Sisi Tersembunyi Tari Dolalak, Bukan Adopsi dari Belanda Bukan Sekadar Do La La

Sisi Tersembunyi Tari Dolalak, Bukan Adopsi dari Belanda Bukan Sekadar Do La La

KORANBERNAS.ID, PURWOREJO -- Tari Dolalak yang merupakan tarian khas Kabupaten Purworejo Jawa Tengah ternyata bukan merupakan tarian hasil adopsi dari tarian tentara Belanda kala itu. Ada filosofi warisan leluhur yang terkandung di dalam tarian tersebut, sisi tersembunyi yang terlewatkan saat ini.

Bahkan ada yang mengatakan kata Dolalak berasal dari not lagu Do dan La la kemudian tercipta kata Dolalak. Tari Dolalak sendiri  berawal dari Tari Angguk atau Tari Jidor merupakan warisan para sepuh (leluhur).

Seperti disampaikan penari Dolalak grup Jati Kusuma, Kutoarjo, Azhadiyanti, dirinya 25 tahun silam adalah penari Dolalak, mendapat ilmu tarian tersebut dari simbah-nya.

Menurutnya pada setiap gerak, lirik lagu dan simbol pada kostum Dolalak memiliki makna tersendiri. Termasuk pakaian Dolalak hitam memiliki makna sebagai manusia sejati.

Yanti, sapaan akrabnya Azhadiyanti, berpendapat Tari Dolalak yang pada awalnya Tari Angguk merupakan syiar Agama Islam. Pada lirik lagu juga penuh pesan-pesan religius untuk umat.

Pada saat itu (penjajahan Belanda), bangsa pribumi ditekan dari berbagai sisi. Tidak mudah saat itu berkesenian, karena Belanda akan berusaha 'membunuhnya'.

Jadilah para sepuh menyimpan sesuatu yang menggetarkan jiwa, yang muncul dari lubuk hati paling dalam ke bentuk sastra.

"Kenapa para sepuh menyimpan sesuatu (pesan moral yang terkandung dalam Tari Dolalak) dalam sastra, itu yang harus kita pahami," ujar penari Dolalak grup Jati Kusuma Kutoarjo itu.

Menurutnya, pada masa itu, Belanda tidak menghendaki karya sastra berkembang di Indonesia.

Yanti  menambahkan saat dirinya ndherek (ikut) simbah di Desa Katerban Kecamatan Kutoarjo yang memiliki grup kesenian angguk atau Dolalak, turut andil di dalamnya. Dia menjadi penari sekaligus mempelajari seluk beluk Tari Angguk sekarang bernama Dolalak.

Bahkan Yanti mendapatkan warisan kitab pedoman sejati Dolalak baik dari sisi gerak, lirik, ornamen dan warna baju seragam.

Azhadiyanti pada 25 tahun yang lalu sebagai pelaku seni dari Desa Katerban Kecamatan Kutoarjo Kabupaten Purworejo, berusaha menelaah makna yang tersirat dari Tari Dolalak.

"Saya memiliki  pengalaman pribadi dalam berkesenian Dolalak, yang telah saya lengkapi dengan pendapat  narasumber sebagai pelengkap referensi. Jujur saya mengalami keresahan dengan yang saya alami dahulu dan sekarang dalam kesenian Dolalak," ungkap Yanti.

Menurutnya ada sisi yang hilang dari Tari Dolalak yang saat ini berkembang di masyarakat. "Tari Dolalak sejatinya tidak hanya berurusan dengan tampilan saja, tetapi juga isi. Seharusnya bisa menjawab, pesan leluhur tentang apa yang kami tampilkan dalam Tari Dolalak,” sebutnya.

Yanti berujar Tari Dolalak dilatarbelakangi budaya dan konsep budi pekerti. Namun sayangnya, Dolalak saat ini 'sibuk' dengan tampilan fisik dan sibuk dengan kreativitas.

"Generasi sekarang tidak melihat pesan para sepuh,  tentang produk itu (Tari Dolalak), sekarang Tari Dolalak luwes yang berbau materi. Padahal pesan para sepuh agar kita bisa hidup dan bisa mengikuti keras dan lembutnya kehidupan," terang Yanti.

Dirinya juga melihat saat ini terjadi penerapan filosofi tari dolalak tidak terpikirkan.

Azhadiyanti juga mengungkapkan sesuatu yang menarik dengan mengangkat tafsir Dolalak dari tradisi Sufisme Nusantara yang bergerak dari barat ke timur dan salah satunya sampai di satu wilayah yang namanya Panjer (sekarang Kebumen), yaitu wilayah penting sejak masa kasultanan Sultan Agung yang menyerang Batavia.

Selain itu, juga memberikan wawasan tentang makna atau arti gerak, musik, lagu serta baju yang dipakai dalam seni tari Dolalak.

Untuk menyingkap sisi tersembunyi dari Dolalak Yayasan Nuhantra Bakti Budaya Purworejo, Jawa Tengah, menggelar Seminar Nasional bertema mengupas sisi tersembunyi Dolalak (seni tari khas Purworejo), di Pendopo Rumah Dinas Wakil Bupati Purworejo, Kutoarjo, Sabtu (10/9/2022).

Seminar nasional yang dimoderatori oleh pengajar Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr Sudibyo, dengan tema Dolalak, Riwayat Yang Tak Terkisahkan itu menghadirkan tiga pembicara.

Mereka adalah pengajar Fakultas Ilmu Budaya UGM,  Djarot Heru, penari Dolalak grup Mawar Melati Anom, sekarang Jati Kusuma Kutoarjo, Azhadiyanti dan Budayawan Purworejo, Soekoso DM.

