Tembi Seperti Tenggelam dalam Sunyi

Tembi Seperti Tenggelam dalam Sunyi

KORANBERNAS.ID, BANTUL --  Kompleks Tembi Rumah Budaya berdiri kokoh di kawasan Tembi Jalan Parangtritis Bantul. Pada pendapa yang relatif luas itu terdapat dua perangkat gamelan Slendro dan Pathet, seperti tenggelam dalam sunyi. Sejak virus Corona ditetapkan sebagai pandemi Maret 2020 gamelan itu tidak tersentuh. Namun begitu tetap terjaga kebersihannya.

Jumat (25/9/2020) siang itu Tembi Rumah Budaya terlihat sepi. Hanya beberapa mobil dan sepeda motor terparkir di halaman depan. Meski terasa mampring, namun di dalam ada kegiatan dan banyak melibatkan anak-anak muda.

“Mereka sedang mendisplai materi pameran seni rupa tunggal karya Gunawan Raharjo," kata Ons Untoro dari Tembi Rumah Budaya saat menerima koranbernas.id di serambi pendapa. Pameran tunggal itu resmi dibuka Rabu (23/9/2020) dan berlangsung sampai 8 Oktober 2020.

“Saya menampilkan 31 koleksi saya. Ada dengan media cat minyak, akrelik dan mixmedia," kata Gunawan Rahardjo dihubungi melalui telepon, Selasa (29/9/2020) malam.

Karya Gunawan yang dipamerkan berukuran cukup besar sekitar 60 cm x 80 cm. Selebihnya ukuran sedang dan kecil. Terbatasnya  koleksi lukisan ukuran besar karena Gunawan memperhitungkan luasan ruang pamer Tembi.

Berbagai komentar disampaikan pengunjung yang hadir langsung di Tembi maupun virtual. Tidak sedikit komentar memberikan dukungan tetapi ada pula yang pesimistis. "Mbah, pameran lukisan mangsa pandemi apa ya ana sing nonton?" satu di antara komentar tersebut.

Bagi Gunawan yang akrab disapa Mbah karena memang sudah lanjut usia, sepinya pengunjung tidak masalah. Dia berpendapat justru pameran virtual peminat tidak harus datang. Artinya bisa melihat dari mana saja dengan perangkat teknologi digital. Peluang justru makin terbuka.

Sampai Selasa (29/9/2020) malam, lebih 100 pengunjung online dari berbagai daerah memberikan komentar. Angka itu tidak mewakili angka pengunjung langsung maupun virtual karena menurut Gunawan banyak juga yang tidak memberikan komentar.

Pria lulusan SMSR itu ingin memberi apresiasi bagi perupa-perupa muda agar jangan takut pameran bersama maupun tunggal. Dia sejak masih sekolah sudah berani menampilkan karyanya.

Tembi Rumah Budaya merupakan tempat penyelenggaraan event rutin seni. Fasilitas tersebut milik pribadi Swantoro (alm) pria asal Bantul yang cinta budaya Jawa.

Semula bernama Lembaga Studi Jawa, kemudian ditingkatkan menjadi Tembi Rumah Budaya. Bangunan di Dusun Tembi Kecamatan Sewon Bantul itu pada awalnya sebagai tempat pentas wayang kulit berkala serta ketoprak yang melibatkan masyarakat sekitar. Tembi memfasilitasi tempat dan gamelan Slendro Pathet sehingga pemain dan pengrawit tinggal njejak saja.

Kegiatan yang masih tetap berlangsung hingga kini adalah pentas Sastra Bulan Purnama sebulan sekali secara personal maupun virtual. Setiap kali berlangsung, tampil penyair-penyair dari berbagai daerah. Menurut Ons Untoro, peminatnya lumayan banyak terutama mereka yang hadir langsung.

Sayang, pandemi Covid-19 menghadang sehingga berbagai kegiatan melestarikan budaya ini terpaksa terhenti. Semoga pandemi segera berlalu.

Kursus sesorah

Bukan hanya pameran, pandemi juga menghentikan aktivitas tari dan pentas seni yang menghadirkan banyak orang. Begitu pula kursus Pranata Adicara tuwin Sesorah harus terhenti. Akhir 2019 masih ada wisuda angkatan ke-42. Sesudah itu libur hingga kini.

Menurut Maria Kadarsih, salah seorang instruktur kursus tersebut, pendaftar waiting list sejak 2019. Ada lebih dari 100 orang. Setiap angkatan berlangsung empat bulan diikuti sekitar 30 peserta. Pembatasan jumlah terbatas itu semata-mata agar peserta lebih efektif menyerap materi teori maupun praktik.

Peserta tidak hanya dari DIY tetapi juga berbagai daerah seperti Purwokerto, Magelang, Sragen, Klaten. Bahkan lanjut Maria Kadarsih, ada dua wayah dalem dari Keraton Yogyakarta ikut kursus. Mereka didhawuhi agar lebih memantapkan diri saat tampil di depan publik.

Tak ketinggalan, ada wanita MC kondang dari Yogyakarta ikut sebagai peserta. Kursus ini berguna untuk memperbaiki penggunaan bahasa yang salah kaprah. Selain itu, juga bermanfaat menambah serapan ilmu mengenai busana Jawa yang benar.

Maria berharap animo peserta meningkat, mengingat Pemda DIY melalui Dinas Kebudayaan sering menyelenggarakan lomba. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikspora) DIY juga menjaring kalangan pelajar yang berminat mengikuti kursus tersebut.

Kendala pandemi sebenarnya bisa disiasati dengan virtual dan luring sehingga bisa efektif menyelesaikan kursus secara bertahap.

Maria Kadarsih menyadari bahasa Jawa dianggap sulit karena banyak unggah-ungguh.  Tetapi bagi yang terbiasa sebenarnya tidak ada yang sulit. "Yang jelas bahasa Jawa tidak mungkin dipakai untuk padu atau bertengkar. Karena susah mencari kata-kata kasar," kata mantan penyiar radio dan pemain sandiwara radio bahasa Jawa ini setengah bercanda.

Maria menjadi instruktur bersama Ig Wahono, tokoh ketoprak Mataram dan Angger selaku profesional MC. (*)