Sultan HB X Ingin Aksara Jawa Bangkit Kembali dari Tidur Panjangnya

Sultan HB X Ingin Aksara Jawa Bangkit Kembali dari Tidur Panjangnya

YOGYAKARTA – Kongres Aksara Jawa (KAJ) I Yogyakarta resmi dimulai Senin (22/3/2021). Kegiatan yang berlangsung di Hotel Grand Mercure Yogyakarta hingga 26 Maret itu menjadi titik awal kebangkitan kembali aksara Jawa pada era digital.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X saat membuka kongres secara virtual bahkan menginginkan bahasa dan aksara Jawa tetap hidup karena dihidupi oleh penuturnya secara aktif sehingga mampu bangkit kembali dari tidur panjangnya.

“Semoga rekomendasi kongres mampu menggugah kebangkitan dan menjadi wahana menghidupkan Bahasa dan Aksara Jawa dalam keseharian,” kata Sultan.

Sebenarnya, tatkala Kongres Bahasa Jawa ke-3 di Yogyakarta 2001 Sultan sudah menengarai bahasa  Jawa bagaikan kerakap tumbuh di atas batu. KAJ I kali ini diharapkan mampu menaikkan minat baca-tulis aksara Jawa.

Pemda DIY sudah melakukan beragam upaya antara lain melalui Digitalisasi Aksara Jawa pada 5 Desember 2020. Sebelumnya pada 2013 dan 2014 diluncurkan Aplikasi Baca-Tulis Aksara Jawa Versi 1.0 dan Versi 2.0.

Upaya lain, setiap kantor wajib menuliskan aksara Jawa maupun penggunaan busana dan bahasa Jawa di kantor-kantor pemeritahan setiap Kemis-Paing, sekaligus menandai peringatan haul Pahlawan Nasional Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Mengutip Barbara Grimes, Sultan   menyatakan fenomena  kepunahan  bahasa daerah terjadi karena banyak faktor, di antaranya penurunan drastis jumlah penutur aktif.  Pnggunaannya semakin berkurang.

“Jika bahasa daerah  hanya  digunakan  oleh  penutur  berusia  25  tahun  ke  atas  dan  usia yang lebih muda tidak menggunakannya, jangan disesali jika 75 tahun ke depan atau tiga generasi, bahasa itu akan terancam punah,” kata Sultan. Umur satu generasi 25 tahun.

Mengutip data UNESCO, terdapat 2.500 bahasa di dunia termasuk bahasa-bahasa daerah di Indonesia terancam punah. Dari jumlah itu, lebih 570 bahasa statusnya sangat terancam punah dan lebih 230 bahasa telah punah sejak 1950.

Berdasarkan data Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI), Sultan menyebutkan, dari 718 bahasa daerah di Indonesia, 169 terancam punah karena jumlah penuturnya kurang dari 500 orang. Agar  bisa bertahan, bahasa harus digunakan minimal 10 ribu orang untuk memastikan transmisi antargenerasi.

Hingga saat ini, baru ada tujuh aksara terdaftar di Unicode antara lain aksara Jawa (Hanacaraka) dan aksara Arab Pegon yang banyak terdapat dalam manuskrip berupa Serat, Babad dan Kidung di Museum Widya Budaya Keraton Yogyakarta.

PANDI bekerja sama dengan Keraton Yogyakarta serta PBNU menemukan fakta, bahasa daerah di dunia yang bisa diakses secara online kurang dari lima persen.

Suasana Kongres Aksara Jawa I Yogyakarta. (sholikul hadi/koranbernas.id)

Sultan berharap orang tua tak perlu memaksa anak-anaknya mempelajari bahasa yang dianggap bergengsi, misalnya bahasa Inggris. Demi ketahanan bahasa daerah, siswa dianjurkan belajar bahasa etnis lain dulu sebelum mengenal bahasa asing. “Kita seharusnya mendorong penggunaan bahasa daerah agar tetap hidup, terutama di lingkungan keluarga,” kata dia.

Seperti halnya aksara Mesir kuno, hierogliph, sebenarnya aksara Jawa tidak tertinggal jauh dalam memasuki era digital, karena 26 tahun lalu telah terdaftar di Unicode.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim  secara virtual menyatakan sebagai upaya memperkaya kebudayaan Indonesia mau tak mau pelestarian aksara Jawa mutlak dilakukan.

Dia mengakui, aksara Jawa saat ini sedang bertahan susah payah di  tengah-tengah penggunaan aksara Latin. Melalui teknologi digital diharapkan aksara Jawa makin berkembang.

Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo mengaku punya keinginan berdiskusi dengan pegiat aksara Jawa sekaligus menyampaikan urun rembug demi kemajuan aksara Jawa pada era digital.

Semua pihak harus bersedia berkaca sampai sejauh mana eksistensi aksara Jawa.  “Adiluhung saja tidak cukup. Muspra, jika kebudayaan ini tidak bisa ngrembaka,” kata dia.

Ganjar berharap KAJ I Yogyakarta mampu memberi rumusan yang tepat, ibarat peta petunjuk jalan bagi pengembangan aksara Jawa. “Kami di Jawa Tengah menantikan gagasan-gagasan cemerlang panjenengan. Agar awake dhewe ora kelangan Jawa-ne,” kata Ganjar.

Menjawab kekhawatiran sekaligus tantangan tersebut, Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY Sumadi didampingi Kepala Bidang Pemeliharaan dan Pengembangan Sejarah, Bahasa, Sastra dan Permuseuman Disbud DIY Rully Andriadi serta Ketua Panitia Kongres, Setya Amrih Prasaja, menegaskan KAJ I Yogyakarta merupakan jawabannya. “Kekhawatiran itu kita jawab dengan kongres ini,” kata Sumadi.

KAJ I Yogyakarta merupakan upaya membangun fondasi untuk menguatkan wadah besar pengembangan aksara Jawa. Satu-satunya cara mempertahankan aksara Jawa adalah digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kata kuncinya, pada era digital saat ini aksara Jawa harus bisa abadi di dunia maya, setara dengan yang lain.

Pembukaan KAJ I Yogyakarta juga diisi sambutan perwakilan UNESCO, secara virtual. (*)