau menanam singkong Cemani karena produktivitasnya tidak tinggi, sekitar 5 samai 10 kilogram per pohon saat dipanen umur 9 bulan. Petani lebih suka menanam singkong kuning atau singkong jenis oyeng yang produktivitasnya lebih tinggi, sekitar 20 sampai 25 kilogram per pohon saat panen,” papar Ariyo.

Produk Singkong Meletus asli Klaten Jateng. (istimewa)

Maka, untuk menjamin stok bahan baku singkong Cemani, Ariyo merasa perlu menanam sendiri dengan sistem sewa tanah. Itu sebabnya, di kebun belakang rumahnya yang luas itu Ariyo memelihara puluhan ekor kambing. “Jika butuh dana untuk sewa lahan, tinggal menjual dua atau tiga ekor kambing,” kata Ariyo.

Keberadaan puluhan ekor kambing di kebun belakang rumahnya itu bukan tanpa perhitungan matang. Selain memanfaatkan ilmu yang diperoleh dari bangku kuliah, kambing-kambing itu juga menjadi bagian dari mata rantai usahanya. Pakan dan nutrisinya tercukupi dari daun singkong saat panen, rumput saat menyiangi lahan, kulit singkong setelah dikupas serta air cucian singkong menjadi komboran yang bergizi bagi kambing-kambing itu. Nyaris tak ada yang terbuang. Lalu, kotoran kambing bisa menjadi pupuk yang sangat baik untuk lahan singkong yang disewanya.

Meski telah sukses dengan olahan singkong, Ariyo masih ingin terus berkreasi. Saat ini ia sedang tekun mencoba-coba resep paling pas untuk dua jenis produk baru yang sedang dirintisnya yakni Pisang Pasir dan Sambel Krikil. Pisang Pasir adalah pisang goreng tepung berbahan baku pisang kepok kuning. Kemudian, Sambel Krikil adalah sambal botol dengan bahan baku pete. “Kebetulan, pisang kepok dan pete itu sangat berlimpah di desa saya ini,” kata Ariyo.

Suami dari seorang perawat di rumah sakit RSUP Dr Suraji Tirtonegoro Klaten ini memang tak mau berhenti berkreasi. Ia bahkan tak pernah terpikir untuk mendapat uluran bantuan dari pemerintah daerah setempat. “Perhatian pemerintah daerah tidak harus berupa pemberian modal. Saya hanya ingin agar Singkong Meletus ini jadi branding daerah Klaten. Itu saja,” kata Ariyo. (sol)