Selain mengupas sisi tersembunyi Dolalak, seminar juga diwarnai pameran lukisan serta aksi live painting bertema Dolalak oleh komunitas Purworejo Fine Art. Pada akhir seminar, penampilan seni tari Dolalak dari Jati Kusuma, Katerban Kutoarjo yang merupakan penerus grup Dolalak Mawar Melati Anom.

Seminar ini tidak hanya diikuti puluhan pelaku seni tari Dolalak se-Purworejo, tokoh budayawan dan pemerhati seni Purworejo, juga sejumlah tokoh pelaku seni serta pemerhati budaya dari kabupaten Kebumen, Wonosobo, serta Kulonprogo.

Seminar tak hanya diikuti secara offline namun juga secara online (zoom metting) dan live youtube yang difasilitasi Dinas Kominfostasan Purworejo.

Ketua kegiatan Seminar Nasional, Dr Sudibyo M Hum, mengatakan sesuai judul seminar kegiatan itu dilaksanakan untuk mengangkat isu yang selama ini mungkin belum pernah dibicarakan secara luas tentang Dolalak atau Angguk di Purworejo.

“Makanya kami mengambil tema Riwayat Yang Tak Terkisahkan, harapannya ingin memperkaya wacana tentang Dolalak, tentang Angguk, bahwa Dolalak dan Angguk itu ternyata tidak satu warna dan Dolalak itu ternyata sangat plural, jadi ini yang paling penting ke depan yang perlu diperhatikan kalau mau branding memang harus ada kesepakatan dulu sebenarnya, titik tolak branding itu yang mana,” ujar Sudibyo, saat ditemui usai kegiatan.

Dijelaskan, dalam seminar itu tiga pembicara menyampaikan materi maupun gagasan yang berbeda sesuai dengan bidang yang ditekuni.

Penari Dolalak Mawar Melati Anom, Kutoarjo (sekarang Jati Kusuma), kemudian Budayawan Purworejo, Soekoso DM memberikan testimoni tentang perjalanan Dolalak dari awal hingga akhir sampai modernisasi baru dalam seni Dolalak.

Menurutnya, awalnya merupakan Tari Angguk atau Jidor, namun pada tahun 2008 Tari Dolalak mendapat hak paten menjadi Kesenian Milik Kabupaten Purworejo. Jadilah tari Angguk dan tari Jidor ikut menjadi Tari Dolalak.

Adapun pengajar Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr Djarot Heru, lebih banyak fokus hasil penelitian dan lebih banyak mengamati Dolalak Kaligesing, maka banyak yang dipaparkan tentang Dolalak Kaligesing.

“Dan dari seminar itu hasilnya, perbedaan itu sebenarnya adalah sesuatu yang sangat wajar dan harus disyukuri karena menjadi padat khasanah kekayaan seni tari Dolalak,” jelasnya.

Sudibyo berharap, hal yang paling penting di dalam Dolalak itu adalah plural. Jadi justru dengan pluralitas itu yang harus dijaga karena kesenian rakyat adalah ekspresi masyarakat yang paling dasar.

“Bisa berbeda-beda tidak harus berpikir tentang bentuk homogen yang harus satu, harus begini dan begitu itu tidak, semuanya harus dihargai dan dihidupi dan itu merupakan kekayaan kebudayaan di Purworejo. Maka saya berpesan kepada para pelaku seni untuk tetap berkarya dan terus berkreasi, saya rasa itu yang paling penting, jadi kreasi baru terus harus dibangkitkan tetapi bahwa ada bentuk yang lain itu harus dihargai, perbedaan itu tidak menjadi perbedaan pendapat dan semuanya pantas untuk diberikan kesempatan pentas,” terangnya.

Kabid Kebudayaan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kabupaten Purworejo, Dyah Woro Setyaningsih, mengapresiasi diselenggarakanya seminar nasional tentang Dolalak itu.

“Ini menjadi sesuatu penyemangat bahwa ketika sudah ada keinginan dari masyarakat untuk bangkit, menjawab keresahan kita juga ketika kebudayaan yang menjadi ciri khas Purworejo, yaitu tari Dolalak ini kemudian mau kita bahas lagi, kita kembalikan lagi seperti apa. Dan luar biasanya saya baru ngerti ketika dijelaskan bahwa dalam Dolalak itu tangannya, kostumnya seperti ini. Artinya apa, itu saya juga baru ngerti, ternyata ada ruh ada sesuatu makna yang dalam, nah ini yang kemudian menjadi PR (pekerjaan rumah) kami di dinas untuk menindaklanjuti agar tahu semua apapun, kemudian kita akan rembug lagi sehingga pada saatnya nanti sesuai dengan programnya bahwa Dolalak itu menjadi branding bahwa Dolalak itu milik Purworejo,” kata Woro.

Diakui, guna melestarikan seni tari Dolalak itu, dinas telah melakukan berbagai cara dan langkah yaitu dengan melakukan pembinaan.

"Jujur saya baru tahu sekarang setiap makna dari lirik dan gerak dalam tari Dolalak, kata Dolalak semata-mata bukan berasal dari kata do dan la la. Ke depan kami akan semakin sering untuk menggelar diskusi semacam ini, untuk membuat branding turis Tari Dolalak Purworejo," sebut Woro.

Dalam kesempatan tersebut Azhadiyanti menyerahkan Repertoar Dolalak agar bisa dibentuk soft file, kepada Kabid Kebudayaan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kabupaten Purworejo, Dyah Woro Setyaningsih. (*)