Tol Jangan Pinggirkan Ekonomi Rakyat

Tol Jangan Pinggirkan Ekonomi Rakyat

KORANBERNAS – Bakal ada keuntungan tambahan terkait rencana pembangunan jalan tol Jogja-Solo dan Jogja-Bawen, yakni dampak pengembangan wisata dan ekonomi di kawasan tersebut. Namun, pebangunan jalan tol Jogja-Solo dan Jogja-Bawen ini diharapkan tidak meminggirkan ekonomi kerakyatan.

“Dulu pernah ada konsep Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang). Harapannya, dengan konsep kawasan terpadu itu, pembangunan regional akan makin baik,” kata Hempri Suyatna, Kepala Pusat Studi Kajian Pembangunan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fisipol UGM, kepada KoranBernas, Senin (11/11).

Seperti diketahui, pemerintah pusat telah merencanakan pembangunan ruas jalan tol Jogja-Solo dan Jogja-Bawen sebagai pengembangan jalan tol Trans Jawa. Pemda DIY berencana memulai program pembangunan tol Jogja-Solo pada 2021 setelah kontrak selesai dilakukan pada 2020 mendatang. Saat ini Pemda DIY baru dalam tahap sosialisasi ke warga terdampak. Pembangunan tol nanti juga diharapkan selesai dalam 3 tahun hingga 2024.

Menurut Hempri, hadirnya jalan tol ini harus dibarengi juga dengan upaya untuk meningkatkan fasilitas transportasi publik lainnya. “Jangan sampai adanya jalan tol justru mematikan moda-moda transportasi yang sedang eksis misal kereta api, bus Jogja-Solo, dan lainnya,” kata Hempri.

Dengan adanya jalan tol, lanjut Hempri, akses transportasi menjadi lebih mudah dan cepat. Namun, sisi lain yang harus diperhatikan adalah jangan sampai yang menikmati mulusnya tol tersebut hanya para pemilik mobil dan pemilik modal yang notabene kelas menengah.

“Yang perlu diperhatikan, jangan sampai tol ini meminggirkan ekonomi kerakyatan. Perlindungan untuk ekonomi kerakyatan yang menjadi pilar DIY harus dilakukan. Pemerintah harus memberi perlindungan dan prioritas terhadap ekonomi rakyat, sehingga bisa menjajakan di pinggiran jalan tol,” tegasnya.

Hempri juga wanti-wanti, jangan sampai pengelolaan tol didivestasi ke asing. Artinya, ketika tarif tol naik dan (kemudian) pengelolaan tol nantinya diserahkan asing. Justru seharusnya rest-rest area perlu dimanfaatkan untuk penguatan ekonomi rakyat.

“Jangan yang jualan adalah mereka yang bermodal besar, waralaba dan lain-lain. Apalagi waralaba asing,” tandasnya.

Harapan bahwa pembangunan jalan tol Jogja-Solo dan Jogja-Bawen akan berdampak bagi perkembangan ekonomi DIY juga disampaikan Deddy Pranowo, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY. Deddy berharap nantinya semua kendaraan betul-betul perlu istirahat di Jogja atau di DIY.

“Namun demikian, seperti apa yang disampaikan Sultan, jangan sampai bikin kita lengah. Destinasi wisata kita harus terus dibenahi. Event-event harus diperkuat. Orang harus makin dibuat mudah mengakses kekayaan destinasi di Jogja. Ini lho Jogja,” ujarnya.

Menurut Deddy, target satu juta wisman per tahun harus terpenuhi. Kalau target itu tercapai, kata Deddy, hotel-hotel bintang 2 kebawah tidak akan dirusuhi oleh rombongan bus bintang 3 keatas.

Tergantung Masyarakat

HR Gonang Djuliastono dari Kadin DIY juga menyambut positif rencana pembangunan jalan tol yang melewati DIY. Namun, menurutnya, sisi positif keberadaan jalan tol yang melintas di Jogja nantinya juga sangat tergantung dari kesiapan masyarakat.

“Dampak ke depan akan lebih baik, itu pasti. Persoalannya memang saat tahap sosialisasi, tergantung masyarakatnya. Mereka siap atau tidak. Ini sama halnya dengan pembangunan bidang transprotasi seperti bandara, pelabuhan, jalan raya dan termasuk jalan tol ini. Dampaknya pasti luar biasa,” kata Gonang.

Menurut Gonang, masyarakat setidaknya akan terpengaruh. “Dulu mereka merasa dekat ke bandara. Cukup di Adisucipto. Sekarang di Kulonprogo. Nah, kemudian tergantung seperti apa penyiapan pengaturan masalah infrastruktur jalan penghubung dan transportasi massal yang menghubungkan itu. Sudah siap atau belum,” ujarnya.

