Tak Mau Melukai Banyak Pihak, FSTVLST Menahan Diri untuk Konser Offline

Tak Mau Melukai Banyak Pihak, FSTVLST Menahan Diri untuk Konser Offline

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Sulitnya perijinan menghelat konser musik di masa pandemi yang mengharuskan penerapan protokol kesehatan yang ketat saat ini, menimbulkan keambiguan. Di saat pekerja showbiz dan musisi menahan diri untuk menunda, bahkan membatalkan semua jadwal pertunjukan musik, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 justru membolehkan konser musik dalam kampanye pemilihan kepala daerah.

Sebelum peraturan kontroversial itu terealisasi, di Yogyakarta beberapa grup band lokal secara terbuka melakukan pertunjukan musik mereka di kafe-kafe tertutup dengan alasan sudah menerapkan protokol kesehatan. Dengan hanya memakai masker, membayar tiket masuk dan mengandalkan thermo gun, penonton bebas keluar masuk tempat hiburan dan menikmati konser musik.

Kenyataannya, protokol kesehatan yang sesungguhnya tidak bisa dilakukan dengan benar. Beberapa pengelola tidak bisa menertibkan para penonton dalam memakai masker, menjaga jarak, apalagi menghindari kerumunan saat grup band idola mereka mulai bernyanyi.

Grup band rock asal Yogyakarta, FSTVLST, adalah salah satu kelompok pekerja musik yang kehilangan rutinitas konser on ground di saat pandemi yang berkepanjangan ini. Dengan ribuan Festivalist (sebutan untuk penggemar FSTVLST-red) setiap perhelatan di atas panggung, grup ini hampir tidak mungkin mendapatkan ijin meskipun dengan protokol kesehatan yang ketat.

Ulah oknum penyelenggara yang bermain di wilayah abu-abu perijinan serta grup musik lokal yang tetap memaksakan konser di saat kasus terkonfirmasi positif terus menanjak naik, sangat melukai perasaan.

Saat dihubungi koranbernas.id beberapa waktu lalu, Farid Stevy, sang vokalis FSTVLST mengatakan, selama ini band-nya tidak pernah berkomentar apa pun tentang wabah Covid-19 dan lika-liku penanganannya. Pihaknya paham isu Covid ini masalah global, tapi sekali lagi, kebijakan dan keberpihakan pemerintah kepada hal-hal yang tidak menjadi konsen utama itu tidak dipertanyakan. Bahkan jika sebelumnya ada isu-isu kenceng yang dekat dengan FSTVLST, mereka tidak membicarakannya.

"Tapi, di saat seperti ini, ada situasi di mana kami juga berhak menanyakan regulasi pemerintah tentang kami sebagai pekerja musik yang melihat konser itu tak hanya perihal fundamental serta bukan hanya perkara mencari uang, tetapi juga sebagai perayaan dan kreativitas organisasi," kata Farid.

"Sebenarnya kalau harus menyebut pemerintah, pada masa-masa seperti ini kita tidak butuh panggung. Kita tidak butuh insentif. Kita hanya butuh kejelasan situasi. Kita butuh desiminasi data yang menjelaskan keadaan ini sebenar-benarnya. Hal ini yang FSTVLST harapkan, persis sebelum apatis," lanjutnya.

"Seperti apa kebenarannya, itu penting disampaikan, sehingga kita tidak menduga-duga apakah ini gerak politik atau hanya sebuah wacana yang ndakik-ndakik (muluk-muluk-red) atau apakah hanya perkara virus atau perkara yang lain. Kita sebenarnya hanya butuh kejelasan itu. Saya pikir juga banyak industri kreatif lain yang juga membutuhkan kejelasan seperti itu," imbuh lulusan desain komunikasi visual, Institut Seni Indonesia ini.

Dandan dan macak

Walau keinginan untuk menggelar konser seperti sedia kala sangat besar, alih-alih bersikukuh melakukannya dengan dalih sesuai protokol kesehatan seperti beberapa band lain yang tentu berpotensi melukai dunia musik, band yang pernah dinobatkan sebagai salah satu band terbaik versi majalah Rolling Stone pada 2014 ini memilih melakukan dandan (berbenah-red) ketimbang macak (bersolek-red).

Satu-satunya opsi yang paling menarik, menurut Farid, adalah berkontemplasi, introspeksi melihat sistem di dalam. Beberapa hal yang mungkin kurang dan belum mereka lakukan, dan tentang impian yang belum tercapai.

