Tak Ingin Punya Anak Lagi, Mereka Sukarela Jalani MOW

Tak Ingin Punya Anak Lagi, Mereka Sukarela Jalani MOW

KORANBERNAS.ID --  Marsidah masih terbaring di tempat tidur. Meski terasa lemas tapi wajahnya sumringah. Dia baru beberapa saat sadar dari pengaruh obat bius.

"Sampun padhang. Wau taksih peteng. (Sudah terang. Tadi masih terasa gelap),” katanya kepada koranbernas.id sambil tersenyum.

Dia terlihat masih menahan rasa sakit dari operasi yang baru dijalaninya meski rasa perih itu sudah agak berkurang.

Hari itu, Selasa (5/11/2019), wanita berusia 35 tahun penduduk Dusun Seropan Desa Temuwuh Kecamatan Dlingo Bantul ini baru saja menjalani Medis Operatif Wanita (MOW) di Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara (RSPAU) dr S Hardjolukito Yogyakarta.

Dia tidak sendiri. Ada lima orang ibu asal Dlingo pagi itu sama-sama menjalani MOW atau tubektomi. Mereka adalah Hartini, Sri Ratnawati, Padminatun, Suyati dan Marsidah.

Mereka berlima bersama keluarga memutuskan tidak menambah anak lagi. Rata-rata masalah beban ekonomi yang menjadi alasannya.

Dengan dua, tiga atau empat anak mereka merasa berat untuk mewujudkan cita-cita membangun keluarga berkualitas.

Masa depan anak-anaknya harus lebih baik dari kehidupan orangtuanya. Anak-anak harus sekolah paling tidak lulus SMA dengan harapan bisa memiliki pekerjaan tetap, tidak serabutan seperti orangtuanya.

Meniru ibunya

Marsidah, wanita lulusan Kejar Paket A itu mantap menjalani tubektomi. Selain mendapat motivasi dari kader Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) dia juga meniru langkah ibunya, Pariyem, yang sudah terlebih dahulu menjadi akseptor MOW.

Marsidah dan suaminya, Panut, dikaruniai 4 anak tapi seorang meninggal dunia. Sulung sudah berusia 15 tahun, nomor dua 8 tahun dan bungsu 10 bulan.

Sebenarnya keluarga itu sudah berusaha menata kelahiran dengan menjadi akseptor KB. Pernah dua kali memakai IUD dan Implant. Tetapi ternyata tidak cocok.

Akhirnya dia berganti cara dengan pil KB. Si bungsu ini lahir setelah dia lupa meminum pil.

Meski hidup di kawasan agraris tetapi mereka tidak punya sawah maupun tegalan. Panut menghidupi keluarga dengan kerja serabutan.

Dia juga bekerja pada juragan kayu, membuat pintu atau kusen rumah. Dari kerja itu hasilnya dirasakan tidak cukup membiayai keluarganya.

"Saya dulu membantu mencari uang dengan membuat tambir," kata Marsidah didampingi kader IMP Mardinem dan seorang teman kader.

Keterampilannya menganyam bambu menjadi tambir diperoleh secara turun temurun dari nenek dan ibunya.

Pekerjaan itu juga banyak ditekuni masyarakat setempat. Pasarnya masih terbuka, produknya diambil para pedagang  meski harganya relatif murah.

Tambir berdiameter 30 senti harga jualnya Rp 5.000 dan 60 senti Rp 10.000. Perajin tidak peduli di kota tambir itu dijual berapa, yang penting tidak perlu menjualnya sendiri.

Sedang bahan bakunya berupa bambu dibeli di Pasar Imogiri dengan menitip orang yang sedang “turun”.

Tapi sejak hamil tua, melahirkan sampai si bungsu berumur 10 bulan, Marsidah tidak sempat lagi menganyam tambir.

Waktunya habis untuk momong agar anaknya benar-benar terurus. Hari itu dia tidak didampingi Panut karena beban momong berpindah pada sang suami.

Padminatun ditunggui suaminya, Mahmudi, bersama anak bungsunya. (arie giyarto/koranbernas.id)

Keluarga kecil

Marsidah berharap dengan MOW dia benar-benar terlindung dari kehamilan. Beban hidup keluarga tidak menjadi lebih berat.

Anak sulungnya sudah kelas 2 SMA swasta di Mangunan. Biayanya lumayan bagi keluarga sederhana itu. Dengan keluarga kecil Marsidah dan Panut bisa lebih menata masa depan anak-anaknya.

Sebagaimana kerja Marsidah sebagai pembuat tambir, dengan MOW dia tengah menganyam masa depan anak-anaknya agar lebih cerah.

Menurut para kader IMP pada Desember mendatang masih akan berlangsung bakti sosial pelayanan KB serupa.

"Saya sudah punya calon satu orang yang siap dan mantap MOW," kata Mardinem.

Teman kadernya juga siap satu calon sehingga diharapkan akseptor MOW akan terus bertambah secara sukarela tanpa paksaan. (sol)