Gonang menegaskan, keberadaan jalan tol layang di Jogja nantinya memang banyak manfaat. Artinya tujuan orang jarak jauh akan dimudahkan. Mereka yang membawa transportasi massal seperti truk, bus, dan sebagainya, juga akan lebih dimudahkan karena akan mempercepat waktu tempuh.

“Coba bandingkan dengan dulu, wisata lewat (jalan) bawah yang waktu tempuhnya lama. Nantinya pasti akan lebih cepat. Jadi dampak secara ekonomi menurut saya pasti positif,” paparnya.

Kalaupun ada PR (pekerjaan rumah, red), lanjut Gonang, tinggal pengelolaan masalah UKM. “Kalau sudah disediakan tempat untuk rest area misalnya, jangan semuanya pengusaha bermodal besar. Jangan yang waralaba. Libatkan UKM yang memang masih taraf pendampingan. Ini harus. Terutama makanan khas daerah. Kemudian oleh-oleh dari daerah, dan lain-lain, harus diatur supaya kedepan akan lebih baik dampaknya,” kata Gonang.

Kadin DIY melihat antara pemerintah dan para pengusaha sudah mulai ada kerjasama yang baik. Ada komunikasi. Artinya jalan luar dan akan masuk DIY untuk memanfaatkan ruas tol itu, sudah mulai ditata. Sudah ada pembicaraan. “Yang perlu dipertanyakan, kira-kira ruas tol mana yang akan dibangun dulu? Ruas tol Jogja-Solo, Jogja-bandara atau Jogja-Bawen?,” ujarnya.

Kalau ruas Jogja-Solo dulu misalnya, lanjut Gonang, berarti harus dipertimbangkan betul bagaimana dampaknya terhadap bandara di Jogja. Terlebih kalau transprotasi massal dari kota Jogja ke Kulonprogo belum juga siap.

“Bisa dibayangkan, sekarang waktu tempuh Jogja-bandara Temon kan setidaknya (butuh) 1,5 jam. Kalau nanti tol Solo-Jogja terlebih dulu siap, maka bukan mustahil penumpang dari Jogja pilih lari ke Solo. Sebab jelas akan lebih cepat ke (bandara) Adisumaro ketimbang ke Temon. Belum lagi tiket penerbangan dari Solo dan dari Jogja kan masih ada selisih. Murah dari solo. Nah, hal-hal teknis dan detail seperti ini sebaiknya diperhatikan dan dikoordinasikan antar-pemangku kepentingan,” paparnya.

Dari sisi kepariwisataan, menurut Gonang, ruas tol juga akan sama baiknya dan berdampak pada kemudahan akses untuk masuk ke Jogja. Tinggal bagaimana pemerintah provinsi dan pemerintah daerah menyesuaikan kebijakan mereka dengan keberadaan tol ini.

“Misalnya, agar wisatawan lebih mudah maka siapkan tempat-tempat atau area parkir yang aksesnya mudah dan koneksinya ke destinasi-destinasi juga terjaga dan gampang. Pembagian area parkir ini menjadi hal yang penting dan strategis, disesuaikan dengan zonasi destinasi, disesuaikan dengan akomodasi dan lain sebagainya,” ujarnya.

Gonang menegaskan, kapasitas parkir, konektivitas ke destinasi serta akomodasi, sangat perlu diperhatikan. “Supaya apa? Supaya kemudahan akses masuk DIY yang semakin terbuka dengan adanya tol ini, bisa membawa manfaat yang optimal, bukan justru menimbulkan problem baru lalulintas yang akan berdampak luas, termasuk ke sektor ekonomi dan pariwisata,” katanya.

“Sejauh yang kami tahu, koordinasi memang terus berjalan. Termasuk kami juga mendapatkan konfirmasi dari KAI, bahwa semuanya sudah siap guna mendukung konektivitas dari dan ke bandara Temon dari Jogja. Semua tinggal menunggu perizinan saja,” lanjut Gonang.

Kadin DIY, kata Gonang, hanya menginginkan apapun program pembangunan yang bakal dikerjakan, idealnya ada saling koordinasi dari semua pemangku kepentingan. Koordnasi dan komunikasi ini menjadi poin utama.

“Kita harus tahu, ada rencana tol, ada ring road. Rencananya juga ada outer ring road. Kami berkepentingan untuk mengetahui secara detil, supaya kalau ada calon investor yang menanyakan, kami juga bisa menjawab dengan tepat. Karena konsep itu kan pasti saling terpadu,” katanya.

Menurut Gonang, sudah saatnya Jogja-Solo dihubungkan dengan jalan tol karena arus lalulintas antar kedua kota itu sudah sangat crowded. “Ke Surabaya saja misalnya, lebih lama Jogja-Solonya ketimbang dari Solo ke Surabayanya. Ini kan aneh dan sudah tidak masuk akal,” ujarnya. (SM)