Usut Kredit Fiktif Bank Pelat Merah, DPRD Usul Bentuk Pansus

Usut Kredit Fiktif Bank Pelat Merah, DPRD Usul Bentuk Pansus

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Dua bank pelat merah milik pemda di Provinsi DIY, satu di antaranya Bank Jogja, terlilit kredit fiktif. Kasusnya sudah ditangani penegak hukum. Dua orang ditahan.

Setidaknya ada tujuh bank pelat merah mengalami kasus serupa. Pegiat anti-korupsi mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) transparan. Sedangkan anggota dewan meminta dibentuk panitia khusus (pansus).

“Saya ingin dibentuk pansus untuk mengundang Bank Jogja, tapi tidak ada respons. Rp 27 miliar itu besar dan faktanya ada kerugian negara,” ungkap Wisnu Sabdono Putro, Sekretaris Komisi A DPRD Kota Yogyakarta saat menjadi narasumber Diskusi Kritis Media Jogja Seri ke-10, Senin (5/4/2021), di Ingkung Grobog.

Meski kewenangan pansus sebatas memanggil pimpinan Bank Jogja dan hasil akhirnya berupa rekomendasi, pembentukan pansus DPRD Kota Yogyakarta diharapkan bisa bersinergi dengan Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY.

Pada diskusi bertema Fenomena Kredit Fiktif Bank Pelat Merah kali ini, Wisnu yang berlatar berlakang advokat itu menyampaikan sruing-sruing dirinya mendengar dewan pengawas Bank Jogja dari kalangan independen sudah dipanggil penyidik Kejati. Sedangkan dewan pengawas dari unsur internal bank maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta, dirinya belum mendengar kabarnya.

Dari analisanya, Wisnu melihat kredit fiktif yang melibatkan Trans Vision itu jelas-jelas menyalahi PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD maupun Perda Nomor 7 Tahun 2019 tentang Bank Jogja. Di dalam regulasi itu disebutkan kepala daerah tidak bisa lepas dari tanggung jawab.

Begitu pula di dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), disebutkan kasus itu masuk ranah korupsi. Walikota Yogyakarta yang menjadi Komisaris Bank Jogja tidak bisa serta merta lepas dari tanggung jawab.

Tidak ingin mendahului proses hukum di Kejati DIY, Wisnu menganalisa kuat dugaan ada unsur korupsi pada kasus tersebut. “Analisa saya sebagai anggota dewan dan mambu-mambu advokat, ada korupsi atau tidak, menurut kami ada. Pasti ada kerja sama dengan orang dalam,” ucapnya.

Lebih lanjut, Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Yogyakarta itu menyatakan perlu ditelusuri sejauhmana kewenangan dan tanggung jawab dewan pengawas Bank Jogja maupun komisaris.

“Ini hanya analisa saya. Jika komisaris dan dewan pengawas adalah bagian dari Bank Jogja, pertanyaannya walikota terlibat atau tidak?” kata dia.

Dia sepakat, kasus yang saat ini memperoleh sorotan publik itu harus ada transparansi. Bagaimana pun proses seperti itu menyakiti warga Yogyakarta terutama mereka yang menabung uangnya di Bank Jogja. Kabar terakhir, sempat terjadi rush di bank tersebut.

Menjawab statemen Walikota Yogyakarta yang menyebutkan kasus itu tidak ada kaitannya dengan Pemkot Yogyakarta, menurut Wisnu, bahasa walikota mungkin pemisahan aset. “Asumsinya begitu. Pertanyaannya, jika ada keuntungan (deviden) Bank Jogja diakui atau tidak? Apakah ketika ada keuntungan ngakoni atau tidak?” ucapnya.

Di tempat yang sama, aktivis Jogja Corruption Watch (JCW) Baharuddin Kamba menyatakan pihaknya mendesak Kejati DIY mengusut tuntas kasus tersebut. “Apalah ini sindikat, bagaimana prosesnya, JCW akan mengawal terus. Aliran dananya perlu ditelusuri,” kata dia.

Yang menarik, bank pelat merah yang menjadi korban pasti melirik aset-aset tersangka. Pertanyaannya, jangan-jangan aset tersebut nilainya lebih kecil dari jumlah kredit yang disalurkan mencapai puluhan miliar rupiah.

Tidak bermaksud mendahului proses hukum di Kejati DIY, Kamba menyatakan OJK seharusnya berani mengumumkan ke publik, selain dua bank itu, bank mana saja yang menjadi korban.

“Tidak hanya Bank Jogja, ada tujuh bank pelat merah kasusnya sama. Kami dorong OJK terbuka saja. Tanda tanya besar jika OJK tidak tahu ketika ditanya,” tandasnya. (*)