"Apakah sebenarnya idealnya seperti ini? Tetapi kemudian atas kesibukan di era-era sebelumnya mungkin tidak terpikirkan. Menurutku, Festivalist dengan sadar mengambil posisi itu. Alih-alih kemudian kita melakukan konser langsung dan memaksakan diri untuk segera kembali ke moda sedia kala ke panggung on ground atau offline, jika dipaksakan untuk saat ini yang itu pasti akan melukai banyak orang yang juga mengalami hal yang sama," paparnya.

"Kita lebih berpikir untuk mendandani apa yang ada di dalam kita sendiri, antara lain pengayaan lagu setelah album rilis. Biasanya hal tersebut dilakukan bisa jadi satu tahun setelah rilis. Kemudian meramu lagu baru yang hanya berjarak beberapa bulan setelah perilisan album, itu baru terjadi saat [pandemi] ini, kemudian video klip yang merupakan sebuah karya visual impian sejak lama," imbuhnya.

Kemudian, lanjut Farid, bagaimana organisasi ini yang memberikan ruang kepada tim produksi untuk berkreasi sesuai expertis masing-masing, itu bisa terjadi hari ini. “Jadi rasa-rasanya itulah yang kami lakukan ini jelas-jelas memperbaiki internal kami supaya kami itu juga menjadi unit yang bertanggung jawab kepada apa pun yang kami keluarkan," tandasnya.

Usai meluncurkan album kedua bertajuk FSTVLST II pada Juni 2020 lalu, band ini sedang mempersiapkan sebuah karya visual untuk beberapa lagu di album tersebut. Dalam keadaan normal, mempersiapkan materi video klip seserius ini tidak pernah dilakukan FSTVLST sebelumnya. Jadwal tour yang padat membuat mereka hampir tidak ada waktu untuk mewujudkanya.

Robby Setiawan, sang gitaris, mengungkapkan video klip ini sedang dalam proses penulisan dan perencanaan. Menurutnya, memilih lagu untuk dijadikan sebuah video klip itu ternyata tidak mudah walaupun sebenarnya sudah dipilih satu atau dua lagu yang akan dijadikan video klip ini juga merupakan sebuah tantangan baginya.

"Tak ingin menjadi bodoh karena pandemi berkepanjangan. Harapannya, dengan membuat video klip ini mampu membuat teman-teman Festivalist lebih bergairah. Walau juga tidak dipungkiri mungkin pada saat bertemu bisa jadi sebuah lagu baru atau bahkan album," imbuhnya.

Yang jelas, lanjut Robby, pada awal mulanya penting untuk memberikan ketegasan kepada teman-teman yang lain agar mereka juga bisa merasakan eksperimen tersebut.

"Kita kan merasakan tekanan yang berbeda-beda. Mungkin lama-kelamaan bisa jadi kita mati berdiri karena tidak bisa ngapa-ngapain. Jika kita ingin menyambung konser digital, tapping dan sebagainya, itu sudah hampir tidak ada rasanya. Sudah kebas," katanya.

"Beberapa kali menerima job panggung digital yang nggak ada rasanya kalau dinilai secara pementasan, mungkin karena kita dari dulu memang besar dan dibesarkan lewat panggung ke panggung. Bertemu dengan audiens secara langsung, itu hal yang utama. Dan banyaknya penonton yang hadir menonton, itu merupakan bayaran kesekian kami sebagai band," lanjutnya.

Meskipun demikian, lanjut gitaris berambut gondrong ini, pihaknya juga mengambil pementasan-pementasan itu dengan berbagai pertimbangan. Antara lain, merawat eksistensi band, kemudian juga bisa sedikit demi sedikit memberi support kepada timnya dalam sisi ekonomi.

Beberapa kali FSTVLST tampil di panggung digital, antara lain Sumonar dan Festival Kebudayaan Yogyakarta. Kegiatan ini tak lain merupakan memberikan dukungan kepada teman-teman muda yang berkegiatan dalam dukungan pemerintah.

"Selanjutnya ini juga merupakan bakti kepada kota yang telah membesarkan FSTVLST. Rasanya kami berkewajiban nyengkuyung kegiatan teman-teman pegiat festival di Yogyakarta. Mengulang omongan Farid, persis sebelum apatis dengan apa pun yang berbentuk dukungan pemerintah," tutupnya. (*)