Teknologi Tepat Guna dan Kelangkaan Komoditas

Teknologi Tepat Guna dan Kelangkaan Komoditas

ADA kalanya satu produk atau barang menjadi mahal dan langka didapat. bukan mustahil masyarakat bakal menjerit, bahkan kala komoditas itu disatukan harganya, masyarakat masih saja menjerit, karena tak sedikit barang diborong para orang berduit. Dengan begitu, mal-mal atau minimarket ada rak-rak salah satu komoditas melompong, sebut saja minyak goreng yang belakangan riuh.

Gejolak tersebut, mungkin tak cuma terjadi 1-2 kali, barangkali pula terjadi gejolak serupa untuk komoditas yang berbeda, seperti kenaikan harga kedelai yang memengaruhi harga dan produk tahu dan tempe, harga BBM, tarif listrik maupun kebutuhan lainnya.

Kegetiran seperti ini sudah semestinya ditangkap secara cerdas oleh pemangku kepentingan terkait, misalnya lembaga penelitian, perguruan tinggi maupun pemda, hingga pemerintah desa, dengan mendayagunakan berbagai potensi sumberdaya alternatif untuk mengurangi bahkan menekan keterpurukan tersebut berulang. Kita punya sumberdaya teknologi tepat guna (TTG), kita punya sumberdaya alam yang melimpah dan kita juga punya sumberdaya manusia yang cakap. Seluruh elemen itu kita satukan, sehingga punya produk alternatif. Jadi ada cadangan 1 maupun 2, artinya kebutuhan masyarakat pun bisa terpenuhi secara efektif.

Pada aneka usaha sektor riil masyarakat, seperti industri rumah tangga, usaha bidang pertanian dalam arti luas (perikanan, peternakan, perkebunan, pertanian) produktivitasnya masih rendah kalau tidak disebut terpuruk, pasar domestik acap dibanjiri produk impor. Kondisi demikian mengindikasikan usaha-usaha produktif kita masih kekurangan teknologi. TTG yang kita punya, yang telah ada jika didayagunakan akan berimbas pada penaikan volume dan mutu produksi.

Kita mesti berjibaku, bekerja keras, karena negeri ini sarat dengan potensi kalau kita mau melakukan kreasi dan inovasi. Kemajuan teknologi, termasuk TTG adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini, karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

Melalui TTG inilah kita diajak belajar dan mampu mengadakan sumber daya, misalnya salah satu desa belum terjamah, misalnya penerangan jaringan listrik PLN, maka kita harus memutar otak untuk mampu mendatangkan atau menghadirkan sebentuk teknologi untuk mematahkan “kegelapan,” masyarakat – taruhlah di desa itu dimusyawarahkan untuk membuat kincir air sebagai sumber energi yang akan membuat desa “terang.”  Hal serupa bisa dilakukan dengan membuat pompa hidran jika di sana masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih, dengan sarat ada atau mencari/menemukan sumber mata air atau arus sungai.

Selanjutnya, bagaimana kita mampu menggunakan sumber daya yang telah tersedia tersebut, maka masyarakat seyogyanya mau dan rela belajar keteknikan operasionalisasi dari alat TTG tersebut. Contohnya, bagaimana cara menyambung pasang pipa, membuat bak penampung atau menautkan kabel, tahu kapan alat itu hidup dan mati, bagaimana jika sparepart rusak, bagamana memperbaikinya serta cara kerja perangkat TTG secara tepat.

Kemudian, bagaimana jika alat TTG tersebut tiba-tiba tidak beropersional dan atau bahan bakunya habis. Atau lagi bagaimana jika TTG tersebut sangat bergantung pada energi BBM, padahal BBM langka, mahal bahkan hilang atau lenyap serta habis dari bumi. Untuk itu, masyarakat mesti mampu menggantikan (mensubstitusi) TTG yang ada.

Ketikaa tarif atau harga komoditas di atas berubah menjadi langka dan habis, maka solusi paling cocok adalah dengan mendayagunakan sumber energi alternatif. Misalnya, kita bisa memanfaatkan kompor Biomas berbahan baku nabati, kompor batubara, kompor surya, kompor air – TTG alternatif tersebut akan mulai dilirik manakala krisis energi menjadi-jadi, namun ketika energi atau BBM normal-biasa-biasa saja, maka perangkat di atas tidak akan banyak dilirik masyarakat.

Ujungnya, kelangkaan atau mahalnya minyak goreng maupun kedelai belakangan, sudah seharusnya pemerintah dengan menggandeng lembaga kompeten terkait mampu memproduksi minyak goreng maupun bahan pengganti kedelai alternatif, pengganti minyak goreng yang ada di pasaran. Ada sumberdaya yang cukup bisa dikembangkan, seperti komoditas tanaman maupun buah, seperti wijen, kelapa, alpukat, zaitun, bunga matahari, dan kacang-kacangan maupun sumber bahan baku lainnya.

Sedikitnya, mengedukasi, memberdayakan masyarakat agar mereka mampu mengasah akal budi sehingga barangkali secara terlatih berhasil menelorkan produk pengganti minyak goreng yang layak dan bersertifikat legal. Pemerintah juga bisa mendampingi masyarakat yang telah, sedang dan akan melakukan rintisan TTG dalam menghela usaha ekonomi produktifnya, sehingga mampu meraih sumber-sumber ekonomi baru yang mengejutkan dan bisa saja tak pernah diperhitungkan masyarakat bahkan malah dipandang sebelah mata.

Peran pendamping atau tenaga ahli pengembangan TTG di desa-desa perlu ditingkatkan. Mereka tidak bisa lagi bekerja sebagaimana business as usual, tapi harus mampu mendorong dan menggerakkan masyarakat dalam keliaran terobosannya mampu turut menyelesaikan problematika masyarakat. Pendamping maupun TA dituntut mampu membangun kerja sama dan sinergi dengan stakeholders, sehingga dapat mengakselerasi desa yang semakin sejahtera.

Pendapatan Asli Desa

Spirit kita, optimisme kita, mereka mampu melaksanakan tugas fungsi dengan baik melampaui harapan. Dengan pengalaman pendampingan selama ini, pembangunan pedesaan ini dapat berkontribusi menyelesaikan dengan baik dan sesuai harapan bersama. Penting untuk bergerak dengan cepat dalam mengeksekusi semua program kegiatan yang telah direncanakan.

Permasalahan kelangkaan minyak goreng maupun kedelai ini harus menjadi momentum kebangkitan penerapan TTG di masyarakat dengan produk substitusi sebagai alternatif baru. Karena prinsip TTG itu, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mudah, murah, memiliki nilai tambah baik dalam aspek ekonomi, dan lingkungan hidup.

Pemerintah desa, sesungguhnya bisa menginisiasi mulai dari perintisan, pelaksanaan dan pengembangan TTG dengan memanfaatkan dana desa. Dana desa yang ditaburkan sejak 2015 hingga 2021 tak kurang dari Rp 400 triliun untuk kemakmuran dan kemajuan 74.961 desa Indonesia (Data IDM Kemendesa PDTT, 2021).

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar pernah mengatakan, dana desa dapat memfasilitasi masyarakat untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi. Dana desa dianggarkan untuk kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat, berupa pelatihan yang berbasis teknologi, termasuk pengembangan teknologi tepat guna yang dibutuhkan warga.

Satu point yang masih termarjinalkan dalam penerapan dan pengembangan TTG pedesaan, yaitu perekayasaan TTG yang dilakukan melalui kegiatan dalam bentuk desain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya, dan estetika secara agregat belum menjadi mata usulan dari pemerintah desa. Sekurangnya dalam usulan kegiatan saat musrenbangdes maupun pada level kecamatan.

Kawan-kawan UMKM  di desa yang intim dengan TTG bukan tak mungkin bakal mengalirkan PAD bagi desa. Bahkan pengalokasian dana buat pengembangan TTG lewat kue dana desa pun nampaknya prosentasenya masih relatif kecil kalau tak mau disebut nihil.

Pada domain daerah, ada instansi pemberdayaan masyarakat, ada dinas perdagangan dan perindustrian, ada instansi litbang, daerah juga punya badan riset daerah (BRIDA) sebagai aktualisasi dewan riset daerah (DRD) dan sentra-sentra TTG. Di luar itu, implementasi TTG itu di antaranya dengan memanfaatkan kolaborasi kelembagaan masyarakat yang telah dibentuk, yaitu Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna (Posyantek), baik yang ada di kecamatan maupun desa atau kelurahan, sebagai lembaga pelayanan TTG di desa yang memberikan pelayanan teknis, informasi dan orientasi berbagai jenis TTG.

Maka, penting kita optimalkan peran fungsinya, sehingga inovasi pedesaan bidang TTG berkembang dan mampu membawa perubahan besar bagi kesejahteraan rakyat. Bukan mustahil saat aneka lembaga itu bersatu dalam spirit merah putih, menjawab kebutuhan masyarakat. TTG harus diupayakan, utamanya dalam kemendesakan sekarang untuk pemulihan ekonomi, terutama kala kita dihantam pandemi maupun bencana alam, termasuk mahal dan langkanya minyak goreng.

Di sini negara hadir sebagai amanat UU 6/2014 tentang Desa. Sudah saatnya kita melunasi hutang kepada rakyat dalam mengelola SDA melalui pendayagunaan TTG. Bagi desa TTG bagian masa depannya. *

Marjono

Kasubbag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng.